SOLOPOS.COM - Doni Rahma R.P. (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) belakangan ini disibukkan dengan berbagai agenda serta penyiapan berkas dokumen yang akan diserahkan kepada pemerintah. Ini bentuk respons dan kesiapan PBNU untuk mendapatkan izin pengelolaan tambang yang akan diberikan pemerintah.

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara memberi legalitas Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan mengelola tambang dengan pemberian wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK).

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Kebijakan pemerintah dan yang coba dilakukan PBNU ini sangat kontroversial di tengah isu krisis iklim yang terus meningkat, terutama di Indonesia. NU sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia sebenarnya bisa dikatakan memiliki rekam jejak perjuangan dan produk hukum mengenai isu lingkungan.

Jauh sebelum isu pengelolaan tambang saat ini, dalam muktamar NU di Cipasung tahun 1994 pernah dibahas hukum pencemaran dan perusakan lingkungan. Muktamar NU di Jombang tahun 2015 juga membahas eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta hukumnya haram apabila berdampak pada kerusakan lingkungan.

PBNU pernah menyuarakan dan mengajak warga NU berjihad melestarikan lingkungan (jihad bi’ah). Dalam forum-forum internasional terbaru, seperti Religion of 20 (R20), NU menjadi pionir penanganan serta pencegahan krisis iklim menggunakan dialog-dialog perspektif lintas agama dengan mendorong, memetakan, dan merekomendasikan strategi penyelamatan alam semesta.

Sikap NU hari ini, yakni menjadi ormas keagamaan pertama yang mendapat izin pengelolaan tambang, berkontradiksi serta mencederai perjuangan NU selama ini. Sikap NU hari ini juga berdampak pada berkurangnya legitimasi NU dalam mengatasi masalahan lingkungan pada masa depan.

Wajar apabila nanti setiap keputusan yang diambil akan selalu dipertanyakan. Lantas apa yang sebenarnya ada dalam pikiran PBNU hingga memutuskan mengambil tawaran pemerintah tersebut dengan tidak menghiraukan putusan bahtsul masail? Apakah ini demi ego sekelompok elite PBNU? Apakah agama tidak lagi diperlukan dalam persoalan ekologi?

Ekoteologi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara agama dan lingkungan yang di dalamnya juga berkaitan dengan manusia. Dalam konsep teologi Islam manusia adalah khalifah (wakil) Allah di bumi ini.

Keberadaan manusia sebagai salah satu ciptaan Tuhan mempunyai peran penting, yaitu selain beribadah juga menjalankan peran dan tanggung jawab di bumi untuk menjaga keselamatan dunia. Hal ini sesuai dengan yang tertera dalam beberapa potongan ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30 dan Surat Al-Isra ayat 70.

Manusia sebagai khalifah di bumi juga dituntut memiliki sikap tawazun (seimbang), yakni menciptakan hubungan bukan hanya dengan manusia (hablum minannas) atau Tuhan (hablum minallah), tetapi juga dengan alam (hablum minal alam).

Mengutip yang disampaikan K.H. Sahal Mahfudz bahwa hubungan manusia, alam, dan agama adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan sehingga keseimbangan seluruh alam sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia.

Agama Islam mengajak umatnya peduli terhadap lingkungan. Alam sebagai manifestasi Tuhan sampai detik ini memberikan berbagai manfaat kepada umat manusia. Agama Islam memainkan peran penting terhadap keberlanjutan alam sebagai alat pengontrol umat.

Oleh karena itu, agama sangat diperlukan untuk bisa menjadi jawaban atas permasalahan krisis lingkungan di samping adanya sains dan teknologi. Krisis iklim yang melanda hari ini adalah buah manusia yang salah mengartikan makna “khalifah”, bahwasannya manusia diciptakan derajatnya lebih tinggi daripada makhluk lain.

Sebagai satu-satunya makhluk Tuhan yang diberi kemampuan berpikir menjadikan manusia semakin bersikap niretika terhadap lingkungan. Dari pandangan itulah kemudian menjadi pembenaran bahwa manusia sebagai pusat alam semesta (antroposentris) berhak mengeksploitasi alam layaknya komoditas yang diperjualbelikan untuk kepentingan manusia sendiri.

Rohaniwan Katolik dan guru besar filsafat Rama Franz Magnis Suseno berpendapat sesungguhnya tindakan mengeksploitasi alam memiliki kaitan dengan ekonomi kapitalis yang hanya berorientasi pada keuntungan tanpa melihat kerugian yang ditimbulkan.

Sikap PBNU hari ini dengan menyambut hangat pemberian konsesi tambang, menurut saya, menunjukkan bahwa PBNU terlalu pragmatis tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip etika. Pernyataan Ketua Umum PBNU Gus Yahya (Yahya Cholil Staquf) bahwa alasan NU menerima konsesi tambang untuk kebutuhan jamiyah sama sekali tidak dapat diterima.

Pernyataan tersebut menunjukkan alam hanya dipandang sebagai entitas yang dapat dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan sebagian elite PBNU. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai desakralisasi alam dengan mematikan peran agama di dalamnya.

Warga NU tidak butuh tambang. Kiai kampung dan berbagai elemen warga NU lainnya hanya ingin menikmati alam dan menuntut hak atas tanah mereka yang terampas akibat tambang seperti yang dialami warga NU di Pakel dan Wadas.

Kalimat ”Merawat Jagat, Membangun Peradaban” semoga bukan hanya berhenti menjadi slogan, tapi juga langkah konkret PBNU dengan sikap menolak pemberian tambang dari pemerintah. Sebuah sikap yang niscaya jika tak ingin peradaban terkubur di liang tambang.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 25 Juni 2024. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Antropologi Universitas Airlangga dan pengurus IPNU Boyolali)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya