SOLOPOS.COM - Riemas Ginong Pratidina (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Ada istilah dalam bahasa Xhaosa, satu dari 11 bahasa resmi di Afrika Selatan, umntu ngumntu ngabaye abantu. Maknanya adalah manusia tumbuh kemanusiaannya karena ada manusia lain.

Dalam kehidupan tentu kita mengimajinasikan suatu suasana yang harmonis dan penuh cinta. Sejak bangun tidur hingga kembali terlelap manusia (sebagai makhluk sosial) penuh dengan interaksi dengan manusia lain.

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Normal apabila manusia ingin semaksimal mungkin menghindari konflik atau perselisihan. Apa daya karena realitasnya kita menyaksikan hari-hari penuh tragedi dan peristiwa tidak mengenakkan.

Di kejauhan kita menyaksikan ribuan orang berjatuhan justru oleh manusia sendiri. Ribuan orang dibunuh atau diusir dari kenyamanan mereka. Tidak dapat dinafikan bahwa dalam ribuan tahun perjalanan manusia sejak peradaban muncul selalu ada manusia yang superior dan inferior.

Mereka yang surplus power (punya kekuasaan yang lebih) selalu (dalam bahasa Jean Baudrillard) mendominasi, bahkan menghegemoni yang lain.

Ruang sosial kita, sejak muncul negara, sering diintervensi bukan lagi oleh keluarga atau suku. Inilah yang menaikkan derajat politik dari ruang-ruang lain. Sering terjadi tragedi-tragedi kemanusiaan diinisiasi oleh negara.

Berapa juta orang yang meninggal akibat Perang Dunia I dan II yang seluruhnya hasil tindakan negara, bukan tindakan kelompok sosial tertentu?

Di Indonesia kalimat “demi kepentingan negara” selalu dijadikan alasan untuk merepresi masyarakat. Atas nama investasi, demi menggenjot ekonomi, banyak orang dienyahkan dari kenyamanan mereka.

Sudah berapa peristiwa masyarakat adat dizalimi dan negara hadir serta berdiri di belakang korporasi. Hasilnya, tahun-tahun kita diisi oleh ratap dan tangis mereka yang menjadi korban, khususnya mereka yang merupakan anggota suku-suku tradisional di Indonesia, dan tentu mereka tidak mempunyai ”kuasa” lebih tinggi dibanding negara.

Bukan kebetulan karena ada kasus kekerasan di Pulau Rempang beberapa waktu lalu. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melaporkan dalam delapan bulan terakhir telah terjadi 692 konflik agraria.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat 301 kasus terkait perampasan wilayah adat pada 2019-2023. Kemanusiaan kemudian diletakkan di bawah ketiak ekonomi.

Bagi mereka yang tidak punya kuasa, tidak banyak yang bisa dilakukan. Begitulah dunia berjalan, sejak era revolusi industri, hilangnya nilai-nilai (obsolence) dipacu oleh produk-produk dan mesin, perusakan struktur-struktur kuno demi menjaminkan beberapa kebutuhan dan inovasi semu (Jean Baudrillard, Masyarakat Konsumsi, Penerbit Kreasi Wacana, 2004).

Arogansi kapitalistik yang niretika menerobos batas-batas moral, membutakan (bahkan mematikan) dimensi rasa. Pada masa depan, untuk tidak goyah akan guncangan-guncangan arogansi teknologi dan gempuran kapitalistik, manusia sangat perlu untuk mengamalgamasi antara dimensi rasio dan rasa.

Mereka yang tersingkir, menderita, dan berputus asa hanya bisa meratapi keadaan mereka, tidak lebih. Pengusiran dan represi menghilangkan sekaligus menumbuhkan memori kolektif.

Itu menghilangkan relasi spiritual dan emosional di antara kelompok masyarakat  tersebut dan memunculkan memori kolektif baru akan stigma terhadap negara, yang pasti langgeng hingga beberapa generasi ke depan.

Akhirnya, masih adakah kemanusiaan, ketika pengabaian sesama terus dilakukan, rasa cinta dan benci terus dipertukarkan, sementara cinta adalah pintu gerbang menuju kemanusiaan.

”Manusia lain” kini tidak menumbuhkan cinta, dipandang hanya sebatas objek ekonomi dan teknologi semata, menimbulkan tampilan cinta yang semu bahkan manipulatif.

Jika Thomas Hobbes masih hidup, ia pasti akan terus mengulangi frasa dalam bahasa Latin yang ia gaungkan. Tidakkah makin benar tesis homo homini lupus est (manusia adalah serigala bagi sesama)?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 3 November 2023. Penulis adalah alumnus Pascasarjana Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, anggota dan peneliti di Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PWM DIY)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya