SOLOPOS.COM - Andina Elok Puri Maharani (Solopos/Istimewa)

Solopos,com, SOLO – Pada  1844, Samuel Morse memperkenalkan sistem pesan telegraf. Pada 1970-an, ditemukan sistem papan buletin. Pada 1987, lahir jaringan digital National Science Foundation Network atau NSF-Net.

Pada 1995 muncul GeoCities sebagai situs persewaan penyimpanan data website. Media pertama Sixdegree.com dan Classmate.com lahir pada 1997-1999 membuat pengguna terhubung dengan dunia maya.

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Agensi National Science Foundation pada 1997 meluncurkan platform media sosial. Para remaja era awal 2000-an kenal dengan Friendster yang menarik perhatian dunia, disusul media sosial baru seperti Google+, Facebook, Twitter, Wiser, MySpace, LinkedIn, dan media sosial lainnya.

Data menunjukkan pengguna Internet di Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari 200 juta jiwa, menembus 78% hingga 80% dari total penduduk Indonesia. Indonesia menduduki peringkat ke-5 negara di dunia dengan pengguna media sosial terbanyak.

Kini media sosial menjadi ”raja” era digital. Setiap orang dapat menikmati dampak positifnya. Perekonomian dan kesejahteraan rakyat meningkat sejak terdapat media sosial yang mampu menjadi wadah promosi.

Dunia politik juga terdampak media sosial. Kini media sosial menjelma menjadi salah satu infrastruktur politik. Media sosial menjadi wahana kampanye yang efektif bagi individu politikus atau partai politik untuk memperkenalkan diri dan kegiatan yang dilakukan kepada masyarakat.

Kekuatan media sosial di dunia politik dapat dilihat pada kemudahan berkampanye di media sosial, promosi kegiatan politik, bahkan mengubah lanskap politik. Mereka (politikus atau partai politik) yang aktif di media sosial cenderung menjadi ”pemenang”.

Masyarakat melihat mereka mengekspose kegiatan politik yang mereka lakukan. Mereka yang tidak mengekspose kegiatan politik akan dianggap tidak bekerja dan tidak populer. Pada akhirnya muncul istilah post-trust, publik menjadi lebih percaya kepada mereka (politikus) yang aktif dan intensif memperkenalkan diri di media sosial (branding politik).

Banyak tokoh politik yang menggunakan media sosial untuk menciptakan post-trust. Donald Trump menggunakan Twitter untuk menyampaikan berita politik. Barack Obama memenangi pemilu di Amerika Serikat salah satunya karena peran media sosial.

Di Indonesia juga demikian. Pada akhirnya, media sosial disebut sebagai platform paling efektif sebagai panggung politik menuju Pemilu 2024. Sebentar lagi Indonesia dihadapkan pada pesta pemilu.

Aneka persiapan sudah terlihat berdasar informasi di platform-platform media sosial untuk menyambut pesta demokrasi. Masa kampanye dimulai 28 November 2023 selama 75 hari. Waktu yang singkat ini harus dimanfaatkan sebaik dan seefektif mungkin oleh mereka yang akan berlaga dalam kontestasi pemilu.

Permasalahan pemilu dari waktu ke waktu adalah besarnya biaya kampanye karena harus mengumpulkan massa, kadang kala ”disempurnakan” dengan membagi kaus, sembako, dan lain-lain. Semua hal ini tentu membutuhkan dukungan dana yang besar.

Inilah yang membuat partai politik acap kali kelimpungan mencari dana yang dapat menjalankan mesin politik. Berkembangnya media sosial sangat membantu meringkas kampanye menjadi lebih efektif, efisien, dan mengurangi potensi anomali politik uang.

Politik uang selalu menjadi momok yang mencederai demokrasi. Siapa yang mempunyai modal, dialah yang akan menang. Menguatkan kampanye melalui media sosial tentu menjadi panggung efektif untuk mencegah politik uang tersebut.

Fungsi Pendidikan

Undang-undang yang mengatur partai politik mengamanatkan salah satu tugas partai politik adalah memberikan pendidikan politik. Generasi Z setidaknya 40% dari total pemilih pada 2024. Generasi Z ini merupakan generasi digital yang sangat bersahabat dengan media sosial.

Pendidikan politik dengan memperkenalkan kehidupan negara, hukum, dan politik melalui platform digital cukup efektif. Pendidikan politik ini sangat penting untuk mendorong masyarakat sadar politik, aktif, cerdas, peka, dan responsif dalam kehidupan masyarakat yang demokratis.

Disadari atau tidak, masa menjelang Pemilu 2024 menjadi ajang pembuktian bagi platform media sosial yang mampu secara elegan memberikan ruang politik dengan bersahaja. Bagaimana kontrol yang dilakukan oleh owner beserta administrator akun media sosial akan memengaruhi produksi konten sehat dan edukatif atau malah sebaliknya.

Media sosial layak menjadi sarana memonitor sejauh mana tahapan Pemilu 2024. Media sosial adalah jembatan digital untuk mempersiapkan dan mengawal pemilu. Media sosial juga berperan dalam pengawasan pemilu.

Kesadaran politik terwujud dalam berbagi informasi sebagai bentuk partisipasi mengawasi penyelenggaraan pemilu. Keterbukaan informasi dan pengawasan demikian akan mendorong peserta pemilu berpolitik dengan baik dan berhati-hati.

Ketika berkampanye berupaya secara positif, edukatif, elegan, dan tidak menyebarkan fitnah atau hoaks karena semua jejak digital terekam dan tak mudah dihapus. Berkaca dari pengalaman pada Pemilu 2019 lalu, kita sering menjumpai konten yang memuat video kampanye yang tidak pas dan menjadi viral di masyarakat.

Kesadaran tentang kekuatan media digital akan membuat kontestan pemilu lebih cermat dan hati-hati. Media sosial cenderung memberikan kebebasan kepada pengguna dalam urusan konten. Pengguna harus memiliki kemampuan memilih dan memilah konten-konten di media sosial.

Dalam konteks ini, literasi digital sangat penting untuk membantu memfilter informasi. Hal sederhana yang dapat dilakukan adalah menyaring informasi dan aktif mengecek kebenaran berita-berita atau konten-konten yang beredar di media sosial.

Mengecek judul dan isi konten sangat penting karena terkadang judul sangat provokatif tapi tidak sesuai dengan isi konten. Mengecek fakta harus menjadi kredo pengguna media sosial. Pembaca berita atau konten yang bijak harus bisa membedakan fakta dan opini.

Dua hal ini sering dimaknai sama, padahal merupakan dua hal yang berbeda. Mengecek kapan waktu sesungguhnya informasi itu, apakah foto yang tertera bukan hasil rekayasa, dan lain-lain akan menjaga setiap individu dari mengikuti informasi yang salah atau keliru. Dengan demikian media sosial menjadi informatif, edukatif, dan layak disebut tontonan sekaligus tuntunan.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Juni 2023. Penulis adalah dosen di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya