SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Despotisme baru seiring sejalan, berkawan karib, dengan populisme. Dalam konteks Indonesia, keduanya mendapat ruang leluasa. Keleluasaan itu disebabkan mayoritas warga negeri ini yang pelupa. Selain pelupa juga mudah dimanipulasi.

Kalangan yang sadar, paham, dan waspada tentu ada. Ini kalangan terpelajar, berpendidikan tinggi, (sebagian) akademikus, golongan simpul-simpul organisasi masyarakat sipil.

Promosi Moncernya Industri Gaming, Indonesia Juara Asia dan Libas Kejuaraan Dunia

Sayang, jumlah mereka sedikit. Kira-kira maksimal hanya 15%. Dalam perhitungan ikhtiar menghimpun suara untuk memenangi pemilihan umum, yang 15% itu tidak terlalu penting.

”Buat apa repot-repot ngurusi yang 15%? Kan lebih penting mengurusi yang 85%. Lebih jelas potensi suara yang bisa dihimpun. Kerja-kerjanya juga lebih ringan. Perolehan suaranya jelas. Yang 15% itu diabaikan saja tidak begitu berpengaruh kok,” kata seorang politikus—masih tergolong muda—yang pernah divonis bersalah dalam kasus korupsi.

Ia mengatakan itu dalam beberapa siniar berbeda yang disiarkan dan diunggah di kanal Youtube. Tidak persis seperti itu kata-katanya. Memang tidak saya kutip verbatim, tetapi maknanya—setidaknya sepenangkapan saya—seperti itu.

Hal ihwal despotisme baru dijelaskan panjang lebar oleh John Keane di buku The New Despotism. Buku setebal 310 halaman ini diterbitkan Harvard University Press pada 2020. Despotisme baru—new despotism—tentu berpangkal pada despotisme (lama atau klasik).

Despotisme (lama atau klasik) adalah praksis kekuasaan kejam dan pemberlakuan hukum sewenang-wenang tanpa persetujuan rakyat. Tujuannya melanggengkan kekuasaan. Wujudnya autoritarianisme atau kediktatoran. Despotisme baru tidak seperti autoritarianisme dan kediktatoran militer.

Despotisme baru berciri-ciri kekayaan dan perluasan kekuasaan eksekutif dengan mengendalikan peradilan, mengendalikan dan memanipulasi hukum. Pemilihan umum, prosedur demokrasi, dan lembaga pemerintahan tetap eksis.

Depotisme baru membutuhkan lembaga demokrasi dan pemilihan umum agar kekuasaan yang dipegang lebih kuat, tahan lama, dan efektif. Penguasa mengartikulasikan diri sebagai elite yang berdiri di puncak hierarki politik. Menggabungkan kekuatan modal, teknologi, media, serta angkatan bersenjata.

Rakyat menghormati elite di puncak hierarki kekuasaan (despotisme baru) itu. Elite itu dianggap—bahkan diyakini—adalah ”orang baik”. Rakyat (mayoritas) meyakini ”orang baik” tidak akan neka-neka.

Despotisme baru di Indonesia tumbuh seiring pembajakan reformasi politik—ingan slogan ”reformasi dikorupsi”—serta pembangunan institusi demokrasi dan praksis berdemokrasi oleh aliansi politik-bisnis, aliansi peng-peng (penguasa dan pengusaha), dan kekuatan negara atau oligarki.

Despotisme baru berjalan di rel hukum, seturut prosedur demokrasi, tentu secara formalitas, sedangkan substansi terpinggirkan. Jelas berbeda dengan despotisme klasik atau lama yang merupakan sistem kekuasaan yang tak terbatas dan sewenang-wenang.

Berjalan di rel hukum dengan praksis kalau ada kehendak yang melawan hukum, hukumnya yang diubah. Seturut prosedur demokrasi dengan praksis kalau ada kehendak yang melawan demokrasi, kembalikan kepada rakyat, biar rakyat yang memilih.

Tentu yang harus dipilih rakyat itu hasil praktik lancung: mengkhianati demokrasi. Institusi demokrasi dijaga, prosedur demokrasi diikuti, untuk mengukuhkan kekuasaan. Ketaatan hukum semu. Demokrasi semu. Negara semakin kurang menghormati kebebasan sipil.

Intervensi negara pada kehidupan privat warga negara semakin kuat. Pelemahan institusi publik dilakukan dengan mengabaikan transparansi. Mengabaikan partisipasi publik. Praktik demikian membutuhkan populisme. Ini alat utama untuk memanipulasi kesadaran rakyat.

Autokratisasi

Liam Gammon dari Department of Political and Social Change, College of Asia and the Pacific, Autralian National University dalam sebuah artikel di buku Demokrasi di Indonesia dari Stagnasi ke Regresi? (KPG, Public Virtue, dan Kurawal Foundation; Desember 2021) menjelaskan dengan bahasa sederhana tentang populisme yang belakangan menjadi prkatik politik jamak di Indonesia.

Populisme adalah strategi politik yang dilakukan oleh seorang pemimpin yang personalistik untuk mencari atau menjalankan kekuasaan pemerintah dengan didasarkan pada dukungan langsung, tanpa perantara, dan tidak terlembagakan dari sejumlah besar pengikut yang sebagian besar tidak terorganisasi.

Praktik demikian memunculkan gejala autokratisasi kelompok populis. Seorang tokoh populer—jamak alat ukurnya adalah elektabilitas—dari luar sistem politik dipilih sebagai kepala pemerintahan.

Platform yang diusung jamak antikemapanan dan berkonflik—setidaknya bersikap diametral—dengan elite lama dan lembaga yang mereka kendalikan. Pemimpin baru yang muncul itu kemudian bergerak untuk menghapus pengawasan horizontal atas kekuasaan presiden/eksekutif.

Caranya adalah menggunakan dukungan dari ”rakyat” secara langsung (dalam konteks Indonesia mutakhir manifestasi yang paling dekat, mungkin, adalah kelompok sukarelawan) yang diklaim akan dilayani.

Rezim populis demikian ini—berkaca dari pengalaman di Amerika Latin—menurunkan kualitas demokrasi, khususnya yang terkait dengan kemerosotan pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif. Kekuatan oposisi diminimalkan, bahkan sebisa mungkin diajak masuk menjadi pendukung kekuasaan.

Ini serangkai dengan pelemahan atas kebebasan berekspresi dan—di beberapa negara—kebebasan pers. Rezim populis berkorelasi dengan terkikisnya kebebasan sipil serta sistem kontrol dan pengawasan atau check and balances. Indonesia secara struktur rentan terhadap gejala-gejala demikian.

Pada Minggu, 3 Oktober 2021, ketika mengikuti dikusi daring yang diselenggarakan Public Virtue Institute membahas buku Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression? yang diterbitkan ISEAS pada 2020, saya punya kesan kok seperti berlebih-lebihan mengkhawatirkan demokrasi di Indonesia.

Uraian Thomas P. Power (Department of Indonesian Studies, School of Languages and Cultures, University of Sidney), Darmawan Triwibowo (Kurawal Foundation), dan Vedi R. Hadiz (Asia Institute, University of Melbourne) tidak saya terima seutuhnya.



Ada keraguan menerima beberapa analisis mereka ihwal demokrasi di Indonesia yang, menurut mereka, sedang mengalami regresi atau kemunduran. Beberapa pekan terakhir, keraguan saya saat mengikuti diskusi daring itu menemukan jawaban. Jebul mereka sangat titis membaca dan memaknai gejala kemunduran demokrasi di Indonesia.

Setelah ngenam-nam pikir, analisis subjektif saya sampai pada kemitraan erat antara despotisme baru dan populisme itu. Inilah gejala politik paling mutakhir di Indonesia hari-hari ini. Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sebagai prosedur demokrasi tampaknya tidak akan beranjak dari sekadar prosedur ke substansi.

Konsolidasi demokrasi yang dirintis oleh gerakan massa rakyat pada 1998 semestinya sekarang berkecepatan penuh menuju pewujudan demokrasi yang substantif. Harapan ini tampaknya mesti dihadapkan dengan realitas bahwa demokrasi kita malah mundur karena peran sentral despotisme baru dan populisme.

Ketika elite ”menyerahkan” kepada rakyat dengan kalimat ”biar  rakyat yang memilih dan menentukan” itu sebenarnya juga bagian dari populisme untuk menutupi praktik despotisme baru demi memburu kuasa.

Pada akhirnya memang rakyat yang akan menentukan. Apakah buah despotisme baru dan populisme itu yang akan memenangi pemilihan umum atau ada koreksi total oleh rakyat atas kemunduran demokrasi kita?

Catatan saya adalah bahwa kaum ”maksimal” 15% yang sadar dan paham itu tidak tersambung dengan massa rakyat yang 85%. Kesadaran mereka ihwal demokrasi Indonesia yang mundur karena kuasa despotisme baru dan populisme masih sebatas wacana elite. Tidak ada gerakam intensif membawa pemahaman itu turba, turun ke bawah…

Pada saat yang sama populisme tiap hari menghampiri rakyat. Bantuan sosial, janji-janji politik yang menyebut langsung kebutuhan rakyat (semacam makan siang gratis, listrik murah meriah, dan sejenisnya), plus tebaran wajah manis dengan balutan senyum dan baliho-baliho tiap hari menemui  yang 85% itu.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 November 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya