SOLOPOS.COM - Arif Budisusilo (Istimewa)

Saya menulis kolom ini saat melihat para peselancar yang kebanyakan bule alias turis asing  beraksi di Mandalika Swing di Pantai Tanjung Aan. Ini adalah salah satu spot surfing yang belakangan makin populer di Lombok. Makin populer, lantaran kawasan Mandalika sendiri kini jadi destinasi utama baru. Terutama setelah Mandalika sukses menggelar MotoGP pada awal tahun 2022 lalu.

Setelah dua hari berkeliling kawasan Mandalika, terus terang saya takjub. Dalam waktu relatif singkat, kawasan ini tampak berubah cepat. Seperti disulap. Saat berkesempatan ngobrol dengan beberapa penjual cindera mata di beberapa spot destinasi wisata, seolah mereka mengonfirmasi apa yang saya pikirkan. Mereka, para penjual itu, bilang setelah perhelatan MotoGP Mandalika pada Maret tahun lalu, kawasan ini seperti mendapatkan promosi besar.

Promosi Ada BDSM di Kasus Pembunuhan Sadis Mahasiswa UMY

Banyak kunjungan wisatawan, yang mungkin penasaran dengan Lombok dan terutama Mandalika. Pulau di sebelah timur Bali itu di masa lalu seakan cuma dikenal dengan kawasan Senggigi dan Gili Air serta Gili Terawangan saja. Namun kini Mandalika membawa cerita lain. Ada destinasi baru. Dan ada atraksi alias event. Bahkan berkelas.

Pariwisata memang harus bergerak di atas saluran 3A, yakni Akses, Atraksi dan Amenity. Akses berarti harus tersedia infrastruktur yang memadai. Atraksi berarti perlu ada tontonan. Yang rutin, unik dan syukur-syukur berkelas dunia. Amenity jelas: hospitalitas yang baik, mulai dari penginapan (hotel), fasilitas kesehatan dan lainnya, serta tentu saja kulineran.

Secara konsepsi, dasar 3A itu jelas bergeliat di Lombok. Terlebih setelah penetapan Mandalika sebagai kawasan pengembangan destinasi superprioritas, yang dikelola oleh Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), BUMN yang juga mengelola kawasan Nusa Dua Bali.

Yang jelas, saya lihat Mandalika terus berbenah. Kawasan Ekonomi Khusus yang menjadi proyek strategis nasional “10 Bali Baru”, salah satu program prioritas  Presiden Jokowi, itu terus membangun. Akses jalan masih terus diperluas dan diperpanjang. Memperkuat interkoneksi dengan banyak destinasi lain di Lombok. Tidak hanya di seputar sirkuit tetapi juga menghubungkan banyak lokasi destinasi favorit yang kini banyak diburu wisatawan. Akses jalan juga dibangun dengan standar yang bagus. Saya lihat beberapa BUMN terlibat, seperti Pembangunan Perumahan dan Wijaya Karya.

Sejumlah spot pantai di Mandalika banyak dikunjungi wisatawan asing yang tampaknya memang keranjingan surfing. Olahraga air itu memang menjadi salah satu daya tarik sport tourism di Lombok. Di luar Mandalika pun ramai, termasuk destinasi tradisional seperti Senggigi dengan Gili Air maupun Gili Terawangan yang sudah terkenal sejak lama.

Tak jauh dari Mandalika ada Selong Belanak, spot surfing dan sunset yang favorit. Saat saya mengunjungi Selong Belanak beberapa tahun lalu, turis belum seramai sekarang. Apalagi akses jalan kini jauh lebih bagus.

Bahkan menyusuri kawasan Lombok ke ujung selatan hingga ke Pink Beach di wilayah kabupaten Lombok Timur, jalanan sudah relatif bagus hingga ke ujung pulau. Hanya saja, di dalam kawasan yang berjarak tempuh sekitar 2 jam dari Mataram itu belum terkelola dengan maksimal. Terutama terkait dengan amenitas seperti fasilitas toilet dan ketersediaan air yang sangat terbatas. Ini barangkali yang perlu menjadi perhatian Pak Gubernur atau Bupati.

***

Jauh dari Lombok, akhir tahun lalu saya juga takjub melihat perkembangan Kota Doha, Qatar. Doha tampak sangat berbeda dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu, saat kali pertama saya berkunjung ke negeri kaya gas alam itu. Wajah Doha hari ini jauh berbeda: sangat maju dan European-like city. Infrastruktur jalan tak hanya lebar-lebar dan mulus, trotoar ciamik, ada LRT dan MRT. Bahkan sudah ada trem di keramaian kota, di antara pusat perbelanjaan dan gedung-gedung menjulang tinggi.

Boleh saja Anda merasa bahwa saya gampang gumunan. Tapi memang Kota Doha berkembang pesat dalam 10 tahun terakhir. Jika dibandingkan dengan kota-kota lama di dunia, kota ini cenderung lebih rapi, neat, dan modern. Konsep trotoar juga sangat ramah dengan pejalan kaki dan penikmat jalan-jalan.

Mungkin lantaran Qatar lama berbenah untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Emir Qatar all out mengerahkan seluruh sumber daya finansial yang dimilikinya. Tidak hanya menyiapkan agar pesta bola dunia empat tahunan itu sukses besar, tetapi juga menyulap profil Doha dengan segala fasilitasnya.

Dana ratusan miliar dolar pun dibelanjakan selama 10 tahun terakhir untuk menyulap Doha menjadi kota berkelas dan berstandard dunia. Bahkan beyond. Bukan hanya infrastruktur dasar, bandara, transportasi massal, dan stadion yang tak cuma megah tetapi melampaui standar FIFA. Lebih dari itu fasilitas perbelanjaan, profil kultural dan aneka hal terkait dengan “atraksi” dan “amenity” disiapkan sedemikian rupa. Dan berhasil.

Jangan lupa, gelaran putaran final Piala Dunia 2022 itu sendiri adalah atraksi luar biasa. Event yang menarik bermiliar pasang mata penggemar sepakbola dari seluruh dunia selama sebulan tertuju ke Doha. Jelas Doha dan Qatar mendapatkan promosi luar biasa. Branding luar biasa.

Maka, tak terlalu penting timnas Qatar tak lolos ke putaran kedua. Dan tak jadi soal juara Piala Dunia 2022 adalah Argentina yang memupus mimpi Prancis untuk mengulang juara dunia berturut-turut. Sesungguhnya, pemenang sejati Piala Dunia 2022 tempo hari adalah Qatar.

Keemiran di Timur Tengah yang di masa lalu dilabeli sebagai negara yang kaku, dogmatis dan normatif itu, hari ini jelas berubah. Modern dan maju. Berbenahnya luar biasa. Bukan lantaran didukung kekayaan dan sumberdaya finansial yang berlimpah semata. Tetapi visi jauh ke depan dengan tetap mengedepankan nilai kultural yang unik. Menjadi negara Islam dengan peradaban terbuka, progresif dan maju.

***

Merujuk kisah dari dua lokasi yang berbeda itu, saya kembali ke judul tulisan ini.

Akhir tahun lalu di Solo terjadi kehebohan lantaran Wali Kota Gibran Rakabuming Raka meluncurkan buku dengan judul besar Walikota Karbitan. Heboh, lantaran kosakata karbitan. Karbitan adalah istilah populer dalam bahasa kita sehari-hari. Makna harfiahnya adalah matang sebelum waktunya karena dipaksa matang.  Pisang karbitan, misalnya, adalah pisang hijau yang cepat matang karena diperam dengan karbit, bahan kimia yang memang kerap dipakai untuk mempercepat pematangan buah.

Istilah “masih hijau” juga kerap diartikan sebagai “baru memulai” sebuah profesi, atau belum berpengalaman untuk profesi tertentu. Baik atlit, entertainer, bahkan politikus. Maka, buku dengan judul lengkap Geliat Solo di Tangan Gibran: Walikota Karbitan itu membuat banyak orang penasaran. Terus terang, sebagai penerbit, Solopos banyak ditanya oleh pembaca. Banyak yang ingin mendapatkan buku itu.

Mas Wali, begitu Walikota Gibran sering disapa warganya, memang menginginkan buku tersebut diberi judul sinikal semacam itu.  Seakan menjawab bahwa di tangan walikota yang awalnya “dinyinyirin” masih hijau, belum siap, belum benar-benar matang –alias karbitan– tadi, nyatanya Solo banyak berbenah akhir-akhir ini.

Beberapa kali bertemu Mas Wali, baik dalam konteks mendiskusikan isi buku maupun dalam kesempatan yang lain, saya melihat sosok Mas Gibran ini jelas bukan karbitan.

Kapasitasnya dalam memanfaatkan momentum pembangunan Kota Solo, cukup brilian. Dalam banyak aspek. Mulai dari infrastruktur hingga sumberdaya manusia. Dari teknologi digital, UMKM, hingga pengembangan daya kreatif anak muda. Ambil contoh saja sola infrastruktur dan ikon kota. Dari semula 10 prioritas pembangunan kota Solo, yang tentu saja di-support penuh oleh pemerintah pusat dan BUMN, hari ini sudah bertambah menjadi 16 prioritas.

Konsep 3A tampak jelas hendak dikedepankan oleh Mas Wali. Tidak hanya menggenjot aksesibilitas dalam hal infrastruktur, tetapi juga atraksi dan amenitas.  Tak heran, kita dibuat kaget oleh informasi tetiba, di mana Solo akan memiliki Jalan tol Lingkar Selatan. Juga banyak venue baru untuk memperkuat atraksi di Solo. Begitu pula amenitas, dengan mendorong pembangunan hotel bintang lima oleh investor swasta.

Mangkunegaran juga sudah disulap sedemikian rupa, dan dipromosikan besar-besaran saat pernikahan Kaesang -adik bungsu Mas Wali. Mangkunegaran hanyalah salah satu contoh saja, bahwa Solo akan memiliki episentrum turisme baru. Mas Wali amat percaya bahwa atraksi dan event adalah motor penggerak traveler untuk datang ke Solo. Mereka akan menghidupkan perekonomian Solo.



Apalagi jutaan mata muslim Indonesia kini juga tertuju pada masjid baru Sheikh Zayed dan Islamic Center yang akan menyusul kemudian. Bahkan menyusul masjid spektakuler yang dibangun hanya dalam tempo 18 bulan itu, Mas Wali juga mendapat hibah lanjutan dari Emir Uni Emirat Arab untuk membenahi kota ini agar lebih nyaman bagi warganya.

Maka, . Di mana mobilitas pelancong, pebisnis dan brand korporasi menyatu dengan keunikan kota yang memancarkan aura heritage yang kuat dari energi budaya legasi dua keraton serta kreativitas ekonomi warga.

Model itu akan menjadi kekuatan ekonomi yang dahsyat bagi kemajuan Solo dan kesejahteraan masyarakatnya. Bila itu terwujud, jelaslah Mas Gibran bukanlah wali kota karbitan.

Nah, bagaimana menurut Anda? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya