SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo Wartawan SOLOPOS. (FOTO/Istimewa)

Mulyanto Utomo
Wartawan SOLOPOS. (FOTO/Istimewa)

Tiga pekan tidak bertemu kawan-kawan mengobrolnya, Raden Mas Suloyo kali ini rupanya benar-benar ingin menumpahkan segala macam unek-unek yang ada di benaknya.

Promosi Championship Series, Format Aneh di Liga 1 2023/2024

Tak mengherankan jika sepanjang jagongan di warung wedangan News Café kampung saya, malam Minggu kemarin, segala persoalan dia sampaikan. Mulai banjir di Jakarta, persoalan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) hingga para pelajar yang dilarang mengendarai motor ke sekolah pun dibahas.

”Kesimpulan saya, pemerintah kita ini… mulai pusat sampai yang di daerah kalau bikin kebijakan seringkali tanpa solusi dan tanpa pengawasan. Bikin kebijakan sak karepe dhewe, berjalan ya syukur tidak berjalan ya terserah. Rakyat susah atau tidak, tidak jadi masalah,” cerocos Denmas Suloyo.

”Sebentar Denmas, sampeyan ini kalau ngritik pemerintah kok sepertinya digebyah uyah gitu ta, Denmas. Memangnya kebijakan yang mana yang tanpa solusi dan tanpa pengawasan itu?” tanya kawan ngudarasa paling setia Denmas Suloyo, Mas Wartonegoro.

Hlahbuanyak Mas. Kan sampeyan sendiri pernah nulis, ta, soal banyaknya undang-undang, peraturan pemerintah dan juga perda di negeri kita ini yang sekadar dibuat, tapi konsepnya tidak jelas. Tidak ada solusi dan celakanya sering tanpa diawasi,”  jawab Denmas Suloyo.

”Iya, memang. Kalau membahas soal undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan daerah yang tidak dilaksanakan, dilanggar seenaknya… ya memang banyak. Tapi, yang spesifik tanpa solusi dan pengawasan itu misalnya apa?” kata Mas Wartonegoro penasaran.

Walah, tidak usahlah membahas undang-undang atau peraturan pemerintah, terlalu berat. Peraturan yang dibuat para kepala dinas di tingkat daerah saja banyak yang tidak jelas. Ya, itu tadi, yang saya sampaikan soal peraturan pelajar tidak boleh naik sepeda motor ke sekolah itu, misalnya,” kata Denmas Suloyo.

”Kalau kebijakan itu kan bagus ta, Denmas. Tujuannya kan jelas baik, agar pelajar taat peraturan. Belum punya SIM nekat naik motor itu kan pelanggaran. Kebijakan itu kan juga bisa mengurangi kemacetan, mengurangi tingkat kecelakaan…kan gitu, toh,” jawab Mas Wartonegoro.

Iyakhla apa itu ya sekarang ditaati? Buktinya masih banyak pelajar yang nekat naik motor ke sekolah. Hla seperti saya ini, tetap saja anak saya bolehkan membawa motor sendiri. Soalnya saya dan istri punya kepentingan sendiri, tidak mungkin nganter anak saya itu,” jawab Denmas Suloyo blaka suta.

Hla, itu namanya sampeyan yang sak penak-nya sendiri. Tidak bisa begitu dong, Denmas. Seharusnya Anda patuhi aturan itu kalau sayang anak, kalau sampeyan menjadi warga negara yang taat aturan,” kata Mas Wartonegoro.

”Itulah yang saya maksud aturan tanpa solusi dan pengawasan itu. Bagaimana saya bisa taat, patuh, kalau peraturan itu sak deg sak nyet tanpa memberi solusi. Hambok kalau bikin aturan seperti itu sediakan dong angkutan untuk antar-jemput siswa, atau paling tidak sediakan angkutan umum yang memadai. Hla wong sekarang ini angkutan umum kolaps semua. Intinya, kalau bikin aturan ya sediakan infrasturkturnya yang mendukung… begitu hlo, Mas,” kata Denmas Suloyo panjang lebar.

 

Bukan Omong Kosong

Begitulah jika dua sahabat saya itu berdiskusi, seru dan yang pasti juga tidak ada solusi. Karena semuanya disampaikan hanya sekadar ngudarasangenggar-enggar penggalih. Hanya untuk menumpahkan isi hati agar menjadi lega. Namun, sering kali apa yang mereka sampaikan adalah sebuah kebenaran.

Persoalan kebijakan tanpa solusi dan pengawasan di negeri kita ini, menurut saya, memang bukanlah omong kosong. Begitu banyak undang-undang dibikin, peraturan dibuat, tanpa memberi ruang solusi bagi warganya. Yang lebih celaka, ada pula undang-undang yang dibuat karena ”pesanan” untuk memuluskan sebuah kebijakan lain demi kepentingan sekelompok golongan atau bahkan pribadi.

Salah satu contoh konkret adalah UU No 4/1997 tentang Penyandang Cacat yang dibuat namun hingga kini pelaksanannya sungguh tidak mendapat perhatian secara serius. Peraturan turunan di bawahnya, di Kota Solo misalnya telah mempunyai Perda No 2/2008 tentang Kesetaraan Hak-hak Difabel.

Perda ini nyatanya tak diterapkan secara sungguh-sungguh. Demikian banyak persoalan kaum difabel, termasuk diskriminasi yang mestinya bisa diselesaikan lewat peraturan ini, nyatanya tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Satu hal sepele, soal aksesibilitas misalnya, di UU No 28/2002 tentang Bangunan Gedung, terutama Pasal 27 Ayat (2), jelas diatur soal ini: Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman dan nyaman termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia.

Faktanya, banyak gedung-gedung baru di kota ini yang tidak mematuhi perundang-undangan itu ya nyaman-nyaman saja… tidak ada yang menegur, mengawasi apa lagi memberi sanksi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya