SOLOPOS.COM - Ilustrasi kampanye dalam pemilu. (Freepik)

Mahkamah Konstitusi pada 15 Agustus 2023 melalui putusan nomor 65/PUU-XXI/2023 mengabulkan uji materi Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Undang-undang Pemilu melarang pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Pada bagian penjelasan pasal itu terdapat narasi ambigu yang menjadi perdebatan selama tahun-tahun belakangan.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Pasal 280 tidak benar-benar melarang penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan sebagai lokasi kampanye. Mahkamah Konstitusi  mengubah Pasal 280 itu.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Pasal 280 menjadi berbunyi pelaksana, peserta, maupun tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali mendapat izin dari penanggung jawab tempat yang dimaksud serta hadir tanpa atribut kampanye pemilu.

Penjelasan pasal kini menjadi bagian integral pasal sehingga mengubah pemaknaan secara menyeluruh. Putusan Mahkamah Konstitusi ini mengundang reaksi pro dan kontra di kalangan masyarakat, termasuk akademisi, pengamat pendidikan, dan tokoh-tokoh politik.

Suara pro berasal dari mereka yang diuntungkan dari regulasi ini. Demikian pula sebaliknya. Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang tidak setuju sekolah dan madrasah dijadikan tempat kampanye adalah sikap yang tepat.

Kampanye  politik di sekolah dan madrasah mengganggu proses belajar yang sampai saat ini masih dihadapkan pada kondisi learning loss atau berkurangnya pengetahuan dan keterampilan secara akademis.

Seluruh warga sekolah dan madrasah harus fokus menstabilkan proses belajar-mengajar ketimbang menjadi tempat kampanye pemilu. Dampak pandemi Covid-19 hingga saat ini belum pulih benar.

Di kampus, kegiatan kampanye sebenarnya bisa dilaksanakan. Tentu kampanye harus selaras dengan jati diri, fungsi, dan kewajiban perguruan tinggi terhadap masyarakat, publik, dan peradaban.

Pada dasarnya perguruan tinggi harus netral, tidak boleh memihak atau condong pada kekuatan atau kelompok politik tertentu. Harus ada metode yang tepat supaya kampanye di kampus berjalan dengan positif dan menjadi wahana pendidikan politik yang baik.

Kampanye itu bisa berbentuk debat terbuka antarcalon presiden atau calon anggota legistaltif atau calon kepala daerah. Bisa pula berupa orasi ilmiah atau diskusi panel.

Cara ini akan memberikan pengetahuan politik kepada para intelektual dan bisa menjaring pemilih dari kalangan pemilih pemula. Meski begitu, pengelola kampus harus tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dan imparsial.

Wacana ini tidak lepas dari risiko, misalnya mobilisasi internal kampus yang mengarahkan civitas academica mendukung peserta pemilu tertentu, pemanfaatan fasilitas kampus untuk aktivitas kelompok atau kekuatan politik tertentu, atau pihak tertentu di kampus yang mengundang calon pilihan tanpa memberi ruang bagi calon yang lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya