SOLOPOS.COM - Sri Haryanti (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Ramadan sering menampilkan peningkatan konsumsi masyarakat. Ini tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia muslim. Fenomena ini dapat dilihat dalam berbagai aspek, menckaup peningkatan permintaan produk makanan dan minuman khusus Ramadan hingga lonjakan aktivitas belanja untuk persiapan Idulfitri.

Orang-orang berjubel-jubel di pasar-pasar, di mal, dan di sentra-sentra perekomian menjadi pemandangan umum selama Ramadan. Fenomena ini terjadi karena kaum muslim yang berpuasa ingin memanjakan diri saat berbuka dan sahur.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Seharian menahan lapar dan dahaga adalah kondisi yang sangat pas untuk membuat konsumsi meningkat dan, dalam batas-batas tertentu, berbeda. Perilaku konsumtif yang tidak berdasarkan kebutuhan dasar, tetapi lebih pada penumpukan barang dan jasa yang berlebihan, memang menjadi fenomena menarik untuk diamati.

Ahli ekonomi terkenal, Thorstein Veblen, melalui konsep tentang “konsumsi konspikuitas”, meyakini keinginan memperlihatkan status sosial melalui konsumsi menjadi salah satu pemicu utama perilaku konsumtif yang berlebihan.

Dalam konteks Ramadan, ketika terjadi peningkatan percepatan konsumsi, industri makanan dan minuman cenderung memanfaatkan momentum ini dengan menawarkan berbagai promo dan produk yang memicu nafsu konsumtif.

George Ritzer menyampaikan konsep “McDonaldization” yang merujuk pada standardisasi, efisiensi, dan pengendalian dalam industri makanan dan minuman modern. Dalam konteks “kapitalisme Ramadan,” prinsip-prinsip ini juga dapat diterapkan.

Industri makanan berperan memperkuat budaya konsumtif selama bulan yang suci ini. Penekanan pada pengadaan makanan yang cepat, praktis, dan kadang-kadang berlebihan, mencerminkan kapitalisme memengaruhi perilaku konsumsi selama Ramadan.

”Kapitalisme Ramadan” dapat dipahami sebagai fenomena ketika keinginan menunjukkan status sosial dan kebutuhan akan konsumsi yang berlebihan, yang dipicu oleh industri makanan yang terlibat, menciptakan siklus konsumsi yang terus berlanjut selama Ramadan.

Bulan Pendidikan

Ramadan mengajarkan banyak hikmah, antara lain, berperilaku tidak berlebihan, termasuk kala makan, minum, dan berpakain. Kearifan Ramadan bertujuan menjadikan orang-orang yang berpuasa bertakwa dalam arti yang sebenarnya.

Karena itulah, berlebihan dalam konsumsi justru bertentangan dengan semangat berpuasa tersebut. Perilaku konsumtif yang semakin meningkat selama Ramadan dapat menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana nilai-nilai puasa, yang seharusnya mengajarkan keprihatinan sosial dan empati terhadap orang yang kurang beruntung, tergerus oleh dorongan konsumsi yang berlebihan.

Para ulama dan sosiolog telah mengamati dampak negatif dari transisi ini. Ramadan bukan hanya tentang ibadah dan refleksi spiritual, tetapi juga sering kali diwarnai konsumerisme yang melampaui batas.

Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan amarah, nafsu, tatapan, ucapan, dan perilaku buruk lainnya. Semua itu bertujuan membentuk karakter yang lebih baik dan lebih peduli terhadap orang lain.

Pendidikan kala berpuasa seharusnya menciptakan kesadaran tentang kesulitan yang dihadapi oleh orang lain, termasuk orang-orang miskin, dan menguatkan rasa empati serta kepedulian sosial.

Sosiolog Emile Durkheim menyatakan pentingnya solidaritas sosial dalam masyarakat. Konsumsi berlebihan yang tidak terkendali selama Ramadan dapat memperkuat individualisme dan kesenjangan sosial, mengancam keberlangsungan prinsip-prinsip solidaritas dan keadilan yang seharusnya ditanamkan dalam puasa.

Perlu sebuah refleksi mendalam bagi masyarakat untuk kembali memahami esensi puasa dan mengingat pentingnya nilai-nilai sosial dalam praktik spiritual mereka, sehingga konsumsi yang dilakukan selama bulan suci ini tidak menjauhkan mereka dari ajaran keprihatinan sosial yang seharusnya menjadi inti dari ibadah puasa.

Hukum Besi Sosial-Ekonomi

Peningkatan perilaku konsumsi selama Ramadan sesungguhnya mencerminkan prinsip-prinsip dasar hukum ekonomi yang tidak bisa diabaikan. Konsumsi yang tinggi dapat membawa dampak positif di sektor ekonomi dengan mendorong aktivitas produktif.

Permintaan yang tinggi akan merangsang produsen meningkatkan penyediaan barang dan jasa (supply), sehingga menciptakan siklus ekonomi yang bergerak dinamis.

Ekonom terkenal Milton Friedman menyatakan konsumsi adalah motor ekonomi yang perlu terus bergerak. Ketika perilaku konsumtif meningkat tidak hanya menciptakan pertumbuhan ekonomi, tapi juga lapangan pekerjaan baru serta terciptanya nilai tambah dalam perekonomian secara keseluruhan.

Perspektif ini menegaskan bahwa aspek ekonomi juga memiliki peran penting dalam menganalisis fenomena konsumsi selama Ramadan. Dalam konteks sosial, peningkatan konsumsi juga dapat memicu interaksi antarindividu dalam masyarakat.

Ini pada gilirannya dapat memperkaya hubungan sosial dan memperluas jejaring kemitraan bisnis. Mengkaji fenomena konsumsi selama Ramadan tidak hanya dari sudut pandang teologis, namun juga dari perspektif sosial, ekonomi, dan budaya dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap dampak serta implikasi dalam masyarakat yang heterogen dan dinamis seperti pada era saat ini.

Penting untuk mengakui bahwa fenomena perilaku konsumtif selama Ramadan merupakan bagian dari hukum besi sosial dan ekonomi yang tak terhindarkan, yakni supply and demand.

Sebagai gantinya, kita seharusnya tidak mengarahkan penyalahgunaan, namun memahami bahwa perilaku ini adalah reaksi alami dalam konteks tertentu. Dalam hal ini, penting untuk terus memberikan contoh-contoh positif tentang empati sosial, semangat berbagi, dan nilai-nilai kebaikan lainnya.

Ahli ekonomi dan sosiolog R.H. Tawney menyatakan perspektif hukum ekonomi yang hanya mengutamakan supply and demand tanpa mempertimbangkan nilai-nilai sosial dapat menimbulkan ketidakseimbangan moral dalam masyarakat.

Kutipan ini menyoroti pentingnya mempertahankan keseimbangan antara prinsip-prinsip ekonomi dengan nilai-nilai sosial yang menjadi pijakan moral masyarakat.



Dengan demikian, sambil mengakui realitas hukum ekonomi, kita tidak boleh melupakan pentingnya membentuk kesadaran akan nilai-nilai sosial yang lebih luas dalam setiap tindakan dan keputusan ekonomi yang diambil.

Dengan demikian, melalui kombinasi pengertian terhadap hukum besi ekonomi dan penanaman nilai-nilai sosial yang positif, kita dapat menciptakan lingkungan sosial yang lebih seimbang dan berkelanjutan.

Perilaku konsumtif yang terjadi selama Ramadan dapat diarahkan menuju upaya kolaboratif yang lebih bermakna dan berdampak positif bagi masyarakat secara keseluruhan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 April 2024. Penulis adalah peserta program doktor dan dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Raden Mas Said Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya