SOLOPOS.COM - Pedagang cermin memotret produk yang akan dipasarkan di aplikasi jual beli di kawasan Pejompongan, Jakarta, beberaap waktu lalu. (Antara/Dhemas Reviyanto)

Perusahaan platform digital global Tiktok berencana mengembangkan diri dengan investasi lebih dari Rp150 triliun. Perkembangan Tiktok yang mengenalkan social commerce berdampak buruk terhadap perdagangan ritel dalam negeri dan idustrik mikro, kecil, dan menengah di Indonesia.

Platform digital global yang berbasis di China itu belakangan masuk ke industri e-commerce melalui fitur Tiktok Shop. Fitur ini makin berkembang dan kemudian disebut sebagai social commerce, yakni platform media sosial yang sekaligus menjual barang.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Penyediaan dan pengelolaan fitur ini berdampak ”mulai membunuh” platform e-commerce lain. Asosiasi E-Commerce Indonesia menyatakan Tiktok Shop sudah mendapat izin dari Kementerian Perdagangan untuk beroperasi sebagai e-commerce di Indonesia.

Fenomena social-commerce merujuk pada media sosial yang tak punya izin operasi sebagai e-commerce, lantas dipakai orang-orang tertentu untuk berdagang.

Realitas yang terjadi belakangan menunjukkan platform seperti Tiktok Shop memang berkembang menjadi social commerce yang liar karena berada di ruang kosong regulasi. Mau diatur sebagai e-commerce jati dirinya dianggap sebagai media sosial.

Mau diatur sebagai media sosial, ternyata ada fitur e-commerce. Inilah yang memunculkan sebutan social commerce yang mengacu fitur jual beli di Tiktok.

Berbasis pada praktik yang dijalankan, social commerce semestinya didefinisikan sebagai pelaku perdagangan melalui sistem elektronik atau diefinisikan sebagai e-commerce yang telah diatur oleh Kementerian Perdagangan.

Aturan-aturan teknis dan praksisnya harus jelas, antara lain, tidak boleh menjalankan monopoli dan harus mematuhi harga eceran tertinggi beberapa produk yang diatur, khususnya aneka barang kebutuhan pokok.

Kemunculan dan perkembangan platform digital global memang selalu menyajikan inovasi, kebaruan, yang berupaya unggul dari platform digital yang muncul lebih dulu atau yang sedang bertahan dan berkembang.

Jamak pemerintah Indonesia tergagap-gagap menghadapi dan merespons dampak dari kemunculan, eksistensi, dan perkembangan platform digital global yang selalu menyajikan dan memunculkan hal baru dalam perkembangan ekonomi global yang berdampak lokal.

Koeksistensi menjadi pilihan paling logis. Koeksistensi meniscayakan negosiasi. Pemerintah punya kuasa menggunakan wewenang dan kekuatan untuk bernegosiasi dengan platform digital global. Tentu saja itu demi kepentingan perekonomian dalam negeri.

Langkah frontal ”melawan” platform digital global rasanya bukan pilihan strategis dalam kondisi faktual dan aktual. Pilihan ini meniscayakan kekuatan penuh dan kedaulatan penuh dengan risiko ”teralienasi” dari perkembangan global.

Indonesia jelas tak punya bekal dan kemampuan menjalankan strategi frontal ”melawan” itu. Koeksistensi meniscayakan pilihan-pilihan penggunaan wewenang tanpa mengalienasi diri, tentu dengan kecerdikan dan respons cepat atas dampak buruk yang terjadi.

Melindungi perekonomian dalam negeri dan melindungi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah dalam negeri adalah keniscayaan. Respons terhadap platform digital global yang paling penting adalah pada urusan regulasi, urusan pengaturan. Ini tugas negara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya