SOLOPOS.COM - Ahmad Baihaqi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Dua  kasus bapak membunuh anak kandung dalam beberapa waktu terakhir membuat kita mengelus dada. Bagaimana bisa seorang bapak membunuh darah dagingnya sendiri? Bagaimana bisa sosok yang dianggap sebagai pelindung malah jadi perundung?

Kasus pertama terjadi di Gresik, Jawa Timur, pada Sabtu (29/4/2023). Seorang ayah membunuh anaknya yang berusia sembilan tahun. Lelaki bernama Muhammad Qo’ad Af’aul Kirom alias Afan itu menusuk anaknya 21 kali.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Afan membunuh anaknya lantaran ingin anaknya masuk surga. Ia memiliki keyakinan bahwa anak-anak yang meninggal dunia pasti masuk surga. Afan tak ingin sang anak dirundung teman-temannya karena sang ibu yang bekerja menjadi pemandu karaoke.

Kasus kedua terjadi di Pati, Jawa Tengah, pada Senin (1/5/2023). Awalnya, Moh. Sholeh Ika Putra mengaku kehilangan anaknya yang baru berusia tiga bulan saat ia tinggal keluar rumah. Setelah diselidiki polisi, bayi berusia tiga bulan itu ternyata dibunuh oleh Sholeh.

Alasan lelaki berusia 20 tahun itu membunuh sang anak ”hanya” karena si anak rewel saat ditinggal ibunya. Sholeh membekap anaknya hingga meninggal. Setelah dibunuh, jenazah sang anak dia buang ke sungai.

Banyak yang menyebut kesehatan mental menjadi faktor fundamental orang tua melakukan kekerasan terhadap anaknya. Mengutip laman resmi Kementerian Kesehatan, kesehatan mental yang baik adalah kondisi ketika batin seseorang berada dalam keadaan tenteram dan tenang sehingga memungkinkan menikmati kehidupan sehari-hari dan menghargai orang lain.

Kesehatan mental yang baik akan memengaruhi hubungan individu dengan lingkungan, termasuk dalam lingkup keluarga. Apabila kesehatan mental orang tua tak bagus, ada kemungkinan melakukan tindak kekerasan terhadap anak maupun pasangan.

Pada kasus pertama di Gresik, yang dilakukan sang ayah biasa disebut altruistic filicide, yakni orang tua membunuh anak karena beranggapan demi kebaikan sang anak. Dengan membunuh, si bapak beranggapan bisa mengurangi penderitaan si anak.

Membunuh, terutama dengan cara sadis, tentu bukanlah “solusi” dari penderitaan seorang anak. Orang tua seharusnya bertanggung jawab menemukan solusi yang pas dari permasalahan tersebut agar anaknya bisa hidup dengan layak.

Pada kasus kedua, seorang bapak muda seperti tak siap mental menjadi orang tua. Hanya karena rewel, anaknya dibekap hingga kehilangan nyawa. Bayi yang rewel adalah hal yang normal dan wajar. Tinggal bagaimana orang  tua menenangkan.

Berkaca pada dua kasus tersebut, kesehatan mental sangat penting dimiliki orang tua. Chief of Advocacy Campaign Communication and Media Save the Children Indonesia Troy Pantouw menyebut kesehatan mental menjadi isu yang cukup serius saat ini.

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada 2021, satu dari empat anak tinggal bersama orang tua yang memiliki kondisi mental yang tidak sehat. Keluarga yang menjadi tempat anak bernaung malah menjadi gugus atau klaster kasus kekerasan terhadap anak paling tinggi.

Kekerasan terhadap anak terus meningkat. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sepanjang 2022 terdapat 21.241 anak  di Indonesia yang menjadi korban kekerasan.

Perinciannya 9.588 anak menjadi korban kekerasan seksual, 4.162 anak menjadi korban kekerasan psikis, 3.746 anak menjadi korban kekerasan fisik, 1.269 anak yang menjadi korban penelantaran, 219 anak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, 216 anak menjadi korban eksploitasi, dan 2.041 anak menjadi korban kekerasan dalam bentuk lainnya.

Kesehatan mental dianggap sebagai pemicu yang paling dominan dalam kekerasan terhadap anak di lingkup keluarga. Ini perlu ditangani bersama, dari sisi pemerintah maupun orang tua itu sendiri.

Pemerintah semestinya terus melakukan tindakan untuk menekan angka kekerasan terhadap anak. Pemerintah harus meningkatkan layanan atau dukungan kesehatan mental kepada para orang tua. Orang tua harus mau berbenah ketika mengetahui ada yang bermasalah dalam mentalnya.

Bagaimanapun keluarga adalah tempat untuk berlindung. Bapak bagi anak adalah pelindung dan pedoman. Ternyata bapak juga bisa menghadirkan petaka bagi anaknya. Jagalah kesehatan mentalmu, jagalah anakmu!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Mei 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya