SOLOPOS.COM - Abdul Jalil (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Suara riuh terdengar dari cakruk atau pos ronda depan rumah saya di Madiun, Jawa Timur, pada setiap acara debat calon presiden dan calon wakil presiden yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Ada tiga pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang menjadi kontestan dalam Pemilu 2024, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Moh. Mahfud Md.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Tetangga saya biasanya menonton bareng acara debat calon presiden dan calon wakil presiden di cakruk depan rumah. Saat acara berlangsung, biasanya cakruk ramai. Ndilalah tiga pasangan calon itu punya pendukung yang fanatik.

Setiap debat diselenggarakan, warga dengan saksama mendengarkan materi yang diperdebatkan. Sesekali mereka menyoraki saat ada kandidat yang belepotan dan blunder saat menjawab pertanyaan dari kandidat lain.

Saat jeda acara debat, para warga mendadak menjadi reviewer dan komentator atas aksi panggung para kontestan. Sial bagi pendukung kandidat yang paling banyak membuat blunder dan tak jelas arah bicaranya karena pendukung kandidat lain akan mencerca dan jadi bahan ledekan.

Ledekan itu hanya terjadi saat itu dan di tempat itu saja. Setelah acara debat selesai, semua kembali ke ”setelan pabrik”. Bertetangga seperti sedia kala dan tak ada saling caci-maki di antara mereka.

Kondisi itu tidak ditemukan di media sosial. Sejak tahapan kampanye Pemilu 2024 dimulai hingga saat ini, lini masa berbagai media sosial, paling tidak media sosial saya, dipenuhi konten-konten politik yang memuakkan.

Saat ada debat calon presiden-calon wakil presiden yang diselenggarakan KPU, unggahan di media sosial penuh perang narasi dari pendukung. Meski pertarungan gagasan di forum debat telah selesai, tensi politik masih terus panas di media sosial, terutama di X.

Hingga esai selesai saya tulis, adu narasi di media sosial masih terus terjadi. Fenomena ini tentu menjadi anomali karena seharusnya setelah arena pertarungan gagasan rampung, semuanya bisa kembali seperti semula. Seperti kondisi warga di cakruk depan rumah saya.

Ternyata itu memang sulit terjadi. Adu gagasan di arena debat ternyata diperpanjang dengan perdebatan dan saling serang di media sosial. Saya memantau di lini masa media sosial berbagai platform, seperti X, Tiktok, dan Instagram.

Dari sekian platfrom media sosial itu, unggahan-unggahan materi politik soal debat tanggal 7 Januari 2024 lalu masih memenuhi lini masa, bahkan unggahan semakin pelik dan ”mengerikan”. Kenapa hal itu bisa terjadi?

Jawabannya mudah, yaitu karena banyak buzzer atau pendengung yang sengaja menggoreng beragam isu di media sosial. Para pendengung ini memang dikerahkan untuk memengaruhi opini publik di media sosial.

Saya meyakini tiga pasangan calon presiden-calon wakil presiden menggunakan buzzer, entah berbayar maupun dilakukan sukarelawan, untuk terus berisik di dunia maya.

Pemanfaatan buzzer pada era digital memang sangat relevan, terlebih media sosial menjadi arena pertarungan yang menjanjikan untuk menarik simpati para pemilih, khususnya pemilih muda.

Data We Are Social menunjukkan jumlah pengguna Internet di Indonesia mencapai 213 juta orang per Januari 2023. Jumlah ini setara 77% dari total populasi Indonesia pada periode awal 2023.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, pengguna Internet paling banyak berusia 25 tahun ke atas sebanyak 58,63% dan di posisi kedua merupakan warga berusia 19 tahun hingga 24 tahun sebanyak 14,69%. Ini ceruk yang sangat besar untuk mencari suara.

Para buzzer kini lazim digunakan untuk kepentingan politik, meskipun awal mula buzzer ini digunakan untuk kebutuhan pemasaran digital suatu produk komersial.

Dalam perkembangannya buzzer memiliki arti yang cenderung negatif karena mereka mengelabui kesadaran publik dengan informasi yang penuh kebencian serta misinformasi dan disinformasi.

Framing

Para buzzer yang memanipulasi opini publik melalui media sosial menggunakan cara buruk untuk menjatuhkan lawan. Perbincangan manipulatif di ruang maya tentu akan berdampak buruk pada kualitas demokrasi kita.

Disinformasi dan framing jahat dilakukan oleh buzzer pendukung calon presiden-calon wakil presiden untuk menjatuhkan lawan. Seperti narasi dengan framing buruk yang dilakukan pendukung calon presiden-calon presiden nomor urut 2 atau buzzer kepada calon presiden-calon wakil presiden nomor 1 dan nomor urut 3.

Buzzers memunculkan narasi bahwa calon presiden Prabowo Subianto diserang saat di panggung debat oleh calon presiden Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Di platform Tiktok ada sejumlah kreator konten yang membuat video menangis karena kasihan kepada Prabowo.

Framing yang ingin disampaikan dalam video itu adalah menampakkan keburukan calon presiden lain yang menjatuhkan Prabowo dengan menyerang personal. Serangan juga ditujukan kepada Prabowo Subianto.

Buzzers juga melakukan framing buruk kepada Prabowo dengan menyebut dia orang yang kasar, bengis, dan emosional. Pesan ini dalam beberapa kasus disampaikan untuk melengkapi potongan video Prabowo saat sedang berpidato secara emosional di hadapan pendukungnya.

Pada Pemilu 2019 ada sebutan cebong dan kampret untuk menyebut pendukung calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang menjadi kontestan pada saat itu.



Pada Pemilu 2024 masing-masing kontestan diolok-olok dengan berbagai sebutan seperti wan angin untuk Anies, omon-omon dan el gemoy untuk Prabowo, dan den wadas untuk Ganjar.

Sebutan-sebutan yang bernada merendahkan ini sengaja ditiup terus-menerus oleh buzzers. Dalam sejumlah penelitian, buzzer memang menjadi salah satu strategi kampanye politik yang cukup efektif untuk meningkatkan elektabilitas dan popularitas.

Sebenarnya keberadaan buzzer untuk menunjukkan visi dan misi setiap pasangan kandidat masih bisa diterima, namun cara-cara yang dilakukan biasanya di luar akal sehat dan sangat menjijikkan.

Ini yang menjadi pesta demokrasi kita tidak sehat dan akan menimbulkan polarisasi di masyarakat.

Masyarakat mudah terpecah dengan hasutan dan framing jahat dari para pendengung. Media sosial saat ini memang menjadi arena menarik untuk pertarungan wacana, terutama pada kontestasi pemilu.

Setiap pasangan calon presiden-calon wakil presiden ingin menghegemoni media sosial supaya kesadaran publik bisa dikuasai. Dalam konsep Antonio Gramsci, penciptaan hegemoni tidak terlepas dari pembentukan kesadaran palsu.

Dalam konteks saat ini, kesadaran palsu juga dibangun para politikus yang menggunakan jari-jari jahat para buzzers untuk menundukkan kesadaran publik. Perdebatan yang tidak ada hentinya itu bukan untuk mencerahkan, tetapi justru mendegradasi kesadaran publik.

Ini tentu sangat merugikan masyarakat yang hendak memilih pemimpin negara lima tahun ke depan. Jangan sampai pemilu yang menghabiskan anggaran negara senilai Rp71,3 triliun itu hanya menghasilkan presiden hasil produksi buzzers.

Pemilih, terutama generasi milenial dan geberasi Z, jangan mudah termakan perang narasi buzzers yang menyesatkan di media sosial. Saat ini banyak platform yang menyediakan informasi mengenai profil para pasangan calon presiden-calon wakil presiden. Dengan melihat track record dan kiprah mereka, pemilih bisa memilih dengan rasional, tidak hanya mengandalkan emosi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 Januari 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya