SOLOPOS.COM - Satrio Wahono (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO –– Melihat perjalanan demokrasi Indonesia belakangan ini, selama 25 tahun sejak era reformasi 1998, rasanya kita masih harus banyak prihatin. Korupsi masih merajalela, perekonomian rakyat terpuruk karena melambungnya harga-harga dan melebarnya kesenjangan ekonomi meskipun di tengah pertumbuhan ekonomi positif, dan sebagian kaum elite penguasa tetap asyik mengedepankan kepentingan sendiri.

Tragisnya, kemandekan perbaikan di negeri ini terjadi tatkala begitu banyak kaum cerdik pandai alias kaum inteligensia masuk ke pusaran kekuasaan: mulai dari level menteri, wakil menteri, staf khusus, lembaga legislatif, kekuasaan kehakiman, dan institusi lain.

Promosi Moncernya Industri Gaming, Indonesia Juara Asia dan Libas Kejuaraan Dunia

Wajar orang berpraduga bahwa banyak kaum intelektual atau inteligensia yang dulu lantang menyuarakan konsep-konsep mulia umumnya akan larut dalam pragmatisme kekuasaan saat sudah berada di dalam.Pertanyaannya, apakah praduga itu bisa dibenarkan?

Ada begitu banyak nama untuk kaum inteligensia yang diharapkan mampu memberikan tuntunan bagi warga yang lain. Ada yang menyebut kaum ini intelektual, cendekiawan, ilmuwan, dan lain sebagainya. Alhasil, banyak sebutan ini menimbulkan kekaburan definisi, padahal segala kesimpangsiuran terminologis itu diperas menjadi tiga tipologi kaum inteligensia.

Pertama, kaum ilmuwan. Inilah kaum yang mementingkan pencarian ilmu pengetahuan berdasarkan metodologi-metodologi ilmiah yang mereka dalami demi memperkuat kesahihan hasil pencarian mereka tersebut. Gambaran karikaturis dari kelompok ini, misalnya, sekelompok orang berbaju laboratorium putih yang asyik dan sibuk dengan penelitian mereka masing-masing di ruang steril.

Bagi mereka, pengetahuan itulah yang menjadi tujuan sehingga soal bagaimana temuan ilmiah mereka akan digunakan menjadi urusan nomor kesekian. Singkatnya, menurut sosiolog Iran, Ali Syariati (Tugas Cendekiawan Muslim, Sriguntinh, 1999), ilmu pengetahuan bagi kaum ilmuwan ini bersifat bebas nilai (value-free).

Kedua, kaum cendekiawan. Bagi kaum ini, ilmu pengetahuan dan hasil temuan ilmiah haruslah untuk memihak kaum yang tertindas, marginal, dan terpinggirkan. Maka dari itulah, ilmu pengetahuan tidaklah bebas nilai dan bukan menjadi tujuan bagi dirinya sendiri (an end in itself). Ilmu pengetahuan sekadar sarana bagi kaum cendekiawan untuk mengangkat harkat dan martabat pihak yang lemah.

Artinya, kaum cendekiawan adalah seperti yang disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, yaitu tipologi intelektual ideal karena mengikatkan diri secara institusional atau organik dengan kaum tertindas—entah itu kaum buruh, rakyat miskin, dan kaum marginal lainnya melalui lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian, dan lain sebagainya—guna memperjuangkan pembebasan diri mereka ke arah yang lebih baik (Roger Simon, Gagasan Politik Gramsci, Pustaka Pelajar, 1999).

Dalam bahasa lain, kaum cendekiawan inilah yang sering didengang-dengungkan sebagai intelektual atau inteligensia publik. Alih-alih berlindung di balik menara gading ilmu  pengetahuan, kaum ini bertungkus lumus dengan realitas sejati permasalahan rakyat atau publik dan mengartikulasikannya di hadapan kekuasaan dalam rangka membekaskan pengaruh terhadap proses pengambilan kebijakan publik yang bermanfaat bagi kemajuan dan kemaslahatan masyarakat.

Ketiga, kaum teknokrat. Inilah kaum yang melaksanakan ilmu pengetahuan sebagai teknologi atau strategi praktis demi memajukan kepentingan kelompok sendiri atau rezim penguasa. Konsekuensi logisnya, kaum teknokrat persis menjadi pihak yang berseberangan vis-à-vis dengan kaum cendekiawan atau inteligensia publik.

Relasinya kadang konstruktif dalam arti suara dari luar (inteligensia publik) mampu dieksekusi oleh suara di dalam (kaum teknokrat), tapi juga destruktif ketika suara dari luar dianggap sepi, atau bahkan dianggap serangan, oleh suara di dalam.

Berbekal perspektif itu, mudah bagi kita memetakan posisi para inteligensia dalam lanskap politik bangsa ini. Kaum terdidik yang hanya sibuk dengan pengembangan ilmunya sendiri di kampus atau laboratorium bolehlah disebut ilmuwan.

Nah, jika mereka kemudian berkomitmen menggunakan temuan itu sebagai sarana menyuarakan kepentingan publik, mereka bertransformasi menjadi cendekiawan. Selanjutnya, jika para cendekiawan itu masuk ke dalam lingkaran kekuasaan, mereka bertransformasi menjadi teknokrat.

Inteligensia publik yang masuk ke dalam lingkungan teknokrat tidak berarti salah langkah dan mengkhianati fitrah. Hanya saja, mereka harus paham bahwa godaan untuk larut dalam pragmatisme kekuasaan begitu besar karena esensi dari lingkungan teknokrat adalah membela kepentingan kelompok dan rezim penguasa.

Karena itulah, benar kata Saldi Isra (Kumpulan Wawancara, Penerbit Rajawali, 2009), jangan sampai para intelektual atau inteligensia berbondong-bondong masuk ke dalam kekuasaan menjadi teknokrat. Itu akan menumpulkan tegangan dinamis antara kaum terdidik di dalam kekuasaan dan yang di luar kekuasaan, suatu tegangan yang secara fitrah diperlukan guna menghasilkan kebijakan publik berkualitas bagi masyarakat luas.

Jadi, perlu ada pembagian tugas di antara para inteligensia. Ada kaum teknokrat yang bekerja keras melakukan perubahan dari dalam di satu sisi. Di sisi lain, ada kaum cendekiawan oposan yang selalu mengingatkan teman-teman mereka di dalam.

Para oposan inilah yang akan membentuk masyarakat madani (civil society) kuat yang dalam teori demokrasi merupakan kekuatan penyeimbang paling strategis vis-a-vis negara sehingga mereka bisa bersama-sama bersinergi membawa negeri tercinta ini ke arah yang lebih baik. Semoga!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 Mei 2023. Penulis adalah alumnus Magister Filsafat Universitas Indonesia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya