SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia

Ahmad Djauhar, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia

Pekan lalu, seorang kenalan yang sepanjang tahun bekerja dan tinggal di luar negeri menghadiri sebuah forum diskusi yang diselenggarakan oleh aktivis sebuah lembaga terkenal di Bandung. Dalam kesempatan itu, dia, yang mengaku mudik ke Indonesia setahun sekali setiap Ramadan, mengungkapkan kegalauan hatinya mengenai berbagai hal yang tergambarkan di media massa, termasuk sajian televisi, di negeri tercintanya ini.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

“Saya kok menangkap kesan bahwa sajian program di berbagai stasiun televisi kita datar-datar saja ya. Bahkan, cenderung tidak bermutu.. Apa saya saja yang merasa seperti itu karena lebih banyak di luar negeri ya,” ujar sarjana teknik yang mengaku telah bertahun-tahun bekerja di Arab Saudi itu.

Keruan saja, peserta lain dari forum diskusi tersebut menyatakan dengan nada serempak bahwa banyak siaran televisi nasional yang memang payah, khususnya tayangan sinetron alias sinema elektronik yang kabarnya menyedot jutaan pemirsa, sehingga menjadi program siaran favorit di hampir semua saluran televisi.

“Anda tidak sendirian kok. Kami yang sepanjang tahun tinggal di Tanah Air ini sudah merasa muaaaak banget melihat sinetron yang begitu-begitu saja. Masa, tokoh ceritanya itu masih muda-muda tapi sudah kaya raya. Kapan mereka berkeringat untuk memperoleh kekayaan itu. Gak masuk akal,” tutur seorang peserta yang berprofesi sebagai peneliti.

“Sudah begitu, banyak sekali ucapan kurang pantas yang sering dilontarkan para pemeran dalam cerita sinetron itu.. Lha itu kan ngajari anak-anak kecil yang juga ikut menyaksikan tayangan tersebut. Akibatnya, mudah ditebak, anak-anak sekarang banyak yang menirukan lagak lagu para figur di sinetron tersebut, termasuk segala sumpah serapah mereka,” kata peserta dari Jakarta yang mengikuti diskusi tadi.

Saya hanya dapat mengernyitkan dahi menyaksikan pembicaraan yang semakin seru untuk menghakimi berbagai program tayangan sejumlah besar televisi nasional itu. Ketika mereka menanyakan pendapat saya soal tersebut, yang bisa saya katakan hanyalah mengamini pendapat mereka bahwa saya prihatin dan kecewa menyaksikan tayangan televisi nasional.

“Karena itu, saya memilih puasa total untuk tidak menyaksikan acara siaran televisi lokal. Saya memilih menambah pengeluaran bulanan agar dapat berlangganan televisi kabel yang siarannya beragam dan banyak di antaranya yang sesuai keinginan kami sekeluarga. Misalnya, untuk anak-anak ada siaran edukatif maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Program informasi maupun hiburan bagi orang dewasa juga cukup beragam,” ujar saya menambahkan.

Sebagian besar peserta menyetujui pencapat saya tersebut sambil menyatakan bahwa program siaran beberapa stasiun televisi semacam Discovery Channel, National Geographics, BBC Knowledge, dan sebagainya justru sangat menambah wawasan karena tayangan mereka tentang pengetahuan alam sungguh memukau.

“Benar lho.. Alih-alih menyaksikan tayangan penuh kepalsuan dan umpatan yang banyak ditonjolkan oleh televisi lokal, kita malah bisa memuji kebesaran Allah setelah menyaksikan tentang kekayaan alam semesta yang ditayangkan televisi internasional itu ya. Kenapa sih televisi kita tidak mau membuat program siaran semacam itu,” kata peserta yang bekerja di luar negeri tadi.

“Bukannya tidak mau membuatnya. Ada kok sejumlah kecil televisi nasional yang juga membuat tayangan tentang kehidupan di alam liar di negeri kita, misalnya. Masalahnya, ketika program itu ditayangkan, peringkat penontonnya sangat… sangat kecil, yang berarti hampir tidak ada sponsor yang beriklan selama acara itu ditayangkan. Lha televisi kan mengandalkan pendapatan mereka dari iklan dan kalau bisa setiap tayangan dikerubuti iklan,” ucap peserta yang peneliti.

“Artinya, acara itu nyaris tidak ditonton orang. Hal itu bisa terjadi karena dua hal yakni karena penyajiannya kurang menarik atau memang minat penonton televisi lokal terhadap program siaran seperti itu sangat rendah. Hal seperti ini harap dimaklumi karena berdasarkan data statistik, mayoritas penonton televisi di Indonesia berpendidikan tidak lebih tinggi dari lulusan SMP [sekolah menengah pertama]. Walhasil, kalau dikasih tayangan yang agak cerdas cenderung sepi penonton,” ungkap seorang peserta yang sedari tadi hanya memperhatikan jalannya diskusi.

“Oalah.. pantesan program siaran televisi kita ini tidak kunjung maju ya. Mereka disandera oleh peringkat yang disebabkan oleh kualitas kecerdasan penonton. Berarti, akan masih panjang kondisi keterbelakangan di layar pertelevisian nasional kita ini. Lalu kapan bangsa kita menjadi lebih cerdas, sehingga program televisi nasional juga ikut cerdas,” tukas peserta yang menjadi expatriate di negeri orang itu.

Suasana diskusi tiba-tiba senyap. Tidak seorang pun berminat utuk menjawab pertanyaan filosofis itu. Lidah saya pun mendadak kelu, tak sanggup berucap, padahal pikiran masih tetap berkecamuk bahwa seharusnya taraf pendidikan bangsa ini lah yang harus didorong agar masyarakat menjadi lebih cerdas, sehingga bangsa Indonesia tidak ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain.

“Katanya, anggaran pendidikan sudah dinaikkan berlipat-lipat beberapa tahun terakhir, tapi berita tentang mahalnya sarana pendidikan—dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi—masih senantiasa menjadi keluhan masyarakat. Belum lagi masih sering diberitakan di media tentang sekolah reyot atau bahkan roboh di wilayah Jakarta, Ibukota Republik ini. Duh…,” ujar saya dalam hati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya