SOLOPOS.COM - Kaled Hasby Ashshidiqy. (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Pemilu 2024 selesai digelar dengan relatif aman dan lancar, meski sejumlah pihak menuduh banyak kecurangan di dalamnya. Terutama dari kubu yang kalah. Kecurangan menjadi sebuah keniscayaan dalam setiap pesta demokrasi di negara ini.

Semua kubu melakukan, yang membedakan hanyalah skalanya. Mari kita akui saja. Paling tidak, dari penyelenggaraan pemilu sejak 2004 hingga sekarang kita bisa mengetahui sejauh mana kemampuan bangsa ini menggunakan kedaulatan yang dijamin undang-undang untuk menentukan nasib setiap lima tahun.

Promosi Moncernya Industri Gaming, Indonesia Juara Asia dan Libas Kejuaraan Dunia

Pemilu 2004 menjadi tonggak sejarah baru dalam sistem demokrasi Indonesia. Presiden dan wakil presiden untuk kali pertama dipilih langsung oleh rakyat. Bangsa Indonesia yang beragam latar belakang tingkat pendidikan dan moralitas diberi kewenangan menentukan nasib mereka sendiri melalui pemimpin yang mereka pilih.

Euforianya begitu terasa pada awal itu dan idealisme dari sebuah sistem pemerintahan yang demokratis membuncah. Semakin ke sini, hanya euforia yang masih bertahan, idealismenya semakin menghilang.

Negara yang menerapkan sistem demokrasi dianggap sebagai negara paling ideal. Hampir semua negara menerapkan demokrasi dalam sistem bernegara mereka, namun dengan pola masing-masing.

Indonesia dan Amerika Serikat sama-sama negara demokrasi, namun sistem yang digunakan tak sama, terutama dalam pemilihan presiden. Sistem demokrasi seperti ini terdengar begitu mulia. Banyak orang menerjemahkan demokrasi sebatas meletakkan kedaulatan di tangan rakyat.

Rakyat menentukan sendiri nasib mereka. Apakah benar semulia itu? Mari kita ibaratkan kedaulatan itu adalah uang karena sama-sama berharga. Memberi uang kepada seseorang itu tindakan mulia.

Memberikan uang Rp10 juta kepada anak SD bukanlah sesuatu yang bijak. Bisa saja duit itu hilang, digunakan untuk hal-hal tak bermanfaat, atau justru menempatkan si anak dalam situasi berbahaya karena jadi incaran kejahatan orang yang menginginkan uang itu.

Nominal uang tersebut terlalu besar untuk diberikan kepada anak yang belum dewasa dan belum matang untuk menentukan mana yang baik dan mana yang benar buat dirinya.

Akan berbeda situasinya jika uang tersebut diberikan kepada orang dewasa. Orang dewas umumnya telah memiliki wawasan dan kebijaksanaan yang cukup untuk menentukan bagaimana menggunakan uang itu agar memberi manfaat bagi dirinya.

Di tangan seorang entrepreneur, uang itu bisa jadi modal usaha, misalnya untuk berjualan pisang goreng. Di tangan seorang penuntut ilmu, uang itu bisa dikapitalisasi menjadi buku-buku yang bisa menambah wawasan dan pengetahuan.

Demokrasi di Indonesia seperti itu. Rakyat dengan tingkat kedewasaan berpikir yang begitu beragam karena tingkat pendidikan dan ekonomi yang jomplang mendapat porsi kedaulatan yang sama untuk menentukan nasib bangsa ini.

Orang pintar dan yang belum pintar diberi takaran yang sama. Akhirnya buah dari demokrasi ini lebih ditentukan oleh kuantitas, bukan kualitas. Dalam negara dengan sistem demokrasi, pemimpin adalah cerminan rakyat. Rakyat cenderung memilih pemimpin yang serupa dengan mereka.

Berkaca dari pemilu yang sudah kita lewati beberapa periode ini, kita bisa mengambil benang merah bahwa bangsa ini semakin mengalami kemunduran dalam berdemokrasi. Politik transaksional yang semakin liar hanyalah salah satu indikator.

Banyak indikator lain yang menunjukkan ke arah itu. Rakyat yang seharusnya menjadi subjek atau pemain yang memegang peran dalam pesta demokrasi ini, justru mau begitu saja dijadikan objek politik transaksional oleh pihak-pihak yang culas demi memuaskan kepentingan pribadi mereka.

Dari situasi itu, lalu muncul pertanyaan besar, apakah bangsa ini sudah cukup dewasa dan bijaksana dalam menggunakan kedaulatan itu? Ujung dari pertanyaan itu adalah apakah rakyat Indonesia benar-benar sudah siap diberi kepercayaan memegang kedaulatan untuk memilih presiden secara langsung?

Jika pilihan kita yang menentukan nasib bangsa bisa dibelokkan hanya karena duit Rp100.000 apakah itu bisa disebut siap? Diskursus soal mengembalikan kewenangan memilih presiden kepada MPR digulirkan beberapa pihak, meskipun responsnya kurang menggembirakan.

Banyak yang menilai itu akan jadi sebuah kemunduran, tapi apakah demokrasi kita saat ini bergerak maju? Tidak ada jaminan menyerahkan kembali kedaulatan kepada MPR akan menghasilkan presiden yang lebih baik.

Menyiapkan anggota MPR yang lebih kompeten untuk memilih presiden yang kompeten pula itu lebih mudah ketimbang menyiapkan seluruh rakyat Indonesia agar lebih layak memegang kedaulatan itu.

Kita bisa saja perketat persyaratan menjadi anggota MPR, sebut saja minimal doktor, berpengalaman, dan syarat-syarat lain yang menunjukkan kompetensi. Kalau perlu, ada ketentuan harus beretika dan bermoral biar persoalan yang ramai dibicarakan sekarang tak terulang.

Masalah bagaimana mengukur etika dan moral seseorang, itu jadi pembahasan berikutnya. Tudingan diskriminatif akan muncul, itu biasa, biarkan saja. Toh, untuk menjadi buruh pabrik saja tidak bisa semua orang diterima.

Selama sistem pemilihan presiden di tangan MPR ini berjalan, pemerintah harus bekerja keras menyiapkan rakyat untuk lebih layak memegang kembali kedaulatan tersebut. Saya yakin akan ada waktu bangsa Indonesia lebih siap untuk memegang kembali kedaulatan memilih presiden secara langsung.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 8 Maret 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya