SOLOPOS.COM - Chelin Indra S (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Esai  karya Ginanjar Saputra yang terbit di Solopos edisi Sabtu—Minggu (10—11/6/2023) berjudul Buat Apa Kuliah? mengusik batin saya. Pertanyaan ”buat apa kuliah” memang masih relevan ditanyakan kepada mahasiswa zaman sekarang yang sering membolos, suka menunda mengumpulkan tugas, dan menyepelekan dosen.

Dalam banyak kesempatan mengajar di beberapa kampus di negeri ini, saya selalu bertemu mahasiswa model begitu. Mungkin bagi sebagian mahasiswa kuliah sekadar memenuhi presensi, mengerjakan tugas, sembari berharap mendapat nilai sempurna.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Sebagian mahasiswa lainnya menganggap kuliah sekadar jalan mendapat pekerjaan berpenghasilan tinggi setelah lulus. Setidaknya dalam 10 tahun terakhir, budaya akademik di kampus belum banyak berubah.

Dosen dipandang tak ubahnya sebagai penceramah yang membosankan di kelas. Tentu tidak semua dosen demikian. Ada yang mendapat gelar dosen idola mahasiswa. Faktanya tidak banyak yang berubah dari budaya akademik tersebut.

Dosen tipe apa pun selalu berhadapan dengan model mahasiswa yang menyepelekan orang lain—yang memang sepele juga, nyepelekke wong sepele. Saya sebagai praktisi ketika berbagi ilmu dengan mahasiswa di kampus jamak mengelola kelas dengan permisif.

Tidak masalah mahasiswa datang terlambat, tidak hadir tanpa keterangan, atau bahkan tidak mengerjakan tugas dengan berbagai alasan. Belakangan baru saya menyadari, permisif bukan cara yang tepat menghadapi mahasiswa yang hobi nyepelekke wong sepele.

Pada akhir semester saya jamak menghadapi permintaan aneh dari mahasiswa yang suka menyepelekan itu. Mereka minta lulus walau tak mengerjakan tugas dengan alasan bekerja, sakit, dan lain sebagainya.

Ini membuat saya bimbang dan bertanya ”salahkah jika saya tidak meluluskan mereka karena alasan-alasan sepele itu?” Pada sisi yang lain, banyak mahasiswa yang berkomitmen dan menunjukkan gairah menuntut ilmu.

Kebiasaan menyepelekan orang lain ini bisa menjadi salah satu gejala narcissistic personality disorder. Kondisi yang tergolong gangguan kepribadian ini membuat pengidapnya menganggap dirinya jauh lebih penting daripada orang lain hingga berhak mendapatkan keistimewaan, tetapi memiliki empati yang rendah.

Orang-orang semacam itu biasa dikategorikan sebagai toxic people alias orang beracun yang merugikan. Dalam relasi dengan dosen, mahasiswa toxic yang suka membolos biasanya akan memelas meminta tugas tambahan sebagai pengganti absen di kelas.

Hal semacam ini umum terjadi, khususnya pada mahasiswa yang sudah di ujung tanduk, namun tidak segera lulus. Meminta tugas pengganti absensi memang tidak salah. Kondisi ini menjadi salah apabila sejak awal si mahasiswa memang tidak ada niat berkomunikasi dengan dosen untuk menyampaikan kendala yang dihadapi hingga menyebabkan dia membolos.

Komunikasi penting agar semua aktivitas perkuliahan berjalan lancar, tetapi jika sudah pada akhir masa perkuliahan dan tidak ada kabar dari si pembolos, rasanya dosen berhak menyimpulkan mahasiswa ini termasuk model nyepelekke wong sepele.

Hal yang perlu digarisbawahi adalah kuliah bukan sekadar datang di kelas untuk mendengarkan ceramah dosen. Kuliah adalah proses pembelajaran sekaligus pendewasaan diri.

Di kampus mahasiswa bukan hanya dicekoki ilmu sesuai jurusan yang dipilih, tetapi juga mengasah kemampuan berpikir kritis, melatih kepekaan pada lingkungan sekitar, dan belajar dari pengalaman.

Semua itu dibutuhkan untuk membentuk kepribadian dan kedewasaan berpikir dan bersikap. Itulah yang membedakan mahasiswa sebagai lulusan perguruan tinggi dengan lulusan pendidikan tingkat di bawahnya.

Mahasiswa adalah kategori siswa paling tinggi dan mestinya memberikan teladan bagi juniornya. Sejauh ini masih banyak mahasiswa yang belum menyadari status dan tugas dengan baik. Mahasiswa malas yang menunda kelulusan karena seribu alasan masih mewarnai dunia kampus hari ini.

Tujuan paling kuno orang tua menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi supaya mendapatkan pekerjaan bergengsi. Ketika menjadi mahasiswa saja model begitu, siapa yang mau membayar mereka dengan gaji tinggi?

Pada akhirnya pertanyaan ”buat apa kuliah” memang harus direnungkan baik-baik oleh mahasiswa. Kelulusan yang indikatornya nilai dari dosen tidak mungkin menggambarkan sikap, kemampuan, dan keahlian secara utuh.

Penyedia pekerjaan jamak selalu menilai sikap calon karyawan. Ketika calon karyawan menunjukkan sikap nyepelekke wong sepele, usaha mencari pekerjaan pasti menghadapi banyak hambatan.

Rezeki memang urusan Tuhan, tetapi manusia wajib berusaha dan berdoa dengan bersungguh-sungguh. Salah satunya dengan memperbaiki sikap selama menempuh pendidikan di bangku kuliah.

Masa depan negeri ini membutuhkan keterlibatan mahasiswa dalam berbagai hal. Dengan pemikiran cerdas dan kegiatan intelektual, mahasiswa  bisa berkontribusi dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial budaya.

Mahasiswa harus berpikir maju agar mampu memberikan solusi atas persoalan yang terjadi di negeri ini. Bukannya menambah persoalan dengan kemalasan, keangkuhan, dan sikap nyepelekke wong sepele yang dipelihara.

Silakan merenungkan sekali lagi pertanyaan ”buat apa kuliah” sampai menemukan jawaban yang tepat. Apakah sekadar ingin mendapat ijazah demi pekerjaan mapan? Apakah untuk menambah wawasan, pengalaman, dan memupuk kedewasaan sebagai bekal menjemput masa depan yang lebih baik?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 Juni 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya