SOLOPOS.COM - Muh Khodiq Duhri (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Pada zaman feodalisme Jepang, tepatnya mulai abad ke-12 hingga terjadinya Restorasi Meiji pada pertengahan abad ke-19, muncul tradisi yang dalam tinjuan dari luar budaya era itu tergolong ekstrem. Tradisi itu salah satunya tergambar dalam film The Last Samurai yang diproduksi Warner Bros Entertainment Inc. pada 2003. Film ini dibintangi Ken Watanabe yang berperan sebagai seorang samurai bernama Katsumoto dan Tom Cruise yang berperan sebagai Nathan Algren.

The Last Samurai menceritakan perjuangan seorang samurai yang berusaha mempertahankan jiwa dan tradisi generasi samurai. Mereka melawan keinginan Sang Kaisar untuk mengganti peran dan eksistensi para samurai yang bersenjatakan pedang katana dengan pasukan militer bersenjata api ala negara Barat.

Promosi Ayo Mudik, Saatnya Uang Mengalir sampai Jauh

Dalam film ini, muncul adegan memilukan yakni saat sejumlah samurai memilih menghabisi nyawanya sendiri karena kegagalan menjalankan tugas dari pimpinan. Bunuh diri yang ditunjukkan dalam film ini dikenal dengan istilah seppuku.

Selain seppuku, di Jepang juga dikenal tradisi harakiri. Secara harfiah, istilah harakiri berarti membelah perut dengan katana, senjata samurai. Jika ritual seppuku biasa dilakukan oleh para samurai dengan melibatkan kehadiran orang lain, harakiri dilakukan oleh seorang diri. Dalam ritual seppuku, orang lain bertugas menebas kepala samurai dari belakang. Tujuannya membantu mempercepat proses kematian samurai yang lebih dulu merobek perutnya sendiri dengan sebilah pedagang.

Sebelum mengambil katana untuk menghabisi nyawa sendiri, seorang samurai terlebih dulu menenggak sake dan menyusun “puisi kematian” dirinya. Bagi mereka, kegagalan menjalankan tugas dari pimpinan merupakan aib dan dosa besar. Oleh karenanya, bunuh diri dianggap sebagai jalan untuk menebus dosa.

Suparti dalam bukunya Peradaban Jepang menyebut pada zaman feodalisme Jepang, seppuku merupakan hak istimewa bagi para bangsawan dan samurai. Dalam alam pikiran mereka yang berhubungan dengan tata cara samurai (bushi do) yang meliputi keadilan, keberanian, kebaikan hati, kesopanan, dan pengendalian diri, konsep hidup dan mati bukan keadaan yang berbeda secara fundamental. Oleh karena itu, apabila seorang samurai atau bangsawan yang berjiwa samurai merasa tidak dapat mencapai tujuan dalam hidup, ia akan memilih mati.

Bagi para samurai, harakiri maupun seppuku bukanlah bunuh diri yang tanpa arti apalagi disebut mati sia-sia. Tindakan bunuh diri tersebut sering dikaitkan dengan arti kesetiaan orang Jepang kepada seorang pemimpin yang baik. Bagi masyarakat Jepang, loyalitas merupakan unsur sosial budaya yang dinilai tinggi dan menjadi ciri khas pria Jepang.

Baca Juga: Pelanggaran HAM Masa Lalu

Evan Andrews dalam artikelnya What is Seppuku? yang tayang di laman History.com menyebut seppuku kali pertama dikembangkan pada abad ke-12 sebagai sarana bagi samurai untuk mencapai kematian yang terhormat. Pendekar pedang biasa melakukan ritual seppuku untuk menghindari penangkapan setelah kekalahan di medan perang. Namun, seppuku juga berfungsi sebagai sarana protes dan cara mengungkapkan kesedihan atas kematian seorang pemimpin yang dihormati. Dalam hal ini, seppuku dimaknai sebagai sarana untuk membuktikan kesetiaan kepada pimpinan.

Mulai 1400-an, seppuku berkembang menjadi bentuk umum hukuman mati bagi samurai yang telah melakukan kejahatan. Dalam setiap kasus, seppuku dianggap sebagai tindakan keberanian ekstrem dan pengorbanan diri yang diwujudkan Bushido, prajurit kuno samurai. Bahkan ada seppuku versi perempuan yang disebut jigai. Tradisi bunuh diri jigai biasa dilakukan perempuan dengan memotong tenggorokan menggunakan pisau khusus yang dikenal sebagai tanto.

Kesehatan Mental

Zaman telah berganti. Eksistensi dari samurai sudah pudar di Jepang. Namun, kasus bunuh di Negeri Matahari terbit itu nyatanya masih terus bermunculan. Laman Statista melaporkan sepanjang 2021 lalu, 21.007 jiwa melayang karena bunuh diri di Jepang. Kasus bunuh diri di Jepang sempat menurun dari puncak 27.858 kasus pada 2012 ke tingkat paling rendah yakni 20.169 kasus pada 2019. Namun, pada 2020, kasus bunuh di Jepang meningkat di angka 21.081 kasus. Sejumlah pihak menyebut datangnya Pandemi Covid-19 melatarbelakangi peningkatan kasus bunuh diri di Jepang.

Tingkat bunuh diri yang tinggi di Jepang terkait erat dengan situasi ekonomi negara tersebut. Kali terakhir angka bunuh diri meningkat pada 2009, sebagai akibat dari krisis perbankan global. Kebanyakan dari korban bunuh diri adalah laki-laki. Status pria sebagai tulang punggung keluarga menjadi beban tersendiri. Kegagalan dalam memenuhi harapan sosial dapat menyebabkan masalah kesehatan mental. Pada gilirannya, masalah kesehatan mental dapat memicu pikiran untuk bunuh diri.

Karoshi adalah fenomena terkenal di masyarakat Jepang, menggambarkan kematian mendadak karena kelelahan fisik dan mental di tempat kerja. Bunuh diri yang disebabkan oleh faktor stres disebut karojisatsu atau bunuh diri karena terlalu banyak bekerja. Dalam satu dekade terakhir, stres karena pekerjaan menjadi alasan paling umum dalam kasus bunuh diri di Jepang. Bila bunuh diri pada masa lalu di Jepang diartikan sebagai jalan untuk mencapai kematian yang terhormat, bunuh diri di era modern dimaknai sebagai keputusasaan atau kematian yang sia-sia.

Baca Juga: Tragis! Wanita Grobogan Nyaris Dibunuh & Dibakar Teman Dekat

Walau angkanya tidak sebanyak di Jepang, kasus bunuh diri di Indonesia juga tidak bisa dibilang sedikit. Data Kepolisian menyebutkan pada 2020 terdapat 671 kasus kematian akibat bunuh diri. Sementara berdasar data Potensi Desa (Podes) Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, terdapat 5.787 korban bunuh diri maupun percobaan bunuh diri di Indonesia.

Tak kuat menghadapi tekanan hidup membuat sebagian orang memilih bunuh diri sebagai menjadi jalan keluar dari masalah. Depresi menjadi penyebab paling sering dari kasus bunuh diri. Aksi menghilangkan nyawa sendiri ini sangat tidak dibenarkan. Pemerintah sudah berupaya keras untuk menekan angka bunuh diri di Indonesia. Namun, semua dikembalikan kepada pribadi dan lingkungan masing-masing.

Di Indonesia, hampir 90% individu yang melakukan bunuh diri atau percobaan bunuh diri mempunyai kemungkinan mengalami gangguan mental yaitu depresi. Kematian mereka kerap dianggap sia-sia. Kondisi ini berbeda dengan pemahaman yang muncul pada masa feodalisme Jepang, di mana bunuh diri dianggap sebagai jalan terhormat untuk mengakhiri hidup.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya