SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO – Kampus  butuh mahasiswa dan mahasiswa butuh kampus. Begitu seharusnya. Yang diharapkan adalah hubungan timbal balik yang saling menguntungkan, terlebih dalam lingkungan akademik.

Ketimpangan relasi kuasa rasa-rasanya menjadi batu sandungan bagi mahasiswa untuk meminta atau mempertahankan hak dalam lingkungan akademik kampus.Yang saya maksud dengan ketimpangan relasi kuasa adalah hubungan antara dosen dengan mahasiswa.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Dosen sebagai subjek memiliki kuasa memberi nilai terhadap mahasiswa. Kondisi ini membuat dosen memiliki kuasa yang ”lebih” dibandingkan para mahasiswa. Dengan kekuasaan memberi nilai inilah dosen dapat berbuat seenaknya.

Hal ini dapat terlihat, antara lain, dosen tidak memberikan materi perkuliahan sesuai rencana  pembelajaran semester (RPS); tidak hadir pada jam perkuliahan tanpa mengganti jam perkuliahan; hanya memberi tugas tanpa adanya reviu atau pembahasan yang mendalam; serta  meminta mahasiswa membuat presentasi dan mempresentasikan materi dengan dalih mahasiswa perlu belajar berbicara di depan.

Menjelaskan materi adalah tugas dosen. Dalam kondisi demikian dosen dengan kekuasaaan mudah memberi nilai A kepada mahasiswa, meski tidak memenuhi tugasnya. Mayoritas mahasiswa ”senang” tanpa harus bersusah payah belajar dan mengerjakan tugas karena dosen akan otomatis memberi nilai A.

Ya, anggaplah sebagai penutup mulut. Satu hal lagi, pemberian nilai A semata-mata hanya untuk mengejar akreditasi dan nama baik kampus. Tentu ini satu fakta yang mengecewakan. Kondisi demikian membuat ada status quo terhadap atmosfer pembelajaran akademik.

Tidak sepatutnya hal tersebut terjadi di dunia akademik. Saling meringankan tugas satu sama lain (dosen dengan mahasiswa) adalah niat yang baik, tetapi bukankah lecutan lewat tugas, pembahasan yang mendalam atas materi, dan diskusi yang terbuka akan melahirkan mahasiswa yang berkualitas?

Akibat saling meringankan tugas yang terlalu longgar justru menghasilkan bom waktu bagi mahasiswa, dosen, dan kampus. Mahasiswa tidak memiliki kepekaan terhadap permasalahan yang sedang terjadi dan cenderung acuh tak acuh terhadap orang lain; kritisisme tidak tampak; kualitas mahasiswa yang telah lulus dipertanyakan; dan paling buruk kemungkinan tidak dapat bersaing di dunia kerja.

Dari sisi dosen, jika iklim perkuliahan seperti itu, berakibat kualitas dosen dipertanyakan, dosen tidak ada kemauan belajar hal baru, dan dosen tidak dapat dikatakan menghasilkan mahasiswa yang berkualitas.

Penjelasan tersebut menginterpretasikan wajah dan kualitas kampus yang sebenarnya pada kemudian hari. Rasa-rasanya saat ini hanya sedikit mahasiswa yang masih peduli, kritis, dan berusaha mewawas diri dankemudian menciptakan iklim pembelajaran yang lebih berkualitas.

Pergerakan terus dilakukan, tetapi jika hanya sedikit yang peduli, pergerakan untuk mendapatkan hak tentu tidak akan berjalan. Perlu kesatuan pergerakan mahasiswa secara khusus demi membenahi sistem.

Mengharapkan perubahan sikap atau metode yang diterapkan dosen dan kampus sulit untuk direaliasikan karena jelas mahasiswa tidak punya kuasa mewujudkan hal tersebut.

Dalam buku The Sage Handbook Political Sociology karya Jonathan Hearn ada penjelasan kekuasaan dilihat sebagai suatu hal yang didistribusikan atas dasar moral dan kritis. Konsep kekuasaan yang layak dan berguna perlu diiringi dengan pemahaman yang lebih naturalistik.

Naturalistik yang dimaksud berupa kekuasaan sebagai kapasitas agen, mengejar tujuan dalam lingkungkan terstruktur yang secara kumulatif akan menghasilkan output berupa pola distribusi kekuasaan yang kompleks. Kekuasaan di kampus berdasar penjelasan itu perlu perubahan konsep.

Kekuasaan yang seharusnya itu adalah kekuasaan yang terdistribusi. Tidak terpusat hanya pada pemegang kekuasaan yang lebih tinggi. Artinya, tidak kemudian yang lebih tinggi selalu mengatur yang lebih rendah. Sedangkan yang lebih rendah hanya mengikuti tanpa diskusi bersama.

Kekuasaan seharusnya terdistribusi secara kompleks dalam tiap jenjang sehingga menghasilkan suatu hubungan yang berkeseimbangan dan timbal balik yang lebih positif. Diperkuat dengan teori atau analisis kekuasaan menurut Michael Foucalt, bahwa kekuasaan bukanlah untuk membuat orang lain tunduk dan menjadi mekanisme dominasi.

Kekuasaan dipahami sebagai suatu hal yang memperpanjang hubungan yang imanen, kekuasaan menyebar di mana-mana, karena kekuasaan dapat dan akan terus dihasilkan dalam setiap momen dan hubungan. Menurut saya, percuma hanya mengharapkan perubahan tanpa melakukan pergerakan.

Hal yang terpenting sebagai mahasiswa adalah menjadi pasangan diskusi yang berkualitas, menambah literatur untuk peningkatan pengetahuan, dan membentuk grup diskusi untuk menghasilkan pemikiran yang lebih kritis. Berhenti berharap sistem akan berubah, mulailah mengubah diri sendiri dan bagian kecil dari lingkungan sekitar.

Oleh karena itu, jika ingin terwujud perubahan dalam atmosfer ruang lingkup akademik, perlu ada agen yang memulai dengan tujuan yang jelas agar terbentuk suatu relasi kuasa yang terdistribusi. Ditambah dengan perpanjangan hubungan yang imanen dan membentuk momen dan hubungan kekuasaan yang jelas.

Saya atas nama mahasiswa mengajak semua mahasiswa lain dari universitas mana pun di Indonesia untuk melakukan satu gerakan yang sama sehingga agen perubahan dapat terbentuk dan tujuan pendistrubusian kekuasaan dapat terwujud.. Hak mahasiswa dapat diperoleh secara utuh tanpa takut terhadap ketimpangan relasi kuasa.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 11 April 2023. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya