SOLOPOS.COM - R. Bambang Aris Sasangka (Solopos/Istimewa)

Hampir tiap hari di halaman 1 Solopos ada rubrik Ah Tenane, kisah-kisah pendek mengenai aneka kelucuan yang dialami orang-orang dalam keseharian mereka. Membaca kisah-kisah itu, kita melihat betapa random-nya pengalaman hidup manusia, yang bernilai tragi-komis alias bisa tragis, namun mengandung sisi lucu.

Hal-hal remeh temeh bisa menjadi masalah besar, bisa memalukan, bikin deg-degan, memicu atmosfer suspense alias tegang, dan sebagainya. Namun seperti halnya orang yang tanpa sengaja terjatuh, dia akan segera bangun, mungkin tengok kiri-kanan mengecek apa ada yang melihat, lalu lanjut jalan lagi.

Promosi Mabes Polri Mengusut Mafia Bola, Serius atau Obor Blarak

Seharusnya begitu. Tapi dalam keseharian pula kita lihat bahwa cukup banyak orang yang justru sangat suka membesar-besarkan hal-hal yang remeh temeh, padahal sebenarnya sudah sangat jelas juntrungannya sehingga tak perlu lagi dibahas. Ambil contoh isu ijazah sarjana palsu Presiden Jokowi yang belakangan ini dimunculkan lagi oleh sejumlah akun di media sosial. Ini isu lama yang ditiupkan pada Pemilu 2014 dan 2019, dan sudah dijawab berkali-kali. Tapi karena isu yang sebenarnya kecil ini mungkin terasa “nggriseni,” akhirnya UGM pun sampai bela-belain bikin konferensi pers untuk menjawabnya.

Memang ada tujuan politik sih, untuk menggulirkan hal-hal seperti itu. Dan seperti kata Nicolo Macchiavelli, politik memang tak punya hubungan dengan moral. Aneka isu seperti ijazah palsu itu dibuat seolah-olah untuk “mengingatkan” masyarakat soal moralitas. “Malu dong pemimpin negara kok ijazahnya palsu, ini kan berarti membohongi rakyat,” begitu mungkin kira-kira narasi yang mau dibangun para peniup isu. Namun sungguh ironis kalau memang betulan mau bicara soal moralitas, karena seperti halnya “rontokan wijen onde-onde di seberang lautan nampak, nasi kebuli sak tampah di pelupuk mata justru tak terlihat,” hal-hal yang jauh lebih serius justru tak menjadi bahasan dalam pusaran isu politik.

Ambil saja soal Tragedi Stadion Kanjuruhan. Dari peta pembicaraan perpolitikan, terlihat bahwa kaum politikus ogah-ogahan bicara serius soal hal ini. Memang ada beberapa anggota DPR secara pribadi berkomentar. Tapi bisa dilihat tak ada hierarki partai politik yang bicara keras soal jatuhnya korban jiwa rakyat yang begitu besar. Tak ada yang teriak-teriak mau bikin panitia khusus alias pansus DPR untuk menyelidiki. Bahkan, hebatnya, ada parpol yang justru mengumumkan calon presidennya di hari ketika orang lagi panas-panasnya dan sedih-sedihnya bicara soal Kanjuruhan.

Mungkin bagi para pencari makan dan pengais remahan di dunia politik, korban di Kanjuruhan hanya statistik, hanya angka yang lama-lama dilupakan. Bagi mereka, rakyat adalah angka-angka yang jadi bahan hitungan, mau dapat kursi butuh berapa suara, di daerah ini potensi perolehan suara berapa, kalau mau dapat suara harus keluar duit berapa. Ya hanya hitungan saja. Tak ada yang ingat bicara soal tanggung jawab terhadap suara-suara itu. Kalau sudah dapat suara terus mau bagaimana, mau berbuat apa, mau membawa manfaat apa.

Akibatnya, di dalam jagat politik semuanya lebih larut dalam hal-hal yang – seperti diistilahkan dalam buku Mangan Ora Mangan Kumpul-nya Umar Kayam – cekeremes alias remeh temeh. Ingat saja rapat dengar pendapat Komisi III DPR dengan Kapolri soal kasus Ferdy Sambo beberapa waktu lalu. Dalam rapat selama seharian dari pagi sampai malam, boleh dicatat bahwa hanya sedikit pertanyaan esensial yang dilontarkan para wakil rakyat. Selebihnya, celoteh cekeremes. Belum lagi ketika ada momen para wakil rakyat justru merayakan ulang tahun sang ketua parlemen ketika di luar gedung parlemen rakyat sedang berisik mencari perhatian untuk memrotes keadaan.

Padahal saat ini begitu banyak hal besar yang harus dipikirkan oleh para orang-orang besar itu. Perekonomian dunia sedang dalam situasi penuh risiko karena dampak dua tahun pandemi Covid-19 plus perang Rusia-Ukraina. Terjadi aneka perubahan yang begitu cepat, sampai kita sekarang sering merasa keponthal-ponthal memahami dan mengikutinya.

Di masa menjelang tahun politik 2024, sudah semestinya rakyat mulai mendapat masukan-masukan soal apa konsep-konsep riil dari mereka yang mengincar posisi di lembaga-lembaga politik. Seperti apa kajian para politikus itu terkait soal-soal aktual sekarang dan masa datang, dan apa jawaban mereka terhadap soal-soal itu. Ingatlah bahwa rakyat juga berubah dengan cepat. Orang memang masih mau terima kaus yang dibagi-bagikan para politikus, meski membaginya sambil mrengut. Tapi orang juga bakal menagih apa langkah nyata orang-orang yang mengedepankan diri itu untuk menjawab masalah-masalah rakyat seperti kendali atas harga bahan kebutuhan pokok, harga produk pertanian yang anjlok, pupuk yang katanya bersubsidi tapi nyatanya suka sembunyi sehingga jadi kayak selebriti yang menghindari paparazzi, sulit dijumpai.

Tapi ya siap-siap saja kalau nanti kita lagi-lagi disuguhi dengan jargon-jargon padat kata kosong makna. Siap-siap saja berjumpa dengan para pujangga mulut berbusa yang terasing dari realita. Menghadapi orang-orang yang “kek gituuuuu” sudah ada kalimat yang pas kok buat menanggapi. “Ah, tenane?!?”

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya