SOLOPOS.COM - Joko Priyono (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Penganugerahan hadiah Nobel tahun 2023 dalam beberapa bidang, yaitu kedokteran, fisika, kimia, sastra, ekonomi, dan perdamaian telah selesai. Kita mengetahui nama-nama penting penerima Nobel 2023 dengan gagasan yang disumbangkan terhadap peradaban dunia.

Kita perlu memetik pelajaran yang dapat dijadikan bahan permenungan sebagai warga Indonesia. Saya ingin menitikberatkan pada tiga bidang dalam sains dan teknologi—fisika, kimia, dan kedokteran—yang menunjukkan sains begitu mangkus dan menjadi daya tawar dalam perkembangan kehidupan.

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Hal yang tak terlepas dari sana bahwa aktivitas riset yang terkadang sunyi dilakukan para ilmuwan dalam laboratorium menemui realitas penggunaan dalam kehidupan nyata. Realitas itu tak lain adalah peradaban kehidupan manusia dengan segala masalah dan tantangan yang sedang dihadapi.

Bidang kedokteran memunculkan dua nama penting: Katalin Kariko dan Drew Weissman. Mereka mendapat Nobel 2023 atas jasa mengembangkan vaksin m-RNA. Bidang kimia memunculkan tiga nama: Moungi G. Bawendi, Louis E. Brus, dan Alexei I. Ekimov.

Mereka mendapatkan Nobel berkat temuan dan pengembangan titik kuantum. Sementara bidang fisika memunculkan tiga nama ilmuwan: Pierre Agostini, Ferenc Krausz, dan Anne L’Huillier. Mereka mendapat Nobel karena kontribusi dalam eksplorasi elektron.

Peraih hadiah Nobel biasanya adalah mereka yang sudah menemui masa tua. Selain faktor ketekunan dalam riset, tentu proses inovasi tidaklah singkat. Saya rasa fase yang mereka lalui tak terlepas pula dari proses sejak masa kecil dan bersekolah.

Mudah memberi penjelasan. Di Eropa dan Amerika sains telah menjadi bahasa keseharian mulai tingkat keluarga. Bagaimana yang terjadi di Indonesia? Radhar Panca Dahana (2018) pernah melontarkan kritik yang konstruktif terhadap konsep imajinasi yang dibangun oleh kurikulum pendidikan kita.

Pengajaran sains dalam pendidikan formal belum memberikan jaminan atas situasi kehidupan riil yang terjadi dalam masyarakat. Oleh sebab itu, ia lebih sepakat bahwa basis visi pendidikan yang diutamakan adalah vokasi. Dengan kata lain membangun keahlian atau ketangkasan, bukan pada keilmuan.

Pernyataan Radhar itu bukan tanpa alasan. Ia melihat lulusan sekolah dalam analoginya bisa kaya dalam ilmu formal, akan tetapi miskin dalam pengetahuan kehidupan. Konstruksi yang kemudian dibangun terletak pada pemosisian kebudayaan.

Siswa lebih berkembang dengan selaras jika didasari arus utama kebudayaan, baik berupa budaya dan pengetahuan lokal, meliputi seni, ritus, dan bahasa dalam penyusunan modul pembelajaran.

Cara itulah yang menjadikan pendidikan menjawab kegelisahan antara keilmuan dan ketangkasan. Dua visi itu dengan sendirinya dapat dilakukan. Dengan proses integralisasi yang terjadi, menurut Radhar, bukan dari abstraksi yang diidealisasi oleh sains di buku-buku diktat.

Dengan model seperti ini, membaca, menulis, dan berhitung atau calistung akan menjadi semacam keahlian ”sepele”, dalam arti keahlian yang sangat mudah dan cepat untuk dipelajari. Ungkapan Radhar itu menarik dalam kontekstualisasi kebersediaan negara menjadikan sains sebagai arus utama.

Tidaklah mudah melahirkan ilmuwan yang barangkali kita imajinasikan selevel dengan mereka yang meraih hadiah Nobel. Cara mendasar yang bisa dilakukan saya kira adalah menyiapkan sedini mungkin sejak masa kanak-kanak.

Itu butuh dukungan kesadaran orang tua dalam pengasuhan, mengajarkan ilmu pengetahuan dasar. Jika kemudian sains baru dirasakan anak saat masa sekolah dan menaruh harapan lahirnya bibit ilmuwan, itu terkesan mustahil.

Anak-anak sekolah mungkin akrab dengan nama Marten Kanginan dan Yohanes Surya melalui buku pelajaran fisika yang dijadikan referensi di sekolah. Mengemuka sebaris kalimat tanya: apakah berhadapan dengan buku-buku itu menjadikan anak-anak bermimpi menjadi seorang ahli fisika?

Jangan-jangan sekali pun tidak pernah tebersit. Yang terjadi kemudian anggapan bahwa keilmuan tersebut tak menarik minat dan lambat laun dihindari. Fisika sebagaimana ilmu kealaman lainnya menjadi momok yang ditakuti.

Hal tersebut ditambah generalisasi yang hadir dari keluarga dan masyarakat. Ini menandakan sains belum menjadi kebudayaan kolektif. Kita diingatkan Nirwan Ahmad Arsuka dalam buku  Semesta Manusia (2018) saat pendidikan membangun rancang bangun aktivitas ilmiah di kalangan siswa.

Salah satunya adalah pelibatan siswa dalam kompetisi olimpiade sains. Menurut Nirwan, cara itu  sebagai bagian untuk mendukung lahirnya ilmuwan. Di luar itu, ada syarat yang perlu dilakukan negara: membantu dan memperhatikan betul.

Pendidikan formal yang sejatinya menjadi harapan bagi bertumbuhnya aktivitas ilmiah rasanya kemudian mendapati masalah saat terjadi kesenjangan. Aktivitas ilmiah memerlukan laboratorium untuk melakukan eksperimen.

Ketersediaan laboratorium di sekolah yang terkadang tidak memadai sangatlah menghambat. Akhirnya, sains sebatas bergerak di pusaran abstrak, tanpa sekalipun siswa mengalami eksperimen dan melakukan pembuktian teori.

Ini yang menjadikan gairah pendidikan sains cenderung pada hafalan. Sedangkan di sisi lain ketersediaan laboratorium biasanya lebih tercukupi di sekolah-sekolah yang mahal. Untuk menuju ke sana syaratnya adalah mereka harus mampu dan berada atau kaya raya.

Tidak mengherankan ketika banyak anak berlatar desa, dalam kehidupan sehari-hari bersentuhan dengan sawah, perkebunan, dan jenis tanaman, notabene berbakat dalam biologi dan kimia, namun di pendidikan imajinasi itu mudah hilang.

Membangun visi sains dalam jangka panjang memang dibutuhkan. Sains tidak terletak pada kebijakan yang sewaktu-waktu bisa dibuat. Dalam permenungan mendalam, sains dengan didasarkan pada perangai ilmiah membutuhkan proses kebudayaan di dalam masyarakat.

Perlu diketahui, proses integralisasi itu tidak bisa ditempuh jika hanya menjadikan sains sebagai slogan maupun klaim dalam pidato demi pidato di hadapan publik.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 Oktober 2023. Penulis adalah fisikawan partikelir dan penulis buku berjudul Bersandar pada Sains)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya