SOLOPOS.COM - Moh. Khodiq Duhri (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Belum lama ini beredar sebuah video yang sarat dengan kampanye hitam atau black campaign kepada calon wakil presiden yang diusung Koalisi Indonesia Maju Gibran Rakabuming Raka. Video itu menunjukkan Gibran berpidato dengan bahasa Inggris dalam sebuah event di luar negeri.

Narasi yang dibuat oleh pengunggah video di media sosial itu adalah putra sulung Presiden Joko Widodo itu lancar saat berpidato dengan bahasa Inggris jika dilihat dari kamera dari depan.

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Pengunggah video kemudian menampilkan sorotan kamera dari samping yang memperlihatkan sebuah alat bantu untuk membaca naskah pidato yang berada di depan Gibran.

Lewat video itu pengunggah video membuat ”kerangka bercerita” seolah-olah Gibran tak pandai berpidato bahasa Inggris sehingga membutuhkan alat bantu. Pada kolom komentar banyak warganet yang beranggapan Gibran tak cakap berbahasa Inggris sehingga kemampuan berdiplomasi dengan utusan dari luar negeri diragukan.

Gibran dianggap kurang layak menjadi calon wakil presiden karena kemampuan komunikasi pas-pasan. Demikianlah karakteristik warganet dalam negeri yang kejam dalam mengambil kesimpulan.

Saya tidak sedang berusaha membela Gibran. Saya hanya tertarik mengulas warganet Indonesia mudah terprovokasi oleh video bernada kampanye hitam kelas teri semacam itu.

Alat bantu berpidato yang dipakai Gibran itu disebut prompter. Alat ini biasa dipakai kalangan presenter televisi saat menyiarkan berita atau informasi. Prompter biasa digunakan untuk memudahkan presenter membawakan atau membacakan materi berita.

Dengan prompter itu presenter tidak perlu khawatir terlihat kurang lancar saat tampil di layar kaca. Prompter juga biasa dipakai sejumlah kalangan untuk membantu kelancaran dalam berpidato.

Naskah pidato yang terpampang pada layar prompter tentu sangat membantu dan mempermudah saat berbicara atau memberi sambutan di hadapan publik.

Memakai prompter atau tidak saat berpidato tentu bukan persoalan. Mau memakai naskah atau tidak sebenarnya juga bukan persoalan. Tidak ada aturan yang mewajibkan seseorang berpidato tanpa naskah.

Penggunaan prompter untuk mempermudah saat berpidato dalam bahasa Inggris adalah sah-sah saja. Tiga bulan menjelang Pemilu 2024, kampanye hitam semacam itu kemungkinan akan terus bermunculan dan menghiasi media sosial kita.

Kelemahan para calon presiden dan dan calon wakil presiden makin marak diumbar ke tengah publik. Hal itu seiring kian panasnya suhu politik menuju Pemilu 2024. Saya berpendapat apabila kampanye hitam, apalagi yang menjurus hoaks, pada Pemilu 2024 tidak akan sesemarak pada momentum pemilu sebelumnya.

Sejauh pengamatan saya, kampanye hitam melalui media sosial pada momentum Pemilu 2024 tidak semembabi buta pada momentum Pemilu 2014 atau Pemilu 2019.

Bagaimanapun kampanye hitam selalu memiliki pengaruh, entah besar atau kecil. Presiden Joko Widodo pernah mengakui penyebab perolehan suara di Kabupaten Bogor pada Pemilu 2014 sedikit karena ia diserang isu komunisme.

Pemilu 2014 memang momentum paling mengerikan. Setidaknya ada beberapa alasan. Pada era itu, sistem teknologi informasi mulai berkembang pesat seiring makin maraknya pemakaian smartphone berbasis Android di masyaralat.

Kala itu smartphone Android menggeser dominasi Blackberry dan Nokia. Peningkatan penggunaan Android diikuti peningkatan pengguna aplikasi perpesanan instan seperti Whatsapp (WA). Business of Apps melaporkan jumlah pengguna WA secara global pada awal 2013 baru mencapai 189 juta dan meningkat drastis menjadi 475 juta pada akhir 2014.

WA menjadi salah satu sarana yang paling banyak dipakai untuk menyebar informasi kampanye hitam yang berbasis data hoaks pada Pemilu 2014. Saat teknologi informasi berkembang pesat dengan makin maraknya penggunaan Android, tingkat literasi digital masyarakat pada 2014 justru belum mumpuni.

Saya melihat ada tren gagap literasi digital sehingga masyarakat kala itu mudah menerima informasi lalu menyebarluaskan informasi itu tanpa menyaring terlebih dahulu untuk memastikan kebenarannya.

Kala itu ada kecenderungan mereka merasa bangga ketika menjadi orang pertama yang menyebarkan informasi itu di media sosial. Kebanyakan informasi hoaks sebagai bagian kampanye hitam itu disebar oleh generasi baby boomers yang lahir pada era 1946-1964.

Walau persentase mereka dalam daftar pemilih tetap (DPT) cenderung kecil, berdasar survei yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Infomatika, generasi ini dianggap paling sering menyebarluaskan hoaks.

Walau sudah berkurang banyak, tren generasi baby boomers sebagai penyebar hoaks masih bisa ditemui hingga kini. Tidak ada yang menjamin Pemilu 2024 bakal bersih dari kampanye hitam berbasis hoaks.

Sebaran kampanye hitam di Pemilu 2024 besar kemungkinan tidak semasif pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Semakin meningkatnya literasi digital di kalangan masyarakat menjadi alasan utama.

Hal itu sejalan dengan kian masifnya kampanye melawan hoaks yang digalakkan banyak kalangan. Alasan lainnya, jumlah pemilih pada Pemilu 2024 mayoritas generasi milienial (lahir pada 1980 hingga 1994) dan generasi Z (lahir pada 1995 hingga 2000-an).

Jika diakumulasikan, total pemilih dari generasi milenial dan generasi Z berjumlah lebih dari 113 juta orang. Kedua generasi ini adalah mayoritas pemilih pada Pemilu 2024, yakni sebanyak 56,45% dari total pemilih.



Pemilih pemula di Pemilu 2024 masih berusia 12 tahun hingga 16 tahun saat Pemilu 2019 berlangsung. Saat penggunaan smartphone Android menggeser dominasi Blackberry dan Nokia satu dekade silam, pemilih pemula di Pemilu 2024 itu masih berusia tujuh tahun hingga 11 tahun.

Saat teknologi informasi berkembang dengan pesat, generasi Z memiliki literasi digital cukup baik sehingga cenderung tidak gagap dalam mengelola informasi yang diterima. Tak mengherankan apabila sejumlah kalangan menjadikan generasi Z sebagai agen hoax buster.

Itulah sebabnya saya meyakini generasi milenial dan generasi Z tak akan terpengaruh aneka model black campaign kelas teri yang biasa digunakan untuk menyerang calon presiden atau calon wakil presiden pada momentum Pemilu 2024.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 14 Desember 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya