SOLOPOS.COM - Chelin Indra S (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Tengkes atau stunting menjadi salah satu isu dalam kampanye Pemilu 2024, terutama dalam kampanye calon presiden dan calon wakil presiden. Mereka memiliki strategi tersendiri untuk mengatasi masalah tersebut yang disampaikan selama masa kampanye.

Tengkes menjadi salah satu masalah pelik di negeri ini. United Nations International Children’s Emergency Fund  (UNICEF) menyebut anak kekurangan gizi disebabkan ibu kurang mendapat asupan nutrisi selama kehamilan dan tidak memiliki sanitasi yang memadai.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Sejak hamil sampai melahirkan bayi, seorang perempuan mengalami ujian mental yang tak terkira beratnya. Mereka harus menjaga tubuh dan mental agar tetap waras untuk memastikan tumbuh kembang janin secara optimal.

Dalam perjalanan panjang melelahkan itu, perempuan sering kali berdiri sendiri, minim dukungan dari pihak lain, termasuk suami dan keluarga. Perubahan hormon selama hamil ditambah kondisi fisik yang berubah sering membuat perempuan mengalami masalah dengan kesehatan mental, bahkan sampai setelah melahirkan.

Program pendampingan ibu hamil dan setelah persalinan yang dijalankan pemerintah melalui bidan desa dan kader posyandu masih kurang. Selama saya menjalani masa kehamilan, hanya satu kali bidan desa dan kader posyandu datang berkunjung ke rumah saya, semestinya minimal enam kali.

Tidak banyak kelas hamil yang diselenggarakan pemerintah untuk memfasilitasi ibu hamil menimba ilmu. Setelah persalinan hanya sekali bidan desa dan kader posyandu datang ke rumah saya memberikan pendampingan.

Selebihnya, setiap bulan saya yang harus datang ke posyandu untuk sekadar mengukur tinggi dan berat badan anak. Tidak ada pendampingan dan perhatian lebih yang diberikan kepada ibu setelah melahirkan. Tidak ada pula vitamin yang diberikan secara gratis, seperti saat memeriksakan diri di puskesmas saat hamil.

Mayoritas orang beranggapan setelah melahirkan seorang ibu langsung bisa melakukan semua hal, mengurus anak dan keluarga seperti sedia kala. Pada kenyataannya menerima perubahan fisik, status, dan tanggung jawab tambahan bukan hal mudah.

Kondisi kesehatan mental ibu hamil sampai setelah melahirkan jelas berbeda dengan orang lain yang tidak mengalami perubahan sedrastis itu. Sejauh ingatan berdasarkan pengalaman saya, sangat jarang orang bertanya bagaimana kondisi ibu nifas, apakah bahagia atau mengalami kesulitan?

Mayoritas pertanyaan yang dilontarkan adalah bagaimana kondisi bayi yang baru lahir. Apakah lahir normal, apakah lahir sempurna, dan apakah minum air susu ibu atau ASI? Sungguh pertanyaan yang memicu stres.

Sepulang dari rumah sakit setelah melahirkan, seorang ibu dituntut menghasilkan ASI yang cukup. Tidak peduli luka jahitan sudah mengering atau belum, ketercukupan gizi bayi adalah prioritas. ASI memang makanan terbaik untuk bayi, namun proses produksinya tidak mudah.

Di sinilah pentingnya peran pendamping, memberi dukungan maupun ilmu. Bukan malah terus menuntut atau melontarkan pertanyaan intimidatif seperti yang jamak dilakukan masyarakat. Berdasarkan data UNICEF, jumlah ibu menyusui di Indonesia sejak 2018 sampai sekarang terus mengalami penurunan.

Setiap bayi berhak mendapatkan ASI. Terdengar mudah, tetapi sulit dilakukan. Data tahun 2017 menunjukkan 65% bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan. Ini terjadi karena berbagai faktor, salah satunya stres yang dialami ibu setelah melahirkan.

Pengetahuan, sikap, dan motivasi menjadi faktor-faktor utama perilaku pemberian ASI eksklusif. Dukungan keluarga, baik orang tua, mertua, dan suami, serta dukungan tenaga kesehatan menjadi faktor eksternal penting dalam pemberian ASI secara eksklusif.

Pemberian ASI eksklusif tidak hanya mengandalkan pengetahuan dan sikap positif. Ketersediaan fasilitas dan waktu untuk memberikan ASI kepada bayi perlu dipertimbangkan. Campur tangan keluarga dalam perawatan bayi memengaruhi ibu dalam memberikan ASI.

Alasan utama ibu tidak konsisten memberikan ASI adalah ketakutan ihwal kecukupan ASI. Secara biologis, selama ibu mengonsumsi makanan bergizi dan selama terdapat rangsangan dari mulut bayi ASI secara otomatis akan terus diproduksi.

Ada pengaruh psikologis ibu pada produksi ASI. Ibu menyusui harus diupayakan selalu bahagia dan dihindarkan dari emosi negatif. Butuh peran suami mendukung istri yang sedang menyusui. Suami memberi dukungan secara moral dan psikis kepada ibu menyusui.

Kini justru semakin banyak ibu tidak menyusui bayi karena stres yang membuat produksi ASI tidak maksimal. ASI memang makanan terbaik untuk bayi dalam mencegah tengkes. Oleh sebab itu, keluarga bertugas membahagiakan ibu menyusui agar nyaman memenuhi hak anak berupa ASI.

Bukan sekadar meminta mengonsumsi vitamin tanpa memenuhi kebutuhan lain, khususnya kebutuhan psikologis. Jangan sampai ibu menyusui merasa sendirian. Menyusui anak sebagai upaya mencegah tengkes bukan hanya tugas ibu. Butuh dukungan semua pihak untuk menyukseskan pemberian ASI ekslusif demi melahirkan generasi emas pengemban masa depan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 Januari 2024. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya