SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO – Kampus  atau perguruan tinggi digadang-gadang mendidik generasi-generasi intelektual baru untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia di tengah perkembangan zaman yang sangat cepat.

Sebenarnya di sanalah salah satu tempat orang-orang intelektual terlahir karena kampus menyelenggarakan pendidikan akademis dan vokasi dalam sejumlah bidang ilmu dan pengetahuan, teknologi, seni, bahkan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi dan spesialis.

Promosi Pemimpin Negarawan yang Bikin Rakyat Tertawan

Sangat disayangkan ketika belajar di perguruan tinggi hanya untuk mendapatkan gelar, tanpa mempertimbangkan kompetensi perihal keilmuan dan mengasah pola pikir.

Hal yang lebih membikin miris adalah ketika belajardi perguruan tinggi hanya untuk pencitraan, sekadar membangun citra baik. Ini menjadi paradoks dan mencederai hakikat pendidikan. Konyol. Kenyataan demikian membuat saya makin merasakan ada hal yang tidak beres dalam budaya akademis.

Perkembangan dan laju teknologi digital, alih-alih menjadikan warga akademis setia terhadap bernalar, justru sebaliknya. Mereka juga rentan menjadi objek disrupsi. Mengutip gagasan Tom Nichols dalam buku Matinya Kepakaran (2017), ada harapan perguruan tinggi tetap teguh dengan kaidah kepakaran, namun ternyata malah penuh tanda tanya.

Kualitas pendidikan terbaik di suatu negara di dunia salah satunya dengan mengukur tingkat literasi. Sepertinya, kini, literasi menjadi magic word untuk mengukur kualitas pendidikan.

Kesadaran terhadap litarasi patut dipertimbangkan kembali oleh para mahasiswa karena semakin banyak literasi akan bertambah pula ilmu pengetahuannya. Semakin banyak ilmu pengetahuan akan mempermudah mengerjakan tugas-tugas dari dosen.

Ilmu pengetahuan, sains misalnya, senantiasa mengajak berdialog dengan alam semesta. Pada saat ini sejumlah kaum yang mengaku terdidik menyematkan gelar akademis agar dapat memicu orang lain untuk selalu menyebutkan gelar-gelar itu dengan takzim.

Nirwan Ahmad Arsuka dalam buku Percakapan dengan Semesta (2015) menyatakan pemujaan gelar ini mungkin akan terkoreksi nantinya, tetapi untuk beberapa waktu kita masih bisa menikmati tontonan kaum yang mengaku terdidik menyematkan gelar akademis seperti bangsawan feodal mengenakan hiasan dan busana kebesaran, dan meminta orang lain selalu menyebutkan gelar-gelar itu dengan takzim.

Hal demikian relevan dengan realitas banyak perguruan tinggi masih mendewakan gelar akademis. Keterangan yang bisa dibaca dalah perguruan tinggi di Indonesia masih mendewakan gelar, bukan kompetensi, dan dipaksa menyiapkan dosen super.

Hal ini memicu perjokian publikasi ilmiah yang merusak dunia pendidikan. Maraknya joki tugas di kalangan mahasiswa menyebabkan mahasiswa menjadi semakin malas belajar karena mereka terbayang-bayang akan menggunakan jasa joki tugas untuk menyelesaikan tugas-tugas dari dosen.

Sebelum menggunakan jasa joki untuk menyelesaikan tugas akhir sebagai mahasiswa, yakni berupa karya ilmiah, ada hal wajib perlu dimengerti. Bahwa ketika karya ilmiah itu ketahuan menjiplak maka gelar akademis dapat dicabut.

Ini ketentuan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama Pasal 25, yang menyatakan lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademis, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.

Seharusnya mahasiswa memahami ilmu pengetahuan dan aktivitas akademis secara baik dan rasional agar dapat mengimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam memahami ilmu pengetahuan itu menggunakan kesadaran berpikir dan fakta, kenyataan, agar ilmu pengetahuan itu dapat berkembang dengan baik.

Mulanya memahami ilmu pengetahuan dengan kesadaran dan berbasis fakta atau kenyataan. Hal ini menjadikan mahasiswa harus sadar tentang literasi dan tugas. Tugas itu seharusnya dikerjakan sendiri dan jangan melimpahkan tugas kepada  orang lain, apalagi kepada joki.

Sebagai makhluk kreatif, seharusnya mahsiswa dapat menciptakan penemuan-penemuan baru berkaitan dengan ilmu pengetahua agar ilmu tidak menimbulkan nalar semu dalam imajinasi atas nama ilmu dan pengetahuan.

Bahwa tanggung jawab harus dapat dikerjakan dengan baik, menggunakan kemampuan dan keterampilan untuk mendapatkan hasil terbaik. Sebagai warga akademis, mahasiswa memegang amanah menjaga muruah intelektual dan integritas yang kemudian terpatri dalam kesadaran untuk berpihak kepada yang lemah dan tertindas.

Dalam buku Potret Pembangunan (Pustaka Jaya, 1993) karya W.S. Rendra, kita patut merefleksikan salah satu puisinya, Sajak Pertemuan Mahasiswa. Puisi itu pada 1 Desember 1977 dibacakan di hadapan para mahasiswa Universitas Indonesia.

Kita bisa membaca sebagian larik-larik puisi itu: Sekarang matahari, semakin tinggi./ Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala./ Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya:/ Kita ini dididik untuk memihak yang mana?/ Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini//akan menjadi alat pembebasan,/ ataukah alat penindasan/.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 Maret 2023. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Nahdlatul Ulama Solo dan aktif di Engineering Study Club atau ESC)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya