SOLOPOS.COM - Adib Muttaqin Asfar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Di sebuah pos ronda tak jauh dari kawasan Bandara Adi Soemarmo, Ngemplak, Boyolali, suatu malam pada November 2023, sejumlah orang bersamuh santai. Sambil menyeruput minuman, seorang dari mereka menyampaikan kekhawatiran soal potensi kecurangan Pemilu 2024.

Orang-orang di sekelilingnya manggut-manggut. Satu orang lainnya menyeletuk penuh kekhawatiran. “Ya, mungkin, mau gimana lagi. Itu mungkin harus dilakukan biar pembangunan IKN [Ibu Kota Negara] tidak gagal. Iya enggak?” kata dia.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Pendek kata, pemilu boleh saja curang agar proyek IKN Nusantara tetap berjalan. Proyek IKN di Kalimantan Timur adalah segalanya yang sedang dipertaruhkan bagi masa depan negara. Tak peduli etika politik, konstitusi, undang-undang, atau demokrasi. Tak masalah semua itu diterabas, yang penting “IKN perlu diselamatkan”.

Orang ini bukan seorang pejabat publik, bukan aparatur sipil negara (ASN), bukan pula anggota tim pemenangan calon presiden-calon wkail presiden tertentu. Dia karyawan perusahaan swasta yang hidupnya 11-12 dengan saya: mengandalkan gaji bulanan.

Dua bulan berselang, sebuah billboard besar di Jl. Adisucipto—tak jauh dari SMA partikelir terkemuka di Kota Solo—menarik perhatian saya. Bukan karena ukuran yang sangat besar, tetapi karena isinya yang bikin geleng-geleng kepala.

Judul banner super besar itu kurang lebih Tata Cara Pencoblosan. Ada tiga tahap yang digambarkan, pertama, membuka kertas suara. Kedua, mencoblos nomor “2”. Ketiga, melipat surat suara dan masukkan ke dalam kota suara.

Masing-masing tahap diberi gambar ilustrasi berupa seorang laki-laki muda yang sekilas mirip calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2. Kenapa isi spanduk besar itu mengarahkan orang untuk mencoblos nomor tersebut, bukan nomor 1 atau 3?

Jawabannya jelas: karena spanduk itu adalah alat peraga kampanye pasangan calon presiden –calon wakil presiden nomor urut 2. Seorang teman yang belum lama ini melihat sekilas di jalan itu menilai isi spanduk tersebut mirip alat peraga sosialisasi pemilu dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dua hal ini memiliki benang merah, yaitu sama-sama menunjukkan dan mengungkap ketidaksadaran dalam diri khalayak. Bagi orang urban yang sehari-hari akrab dengan model-model kampanye bergaya slengekan, spanduk itu tidak berefek apa-apa.

Paling-paling mereka hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala dan bergumam “ada-ada saja idenya”. Itu bisa jadi berimplikasi jauh lebih dalam bagi orang-orang yang tidak terlalu paham dengan realitas politik.

Mereka yang tidak pernah menerima asupan pengetahuan yang cukup tentang pemilu bisa jadi berpikir “oh, seperti ini cara memberikan suara”. Mungkin saja pembuatnya juga berharap pesan di spanduk itu sampai pada orang-orang yang miskin asupan pengetahuan kepemiluan.

Sangat mungkin ketika berada di tempat pemungutan suara, orang-orang ini akan mengikuti cara mencoblos seperti dalam spanduk itu, termasuk mencoblos nomor yang sama. Pendek kata, isi spanduk itu bisa jadi sengaja didesain untuk memanfaatkan kesadaran khalayak yang rendah.

Level kesadaran yang sama muncul dalam pembicaraan dekat pos ronda di sudut kampung pinggiran Boyolali itu. Orang yang kritis tentu bertanya: apa pentingnya proyek IKN sehingga kekuasaan Presiden Joko Widodo harus dilanjutkan oleh menteri dan putra sulungnya?

Apakah proyek IKN pantas menjadi alasan melakukan skandal etik di Mahkamah Konstitusi? Begitu pula pertanyaan yang lebih mendasar, yaitu apa pentingnya arti IKN bagi kehidupan khalayak? Apakah dunia berakhir jika proyek IKN Nusantara putus di tengah jalan?

Magis dan Naif

Dua hal ini juga menunjukkan pengaruh level kesadaran publik dalam kualitas demokrasi. Dalam demokrasi, terutama praktik di negara-negara penganut sistem pemilihan langsung, kesadaran pemilih sangat menentukan kualitas hasil pemilu.

Pemilih yang kritis tentu mampu memilih secara rasional dan bukan karena alasan emosional. Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas menyebut kesadaran kritis masyarakat akan menjauhkan mereka dari perasaan takut untuk melakukan pemerdekaan.

Pendidikan harus membekali seseorang untuk mampu menumbuhkan kesadaran kritis terhadap situasi sosial, politik, budaya, agama, dan segala aspek kehidupan. Freire membagi level kesadaran menjadi tiga, yaitu kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis.

Kesadaran magis adalah kesadaran saat seseorang mulai belajar tanpa tahu fungsi belajar bagi dirinya. Masyarakat pada tingkat kesadaran ini cenderung fatalis, memercayai kekuatan-kekuatan magis, dan tanpa keinginan membuktikan secara empiris.

Opini-opini mereka yang berkuasa dan superiorlah yang mengontrol kehidupan halayak. Pada level kedua atau kesadaran naif, masyarakat mampu membuat hubungan sederhana dari satu masalah dengan masalah yang lain.

Meski demikian, mereka belum mampu melihat hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari setiap masalah. Level tertinggi adalah kesadaran kritis, yaitu saat masyarakat aktif terlibat dalam setiap realitas di lingkungan sekitarnya.

Di level ini, mereka memiliki kemampuan menafsirkan masalah dengan prinsip kausalitas, mengetahui sebab dan akibat, sehingga bebas dari hal-hal magis dan irasional. Sebagai bangsa, kita masih jauh dari level masyarakat yang memiliki kesadaran kritis.

Ini tidak mengherankan ketika berbagai indikator kemampuan dasar pelajar di bawah standar. Salah satunya skor asesmen Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 Indonesia yang masih rendah di level global.

Skor itu turun dari pencapaian pada 2009. Penurunan terjadi dalam tiga aspek kemampuan, yakni membaca, matematika, dan sains yang masing-masing di bawah skor 400. Ini jauh di bawah skor rata-rata global.

Skor asesmen PISA memang tidak bisa mengukur tingkat kesadaran masyarakat seperti dalam stratifikasi Freire. Meski demikian, ketiga aspek asesmen PISA menunjukkan seberapa mampu masyarakat melakukan analisis termasuk hubungan kausalitas.



Analisis sebab, akibat, dampak, dan solusi inilah yang menjadi dasar logika dalam metode ilmiah, termasuk dalam pengambilan kebijakan. Kembali ke konteks kebijakan, banyak program atau proyek yang tidak jelas analisisnya.

Dalam soal IKN, misalnya, ada banyak pertanyaan yang hingga kini tidak pernah mendapatkan jawaban memuaskan. Mengapa harus membangun kota baru di tengah kemampuan fiskal negara yang sangat terbatas?

Mengapa tidak pindah saja ke Balikpapan atau Samarinda yang berdekatan? Mengapa harus sekarang dan tidak menunggu dekade berikutnya? Atau pertanyaan-pertanyaan yang lebih teknis soal dampak ekologis yang tak pernah terjawab.

Begitu pula dalam konteks pemilu. Banyak janji dan rencana para capres atau cawapres yang tidak mencerminkan analisis yang mendalam. Misalnya janji program makan siang dan susu gratis yang belakangan kerap diperdebatkan.

Apa landasannya? Apakah masyarakat Indonesia kurang makan siang sehingga berdampak pada tangkep atau masalah kesehatan? Masalah apa yang hendak diselesaikan dengan makan dan susu gratis itu?

Alih-alih mempertanyakan semua itu, kita sudah terburu-buru membicarakan pengadaan susu dan makan siang itu. Yang kerap dipertanyakan justru haruskah mengimpor susu atau berapa alokasi anggaran yang dibutuhkan.

Kritik itu sama tidak matangnya dengan rencana program yang dikritik. Keduanya sama-sama miskin landasan epistemogis, yakni landasan untuk menilai apakah program itu bisa tepat menyelesaikan masalah atau tidak.

Demikian pula saat publik hanya diberi pilihan antara “keberlanjutan” dan “perubahan”. Mengapa harus berlanjut dan mengapa harus berubah, itu yang butuh jawaban. Jangan-jangan kedua narasi itu muaranya sama saja, yaitu sebatas berlanjut atau bergantinya aktor penguasa serta gerbong oligarkinya.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Januari 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya