SOLOPOS.COM - Rumongso (JIBI/SOLOPOS/dok)

Rumongso (JIBI/SOLOPOS/dok)

Sekitar delapan juta orang mudik tahun ini. Sebagian besar berasal dari Jakarta dan selebihnya dari beberapa wilayah Indonesia menuju Jateng, Jatim, Jabar dan Sumatra dengan aneka moda transportasi dari yang paling mahal yaitu pesawat terbang hingga yang murah meriah menggunakan kereta ekonomi dan sepeda motor. Pemerintah dibuat sibuk menyiapkan moda transportasi. Dari kaca mata para penggiat LSM, hanya saat musim mudiklah pemerintah betul-betul bekerja untuk rakyat. Di luar waktu mudik, pemerintah hanya sibuk berwacana.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Setidaknya ada tiga hal yang dapat kita maknai dari ritus mudik. Mudik Lebaran dapat dimaknai sebagai peristiwa rasional, irasional dan transrasional. Sebagai peristiwa rasional, mudik adalah “pulang” dalam arti harfiah yakni kembali dari tanah rantau ke tanah kelahiran. Mudik yang bermakna “pulang” dalam arti harfiah menjadikannya kekurangan gereget sebab sebelum mudik yang dihitung adalah untung rugi, seberapa banyak bekal yang akan dibawa pulang. Jika dirasa kurang bekal, bisa jadi rencana mudik batal.

Sedangkan sebagai peristiwa irasional, mudik bermakna sebagai arena berbagi kepada sanak saudara baik cerita mengenai sebuah keberhasilan maupun cerita kegagalan. Kehidupan di perantauan tidak melulu keberhasilan. Karena kekurangan modal, pendidikan dan keterampilan, hidup seolah disia-siakan pada saat di perantauan. Meski hidup serba kekurangan di tanah rantau, sikap irasional dalam memandang ritus mudik akan tetap membawa yang bersangkutan untuk pulang. Ia tidak peduli seberapa kecilnya bekal yang dimiliki atau bahkan pulang dari rantau tidak membawa apapun. Yang paling penting, mereka bisa mudik dan merayakan Hari Raya bersama dengan keluarga dekat.

Kesalehan sosial
Yang terakhir, sebagai peristiwa transnasional, mudik adalah peristiwa “pulang” dalam makna konotatif yang paling hakiki, bertemu dengan “ibu kehidupan” yakni rumah orangtua dalam arti pepunden yaitu sesuatu yang dipundi-pundi atau dipuja. Pada saat mudik, kita sungkem kepada orangtua. Ini wujud penghormatan tulus kepada orangtua meskipun hal itu bisa kita lakukan kapan saja.

Ada peristiwa yang saya sampaikan kepada saudara yang hidupnya dalam pandangan saya serba susah meskipun tidak kekurangan. Pertanyaan pertama saya adalah kapan terakhir ia mudik berlebaran untuk sungkem kepada orangtua. Ia menjawab lupa. Saya katakan kepadanya datanglah dan sungkemlah kepada orangtua selagi masih hidup waktu Lebaran! Restu orangtua akan diberikan pada saat sungkem Lebaran. Dengan restu itu, kita akan ringan menjalani kehidupan ini. Artinya jangan pandang enteng mudik Lebaran.

Dengan kacamata transnasional, kita juga mampu memahami mengapa orang rela naik kereta berdesakan, naik bus dengan tiket selangit. Tanpa kacamata itu, kita akan sulit memahaminya. Mudik dalam kacamata transrasional adalah manifestasi dari kesalehan sosial karena dilandasi rasa cinta.

Kesalehan sosial yang dapat ditangkap dari ritus mudik adalah keberanian hidup lara lapa saat bekerja di rantau dan berebut angkutan yang akan membawa mereka menuju tanah yang terjanji yakni Bumi Pertiwi tempat ari-ari yang menemani kelahiran dikubur. Setiap rupiah yang dikumpulkan selama bekerja di rantau bisa jadi hanya cukup untuk ongkos pulang pergi namun tetap dilakukan. Seberapa pun uang yang bisa dibawa dari rantau untuk dibagi kepada bapak, ibu atau saudara, mampu membuat jiwa besar karena mampu berbagi. Meski punya berkarung-karung uang namun tidak bisa mudik saat Lebaran untuk berjumpa pepunden, akan membuat hati menjerit nestapa.

Bagi kita yang hidup dan tumbuh hingga dewasa dan bekerja di tanah kelahiran, tidak habis pikir dan sangat sulit menerima dengan akal dan logika mengapa orang bersusah-payah berjibaku berebut dan berdesakan di kereta api, berani membayar tiket bus atau pesawat dengan harga yang naik berlipat-lipat pada saat mudik. Bukankah untuk pulang bisa kapan saja tanpa menunggu Lebaran yang serba sulit dan serba mahal?

Orang bisa saja tiap bulan pulang kampung. Namun, pulang kampung di luar waktu Lebaran bukan disebut mudik dan tidak ada makna apa pun darinya. Ia sekadar pulang menengok anak, istri/suami atau orangtua. Setelah keperluan selesai lalu kembali lagi ke rantau. Pulang di luar waktu Lebaran adalah perjalanan biasa. Jika kita bisa memberi uang kepada keluarga di luar mudik Lebaran, pemberian itu bisa jadi hanya dipandang sebagai pemberian biasa. Hal ini berbeda jika kita hadir waktu Lebaran, meskipun tidak bisa memberikan apapun kepada kerabat namun bisa hadir pada saat mudik lebaran, kehadiran kita masih dinilai lebih berarti.

Memahami ritus mudik tidak bisa dengan sikap rasional namun lihatlah lewat sudut pandang transrasional. Ritual mudik adalah bagian dari masyarakat yang memuja konsep bebrayan ageng atau paguyuban. Tidak ada hitungan untung-rugi dalam kultur patembayan yang individualistis. Hanya waktu mudik Lebaranlah kita bisa bertemu dan bersilaturahmi dengan sanak saudara yang lama tidak bertemu. Kultur yang guyub inilah makna dari kesalehan sosial itu.

Puzzle kehidupan
Mudik Lebaran juga sebuah mosaik kehidupan. Kehidupan manusia ibarat rangkaian puzzle yang berserakan di luar hari-hari Lebaran. Ia tidak bisa dirangkai di luar Lebaran. Bisa jadi kita tidak saling mengenal seseorang meskipun ia masih kerabat. Puzzle itu hanya bisa menjadi rangkaian indah kehidupan pada saat Lebaran. Mudik berarti momen untuk merangkai puzzle kehidupan.

Dapatkah ritual mudik ini dihilangkan? Jawaban saya mustahil. Andai pemerintah menghentikan kegiatan operasi seluruh sarana angkutan umum dan pribadi agar rakyat tidak bisa pulang kampung, mudik akan tetap berjalan. Bangsa ini memiliki akar budaya agraris yang dekat dengan alam. Budaya agraris senantiasa menuntun bangsa ini untuk mencari jati diri. Ia menjadi dekat dengan Yang Maha Pencipta. Kultur agraris itu menjadikan mereka mencintai keluarga besarnya. Kecintaan itu menjelma saat Lebaran. Maka, mudik lebaran menjadi sebuah arena beribadah tersendiri yakni silaturahmi.
Sejatinya, manusia memiliki bakat egois. Ia seolah sulit untuk dipahami dan disatukan. Mudik Lebaran mampu melebur sekat egoisme seseorang. Dengan berbekal selembar kertas koran bekas untuk tidur di kereta yang bau pesing, ritus mudik menjadi terasa sangat nyaman. Hanya orang yang memiliki hakikat tinggi yang mampu menangkap makrifat mudik. Selamat mudik dan bertemu dengan bebrayan ageng.

Rumongso, pendidik di Perguruan Islam Djama’atul Ichwan Solo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya