SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Bulan Ramadan—yang baru saja berlalu—adalah milik semua kalangan. Kelompok anak-anak juga senantiasa memaknai bulan suci yang hadir setahun sekali itu. Terdapat sepotong fakta sosiokultural yang lekat dengan dunia anak pada Ramadan.

Sayang sekali, fakta sosiokultural itu luput ditangkap ilmuwan atau kurang pas diinterpretasikan kaum cerdik pandai. Fakta sosiokultural itu adalah fenomena jaburan. Sukar dimungkiri bahwa keramaian ruang masjid semasa Ramadan salah satunya berkat kehadiran para bocah.

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Ada kalanya keriuhan mereka dianggap tak mengganggu. “Namanya saja bocah,” demikian kata sesepuh masjid yang arif mewajarkan perilaku serta polah sekawanan manusia yang belum akil balig itu.

Dalam benak orang tua, mereka yang belum genap berumur 10 tahun itu nanti adalah mata rantai penerus jemaah majjid kampung itu. Jangan sampai kelak masjid sepi, melompong. Mereka—anak-anak—dibujuk mengakrabi tempat sembahyang sedari dini.

Regenerasi patut pula digarap pada bulan puasa, selain menumpuk pahala. Besi sembrani bagi tunas muda bersemangat menginjakkan kaki ke masjid bukan semata-mata lantaran disampiri tugas dari guru agama Islam untuk ”menodong” tanda tangan dari imam masjid, namun juga faktor ketersediaan jaburan.

Berburu jaburan sehabis melakoni Salat Tarawih oleh rombongan bocah ternyata bukanlah fenomena ”kemarin sore”. Petunjuk datang dari De Nooy, seorang indolog ternama yang menulis kamus Javaansche Woordenlijst pada 1893.

Dalam pustaka lawas itu, sahabat belajar pujangga beken Ki Padmasusastra itu dengan penuh kesadaran menyuratkan terminologi ”jabur”. Ini lema yang hanya ”aktual” kala Ramadan. Lema ini  memuat arti ”jekat panganan marang bocah traweh aran jaburan”.

Maksud sepenggal kalimat itu adalah zakat makanan untuk anak-anak yang mengikuti Salat Tarawih disebut jaburan. Pekamus bangsa kulit putih tersebut memotret secara jernih realitas sosiohistoris pada abad XIX, terutama di lingkungan Vorstenlanden yang menjadi pusat kesuburan literasi dan lokus riset para intelektual Eropa sebelum virus nasionalisme membuncah pada awal abad XX.

Melalui kamus sebagai salah satu wahana transfer pengetahuan, tanpa disadari De Nooy berhasil membujuk pembaca kaum elite untuk menempatkan jaburan secara terhormat karena kadung meresap dalam alam pemikiran bocah.

Bagaimanapun, kenyataan sosial yang melingkupi jagat anak-anak ini tak boleh ditiadakan. Khususnya di telatah Jawa, tradisi jaburan sebagai iming-iming untuk anak-anak agar bersedia meramaikan dan ngibadah di masjid merupakan kearifan lokal, alih-alih dituding sebagai upaya pemborosan orang tua dan perbuatan sepele yang mengganggu di ruang ibadah.

”Ritus” tersebut dipandang unik dan khas sebab hadir sebulan penuh sebelum Lebaran/Idulfitri saja. Pada hari-hari biasanya, kata itu samar-samar melenyap dari telinga. Selain bukti betapa brilian wong Jawa, jaburan yang merupakan siasat jitu ini memang mujarab dan teruji waktu. Melalui jaburan sesungguhnya memantulkan spirit nguwongke uwong oleh orang dewasa terhadap kalangan bocah, meski mereka sering dicitrakan sebagai ”ingusan”.

Apabila dihayati, fenomena jaburan hampir serupa dengan strategi yang ditempuh para Walisanga pada era Kerajaan Demak. Ketika barisan bocah berduyun-duyun memasuki arena ibadah dengan magnet berupa jaburan, masyarakat Jawa tempo doeloe memasuki kawasan Masjid Agung saat Grebeg Sekaten berkat daya tarik alunan gamelan yang ditabuh puluhan niyaga keraton.

”Ayo, gamelane wis muni,” adalah ungkapan lokal yang merupakan ajakan untuk kawula menyambangi masjid kutha raja yang ditandai dengan bunyi gamelan. Proyek islamisasi yang dilanjutkan raja-raja Mataram Islam yang terus memakai jalur kultural bisa dipastikan membawa kedamaian.

Setelah De Nooy, giliran Ki Padmasusastra datang memberi petunjuk yang dapat dibaca melalui karya Layang Carakan (1917). Di sini dia secara serius meronce sepotong kalimat berharga: “anak-anak ini apakah sudah memperoleh jaburan, saat dirimu membagi (jaburan) jangan sampai terlewat”.

Secuil bukti faktual yang disodorkan sang pengarang periode Jawa modern tersebut menunjukkan bahwa sebuah tindakan sembrono bilamana terdapat bocah luput memperoleh jaburan.

Di samping bakal menerbitkan kekecewaan, juga dikhawatirkan anak ini berpotensi mogok datang ke masjid keesokan harinya. Pendek kata, jaburan adalah hak mereka, maka pembagian harus diperhatikan saksama.

Tahun berganti tahun, istilah jaburan terus disorot oleh para intelektual Jawa. Pustaka Bausastra Jawa anggitan Poerwadarminta (1939) menyebut ”jabur” memiliki beberapa makna. Pertama, kitab masmur yang disusun Nabi Dawud.

Kedua, memberi sedekah untuk tarawih; minuman yang disuguhkan dalam tarawih. Ketiga, ngawur. Kamus ini memuat pula pengertian jlaburan yang berarti pacitan; jabur(an). Pengertian jaburan dijembarkan alias kian variatif, namun dari penjelasan kedua tetap tidak menggusur makna agung jaburan yang kadung menubuh tiap Ramadan.

Yang menarik, tata cara pemberian jaburan tidak disebar dan direbutkan seperti udhik-udhik (uang) yang dibagikan oleh raja keraton. Makanan ini diberikan secara tertib dan rapi, yakni anak-anak diminta duduk bersila. Unsur kesopanan terajarkan dari pembagian jaburan. Dipastikan semuanya akan memperoleh.

Dari kilas balik sekilas ini kita mestinya mahfum bahwa fenomena jaburan yang diabadikan dalam kamus dan serat seabad silam bukan sebatas pelajaran etnolinguistik yang membungkus uraian kalimat kering.

Dalam sejarah peradaban Jawa, jaburan merupakan jejak historis keberhasilan leluhur menjalankan program islamisasi yang menyasar anak-anak tanpa memakai pentungan dan kekerasan. Bocah bakal kapok, bahkan membelot bila main ancam.

Mereka yang periang itu memang harus dirangkul dengan makanan untuk ikut meriuhkan masjid dan menangguk pahala sebanyak mungkin padabulan suci. Makanan dan keceriaan itulah dunia mereka.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 April 2024. Penulis adalah dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan pendiri Solo Societiet)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya