SOLOPOS.COM - R. Bambang Aris Sasangka (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Tanggal  30 September dan 1 Oktober menjadi momentum entakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Ada upaya pemberontakan di tingkat nasional yang cukup serius, yang kemudian menjadi salah satu titik belok atau turning point dalam sejarah negeri ini.

Peristiwa di dua tanggal itu memang sarat dengan urusan politik, kontroversinya tidak habis-habis hingga kini. Apa yang sebenarnya terjadi pada dua hari itu, beriringan dengan build up moments atau saat-saat yang membawa terjadinya peristiwa itu dan dampak-dampak yang terjadi selanjutnya, masih penuh dengan lubang dan celah yang hingga kini masih belum terisi oleh penjelasan yang memadai.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Soal benar atau tidak Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang, sampai sekarang masih kabur. Artikel di laman bisnis.com berjudul Siapa Dalang G 30 S 1965? pada Minggu (1/10/2023) menjelaskan, merujuk pada historiografi pasca-Orde Baru, ada gelombang penelitian yang cukup masif dari kalangan sejarawan maupun korban untuk menghadirkan narasi sejarah alternatif.

Para peneliti maupun sejarawan mulai menghadirkan dokumen-dokumen penting yang selama Orde Baru “haram” ditampilkan. Dalam konteks pemikiran filsuf Paulo Freire, ada sebuah gerakan pembebasan pengetahuan dalam historiografi pasca-Soeharto.

Hasil penelusuran tersebut kemudian memunculkan beragam versi tentang Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S. Ada tentang keterlibatan badan intelijen Amerika Serikat atau CIA, kudeta oleh Soeharto sendiri, konflik internal Angkatan Darat, hingga ekses dari perang dingin antara kubu Amerika Serikat dan Uni Soviet yang memanfaatkan kubu-kubu politik di Indonesia yang sedang bertikai.

Versi-versi alternatif itu memberikan gambaran yang lebih komprehensif untuk memahami G 30 S dari segala sisi. Soal benar atau tidak, sejarah tidak dalam kapasitas sebagai hakim masa lalu. Semua versi memiliki nilai kebenaran masing-masing. Tidak ada kebenaran mutlak dalam sejarah.

Dua peristiwa itu masih terus kita peringati hingga kini. Saya berpendapat perlu sejumlah penyesuaian agar tetap relevan dengan pertumbuhan bangsa dan negara ini. Yang pertama adalah 30 September yang biasanya ditandai dengan pengibaran bendera kebangsaan setengah tiang.

Hal ini dilakukan sebagai tanda berkabung atas meninggalnya tujuh pahlawan revolusi dalam aksi ”pemberontakan PKI”—menurut sejarah versi Ored Baru. Sepemahaman saya tidak ada penyebutan nama khusus untuk tanggal 30 September.

Saya mengusulkan nama Hari Kesetiaan Bernegara untuk tanggal ini. Dasar pemikirannya adalah para perwira TNI yang gugur sebagai dampak aksi ”pemberontakan PKI” itu adalah simbol kesetiaan mereka dalam menunaikan tugas bagi negara.

Yang kedua adalah 1 Oktober, yang peringatannya memiliki nama resmi Hari Kesaktian Pancasila atau kadang juga disebut sebagai Hari Pancasila Sakti. Penamaan ini berasal dari Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat Soeharto bernomor Kep.977/9/1966 tertanggal 17 September 1966.

Surat keputusan tersebut menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Saat itu yang diperintahkan untuk memperingati hanyalah lingkup TNI AD atau ADRI (Angkatan Darat Republik Indonesia pada waktu itu).

Tak lama kemudian Soeharto, yang saat itu juga menjabat sebagai Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan, menerbitkan surat keputusan bernomor Kep/B/134/1966 tertanggal 29 September 1966.

Surat tersebut memerintahkan agar peringatan Hari Kesaktian Pancasila juga dilakukan oleh seluruh jajaran semua angkatan serta masyarakat. Pada 1 Oktober 1966, peringatan Hari Kesaktian Pancasila untuk kali pertama dilakukan di Lubang Buaya, Jakarta, dan terus berlangsung tiap 1 Oktober di lokasi itu hingga kini.

Istilah “kesaktian Pancasila” menurut saya kurang relevan saat ini. Istilah itu cenderung melekatkan nilai sakral yang berlebihan kepada Pancasila yang justru membuatnya menjadi sebuah ideologi yang layaknya benda pusaka yang tak boleh disentuh.

Pancasila seperti disampaikan Dicky Eko Prasetio, peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya, seharusnya menjadi nilai-nilai “yang selalu hidup.”

Dalam tulisan yang berjudul Meneguhkan Pancasila Sebagai The Living Ideologi: Solusi Integrasi Nilai Budaya Indonesia dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0, Dicky menyebut nilai yang selalu hidup itu menjadikan Pancasila bukan nilai masa lalu yang selalu disakralkan dan bahkan cenderung dijadikan senjata bagi siapa pun yang berkepentingan untuk menghakimi dan memvonis lawan sebagai “anti-Pancasila.”

Hal inilah yang terjadi pada era Orde Baru, ketika semua diskusi mengenai arah negara “dikunci” oleh pemerintah dan setiap upaya untuk berbicara mempertanyakan kebijakan pemerintah dihantam dengan menggunakan kedok Pancasila.

Seharusnya Pancasila menjadi living ideology atau ideologi yang hidup di tengah masyarakat, yang selalu didiskusikan cara penerapannya di tengah dinamika perkembangan zaman yang makin cepat.

Karena itulah, tanggal 1 Oktober saya usulkan diperingati sebagai Hari Kesadaran Berbangsa. Pijakannya adalah kenyataan bahwa ”pemberontakan PKI” kemudian memicu kembali kesadaran bangsa Indonesia untuk bersatu melawan upaya itu.

Penyebutan “kesadaran berbangsa” juga bermakna lebih luas, mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk mencakup upaya terus mempertahankan dan memelihara nilai-nilai Pancasila dalam berbagai sendi kehidupan bangsa.

Kesadaran berbangsa ini juga sekaligus menjadi pengingat bagi seluruh rakyat, termasuk pemerintahan, bahwa ancaman yang dihadapi oleh bangsa dan negara ini kian beragam. Tak hanya soal ideologi, namun juga perang kepentingan politik dan dagang di dunia yang dampaknya terasa di berbagai lini dan sektor.

Jika mau dibilang soal perang ideologi, sebenarnya yang disebut sebagai ideologi itu makin kabur. Uni Soviet sudah runtuh. Pewaris pengaruhnya, Rusia, kini lebih sibuk berperang di tapal batas negeri, mencoba membangun ulang pengaruh di negara-negara yang dulu pernah dipaksa masuk ke dalam Uni Soviet.

China adalah negara berideologi komunis terbesar, namun yang kini ditakutkan banyak orang justru pengaruh perekonomian mereka yang merasuk ke mana-mana. Tiktok kini “lebih berbahaya” ketimbang ideologi komunis.

Ekspansi dagang China kini lebih ditakuti ketimbang ekspansi antarbenua yang dulu dilakukan blok Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa perang dingin. Konteks dan relevansi itulah yang kini harus kita pahami bersama. Dalam diskusi ini semua harus bersikap supel, lentur, akomodatif.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 Oktober 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya