SOLOPOS.COM - Athariq Wibawa (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO Cita-cita energi bersih merujuk pada pemanfaatan sumber energi terbarukan yang tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca dan tidak menyebabkan kerusakan lingkungan. Pemanfaatan energi terbarukan umumnya untuk menghasilkan energi listrik.

Hingga saat ini kebutuhan listrik masyarakat Indonesia mayoritas ditopang oleh energi tidak terbarukan. Salah satu yang dominan di industri energi di Indonesia adalah batu bara yang menjadi bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap.

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Selain batu bara, sumber energi tidak terbarukan lain yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia adalah minyak bumi yang diolah menjadi bahan bakar minyak untuk menjalankan moda transportasi.

Urgensi peralihan menuju energi terbarukan sangatlah jelas. Berbagai riset dan laporan berbagai lembaha menunjukkan dampak buruk energi fosil yang merusak ekologi maupun mengganggu kehidupan sosial masyarakat.

Pemerintah kemudian membuat agenda peralihan menuju energi terbarukan. Agenda peralihan menuju energi bersih adalah komitmen dari Perjanjian Paris (Paris Agreement) dan konvensi-konvensi lain yang berhubungan dengan krisis iklim.

Langkah pertama pemerintah menuju energi terbarukan tercermin pada pengembangan dan pembangunan infrastruktur pembangkit listrik bersumber energi terbarukan (angin, air, surya, panas bumi, dan lain sebagainya).

Selain mengurangi energi fosil di sektor ketenagalistrikan, pemerintah mengakselerasi penggunaan kendaraan bermotor listrik dengan memberikan insentif. Apakah langkah-langkah pemerintah sudah tepat dalam transisi menuju energi terbarukan?

Sayangnya, peralihan menuju energi terbarukan yang bertujuan menekan perubahan iklim dan mewujudkan lingkungan yang sehat hanya utopia. Beberapa kebijakan pemerintah justru mencoreng niat baik itu.

Entah dengan sadar atau tanpa sadar, pemerintah seolah-olah menggunakan kacamata kuda. Pembangunan yang menabrak prinsip-prinsip dasar seperti perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mengatasnamakan energi terbarukan.

Salah satu contoh kebijakan tersebut tercermin dalam pemanfaatan panas bumi. Indonesia sebagai negara jalur cincin api tentu memiliki potensi panas bumi yang besar. Pengembangan dan perluasan sumber energi panas bumi perlu ditinjau kembali.

Sumber energi panas bumi walaupun digolongkan sebagai sumber energi terbarukan diperoleh dari proses eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam. Bukan tidak mungkin pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) merusak lingkungan maupun menggusur lahan masyarakat sebagaimana industri ekstraksi pada umumnya.

Dibutuhkan prinsip kehati-hatian agar tidak menyebabkan krisis sosio-ekologis. Kasus yang terjadi di Poco Leok adalah contoh buruk. Pengembangan PLTP Ulumbu justru menjadi buah simalakama bagi masyarakat setempat.

Potensi panas bumi di Pulau Flores itu mencapai 1.000 MW dengan cadangan 402,5 MW. Tingginya potensi ini tentu menggiurkan bagi pemerintah untuk memproduksi listrik dari sumber energi terbarukan dengan harga terjangkau.

PT PLN mendorong perluasan PLTP Ulumbu, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggar Timur guna menaikkan kapasitas dari 7,5 MW menjadi 40 MW (Rosary, 2023). Lokasi pengembangan tersebut berada di Poco Leok dengan 60 lokasi pengeboran yang mencakup 13 kampung di tiga desa.

Sayangnya pengembangan PLTP Ulumbu berpotensi menghancurkan tatanan sosio-ekologis masyarakat setempat. Terdapat empat isu sosio-ekologis yang ditimbulkan akibat daya rusak PLTP Ulumbu (Teredi et al., 2016).

Pertama, penurunan produktivitas sektor pertanian secara drastis. Kedua, pencemaran air dengan kontaminan seperti arsenik, antimon, dan boron akibat metode fracking dalam ekstraksi panas bumi.

Ketiga, gangguan kesehatan masyarakat setempat akibat limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya) seperti gas H2S, geotermal brine, dan slunge. Di Desa Wewo terdapat tren peningkatan penyakit infeksi saluran pernapasan dan diare selama tiga tahun terakhir (Susabun, 2022).

Keempat, potensi besar bencana alam. Penggunaan air secara berlebih untuk keperluan ekstraksi panas bumi menyebabkan kepadatan tanah berkurang dan inilah penyebab utama ancaman bencana tanah longsor pada musim hujan.

Ini sebagaimana yang terjadi di bagian bagian utara dan timur lokasi pengeboran, persisnya di sebelah timur kawah Ulumbu. Di sana kontur tanah tebing itu setiap periode waktu tertentu selalu longsor (Teredi et al., 2016).

Selain panas bumi, fenomena kendaraan bermotor listrik juga menjadi diskursus tersendiri. Kendaraan bermotor listrik memang mengurangi emisi karbon,  bahkan mobil listrik murni (EV) menghasilkan 0 gram/kilometer emisi CO2.

Sayangnya sering kali kita gagal memandang isu ini dengan kacamata yang lebih luas. Hingga saat ini listrik yang dikonsumsi masyarakat Indonesia masih didominasi oleh sumber energi fosil (87,4%) (Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional, 2020).

Artinya penggunaan kendaraan bermotor listrik tidak memiliki sumbangsih apa pun dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Hanya mengonversi dari emisi hasil pembakaran bensin menjadi emisi batu bara lewat penambahan konsumsi listrik.

Penggunaan kendaraan bermotor listrik membutuhkan baterai litium. Baterai tersebut membutuhkan bahan baku nikel yang merupakan bahan logam yang dihasilkan lewat industri ekstraksi.

Industri ekstraksi melalui proses eksplorasi dan eksploitasi alam yang pada akhirnya merusak lingkungan hidup di wilayah pertambangan. Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia dengan produksi pada 2022 sebesar 1,6 juta metrik ton dalam setahun (United States Geologhical Survey, 2023).



Cadangan nikel di perut bumi pertiwi mampu mencukupi kebutuhan dunia. Berdasarkan laporan yang dituliskan Steven Brown, peneliti independen yang menginvestigasi tambang nikel di Indonesia, ada empat isu bencana sosio-ekologis yang muncul akibat pertambangan nikel, yaitu tergusurnya masyarakat adat, rusaknya kualitas air, deforestasi akibat pembukaan lahan tambang, dan menurunnya kesehatan masyarakat akibat polusi udara.

Isu-isu tersebut memiliki akar masalah yang sama, yaitu ketiadaan regulasi payung hukum energi terbarukan di Indonesia. Undang-undang yang memayungi pemanfaatan energi di Indonesia hanya UU Energi, UU Mineral dan Batu Bara, UU Panas Bumi, dan UU Ketenagalistrikan.

Empat undang-undang itu hanya menyinggung sedikit pemanfaatan energi terbarukan. Kerangka berpikir penyusunan undang-undang tersebut belum berdiri di atas prinsip-prinsip keadilan lingkungan dan perlindungan yang holistik.

Pemanfaatan energi terbarukan masih menyumbang kerusakan lingkungan. Dibutuhkan politik hukum energi terbarukan yang mengepalai perjalanan menuju energi bersih sehingga mewujudkan tatanan lingkungan yang sehat dan layak.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 September 2023. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dan asisten peneliti bidang hukum administrasi negara)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya