SOLOPOS.COM - Hijriyah Al Wakhidah (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Dua bangunan yang berdiri berdampingan di Jl. Jenderal Gatot Subroto Nomor 222 Kratonan, Serengan, Kota Solo, Jawa Tengah, itu selalu menjadi bahan ulasan setiap tiba perayaan Natal pada 25 Desember. Dua bangunan itu adalah Masjid Al Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan.

Artikel tentang masjid dan gereja itu tak pernah absen mewarnai pemberitaan menjelang Natal, setidaknya dalam kurun waktu 13 tahun terakhir saya menekuni profesi di dunia jurnalistik.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Alih-alih menuliskan tentang ketatnya pengamanan oleh polisi dan tentara setiap menjelang Natal di banyak gereja, sejumlah jurnalis memilih menarasikan sesuatu yang membuat adem hati pembaca.

Masjid Al Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan menjadi simbol toleransi umat beragama yang terjalin sejak puluhan tahun silam. Setiap menjelang perayaan hari besar agama, khususnya Natal, cerita tentang saling menghormati, saling membantu, hingga saling tidak mengganggu umat kedua agama itu menjadi ulasan yang menarik perhatian.

Kisah tentang masjid dan gereja serta jemaahnya yang hidup berdampingan terdengar dan terkabarkan hingga mancanegara. Selain potret masjid dan gereja, ada lagi gambar yang selalu viral dan kerap muncul sebagai foto headline di salah satu halaman Solopos pada edisi sehari setelah Natal.

Salah satu yang paling saya ingat saat liputan Natal beberapa tahun lalu adalah seorang perempuan polisi mengenakan jilbab membantu seorang suster berkalung salib. Foto itu berlatar kawasan Gereja Santo Antonius Purbayan, tepatnya di Jl. Arifin Nomor 1, Kepatihan Wetan, Jebres, Kota Solo.

Kebetulan suster tersebut berusia lanjut dan berjalan menggunakan kursi roda. Si perempuan polisi membantu suster tersebut menyeberang jalan menuju gereja. Apabila saya sang fotografer, mendapatkan momentum menarik itu tentu sangat menyenangkan daripada memotret seorang anggota Brigade Mobil Polri membawa bedil berdiri berjaga di depan gereja.

Foto perempuan polisi dan suster itu jauh lebih menenangkan suasana dan hati pembaca. Yang terbaru, artikel Natal tahun ini yang ditulis para jurnalis juga menjadi gambaran bahwa tak ada yang perlu diragukan lagi ihwal toleransi di Kota Solo.

Meriahkan Natal, Kawasan Balai Kota Solo Dihias Pohon Natal dan Lampion. Demikian judul sebuah berita. Berita lain dengan objek peliputan yang sama mengunakan judul Sambut Natal, Kota Solo Dibanjiri Lampion Indah: Simbol Toleransi yang Tinggi!

Kawasan Balai Kota Solo yang terintegrasi dengan kawasan Pasar Gede adalah salah satu ikon yang menyajikan toleransi yang kuat di Kota Solo. Kawasan ini etalase toleransi dari berbagai sisi. Dari sisi toleransi beragamam, kawasan ini diapit tiga tempat ibadah.

Di sisi utara ada Gereja Santo Antonius Purbayan sebagai gereja katolik pertama di Kota Solo. Di sisi selatan ada Masjid Agung Solo. Di sisi timur dekat Pasar Gede ada Kelenteng Tien Kok Sie yang menjadi pusat ibadah bagi umat Tridharma (Taoisme, Kong Hu Chu, dan Buddha).

Kawasan Pasar Gede dan sekitarnya adalah peta kecil yang sarat kemajemukan. Di sana pusat membaurnya berbagai etnis yang selama ini memperkaya Kota Solo, di antaranya adalah etnis Jawa dan Tionghoa. Toleransi memang selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas, apalagi jika itu menyangkut suku, agama, dan ras.

Sama halnya saat kita, khususnya masyarakat Kota Solo, melihat fenomena yang terjadi dan selalu muncul saat Natal, tahun baru Masehi, dan disusul perayaan tahun baru Imlek yang tentu menjadi cerita yang tak membosankan untuk dinarasikan.

Dari yang Sederhana

Tokoh masyarakat hingga jurnalis, bahkan siapa pun, punya peran penting untuk terus-menerus bernarasi atau menuliskan tentang toleransi. Tak perlu menunggu ada kejadian intoleran baru bicara toleransi. Saya kira Kota Solo sudah kenyang dengan berbagai kejadian intoleransi sehingga sempat memunculkan stigma Kota Solo sebagai kota “sumbu pendek”.

Era itu sudah berlalu. Pada 2021, laporan Indeks Kota Toleran (IKT) menempatkan Kota Solo pada peringkat ke-9 sebagai kota paling toleran. Mengutip pernyataan psikolog sosial di Universitas Sebelas Maret, Mohammad Abdul Hakim, kala itu, indeks ini menunjukkan Pemerintah Kota Solo berhasil mengelola keberagaman yang menjadi kekayaan dan keistimewaan Kota Solo.

Survei itu baru mengangkat persepsi warga terhadap toleransi di Kota Solo secara umum. Tindakan-tindakan khusus intoleransi yang pernah terjadi di Kota Solo belum tercakup dalam survei tersebut. Menyandang status kota toleran di Indonesiatentu seharusnya bukan sekadar predikat.

Harus ada implementasi nyata. Nilai-nilai toleransi bisa dikatakan terimplementasi secara baik ketika semua warga merasa aman, nyaman, dan tidak merasa terancam.  Sikap tolerana bukanlah tindakan yang rumit. Sederhana sekali. Sama seperti asal mula kata toleransi, yaitu tolerare, yang artinya sabar terhadap sesuatu.

Tolerare berasal dari bahasa Latin yang secara umum bisa diartikan sebagai sikap yang terbuka, lapang dada, suka rela, dan kelembutan. UNESCO mengartikan toleransi sebagai sikap saling menghormati, saling menerima, saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karakter manusia (Chasram, 2016) Mudah bukan?

Kembali ke ihwal narasi memperkuat toleransi di Kota Solo. Forum Nasional Kebinekaan pernah menyebut Kota Solo kini menjadi barometer keamanan nasional. Kota Solo aman, negara aman. Dengan demikian, masyarakat yang saat ini tinggal di Kota Solo sejatinya adalah representasi Indonesia.

Cerita inspiratif lain tentang toleransi tentu tidak hanya ada di Joyodiningratan, Purbayan, dan kawasan Pasar Gede di Kota Solo. Di pelosok desa di luar Kota Solo tentu banyak kisah yang bisa dituliskan dan disebarluaskan. Pelajar SMAN 1 Cawas melalui majalah sekolah Lensa Smanca edisi Januari 2022 menarasikan kisah tentang toleransi dengan sangat baik.

Tulisan sederhana tapi membawa pesan yang sangat mendalam tentang pentingnya toleransi itu bertajuk Kisah Inspiratif Bawono Pemeluk Kristen yang Jadi Panitia Pembangunan Masjid. Tulisan itu menceritakan Bawono yang umat Kristiani menjalankan tugas sebagai panitia pembangunan masjid dengan penuh tanggung jawab dan masyarakat muslim di sekitarnya mengapresiasi kerja dia.

Tidak ada dampak yang terjadi selain pembangunan masjid berjalan lancar, selesai tepat waktu, dan kerukunan masyarakat tetap terjaga.  Pada era yang serbadigital seperti sekarang ini tentu sangat mudah untuk membagikan potret dan narasi tentang toleransi di sekitar kita.

Setidaknya, dari hal-hal sederhana itu bisa menjadi kamapnye masif yang bisa membantu mengurangi angka statistik kasus intoleran yang masih cukup tinggi terjadi di Indonesia. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyebut kasus intoleransi di Indonesia setiap waktu meningkat.

Yang paling mendominasi adalah pendirian rumah ibadah yang sangat sulit dan hak-hak minoritas yang diabaikan. Imparsial mencatat ada 25 kasus intoleransi terkait dengan kebebasan beragama yang terjadi sepanjang 2022 dan terekam oleh pers. Semua pihak tentu berharap tak ada lagi kasus intoleransi.



Mumpung momentumnya tepat, yakni perayaan Natal dan menjelang tahun baru Imlek, mari kita manfaatkan media sosial untuk hal sederhana: menyebarluaskan indahnya kemajemukan. Dari hal sederhana ini setidaknya kita menutup tahun 2022 dengan melibatkan diri memperkuat moderasi beragama dan untuk suatu hal yang baru dicanangkan tahun ini, yakni 2022 sebagai tahun toleransi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 Desember 2022. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya