SOLOPOS.COM - Djoko Sulistyono (Isitmewa)

Solopos.com, SOLO – Peneliti  tidak bisa lepas dengan akademikus. Keduanya sama-sama bergerak dalam research and development, penelitian dan pengembangan. Keduanya saling melengkapi dan saling membutuhkan.

Sejak pembentukan Badan Riset dan Inovasi NasionaL (BRIN) berdasarkan  Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 mengemuka keinginan sangat kuat memberdayakan peneliti. Sampai saat ini proses pengintegrasian peneliti masih terus berlangsung.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Kini para peneliti sepertinya sudah nyaman bekerja, walaupun untuk mendapatkan persetujuan riset penelitian dilakukan melalui persaingan di antara peneliti tersebut, melalui beberapa skema pendanaan riset.

Hal ini yang sebenarnya ”memberatkan” para peneliti yang berasal dari seluruh kementerian/lembaga dan baru saja berkolaborasi di antara mereka. Pengaturan ”satu atap” terhadap peneliti melalui BRIN diharapkan dapat mempercepat proses implementasi penelitian dan pengembangan serta sistem riset nasional.

Sampai saat ini masih sangat sedikit teknologi yang dihasilkan oleh akademikus maupun oleh peneliti di dalam negeri yang dapat diadopsi industri untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan publik.

Rendahnya produktivitas peneliti dan akademikus sebagaimana terindikasi dari jumlah publikasi ilmiah (scientific publication) dan paten yang diperoleh (granted patent) telah banyak diulas. Posisi Indonesia sangat kurang produktif bila dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Hal ini terjadi karena sebagian peneliti dan akademikus menganggap pendekatan demand-driven akan ”mengebiri” kreativitas ilmiah. Peneliti dan akademikus kurang berminat jika didorong ke arah penelitian dan pengembangan difusi teknologi atau kemitraan dengan dunia bisnis untuk mengaplikasikan hasil riset dalam proses produksi.

Peneliti dan akademikus hanya berpeluang maju jika dapat berinteraksi dengan pebisnis yang melakukan produksi. Pemerintah diharapkan merumuskan kebijakan dan membuat dan/atau merevisi regulasi agar hubungan yang harmonis dan mutualisme  antara pebisnis dan akademikus—termasuk peneliti tentunya—dapat menjadi lebih intensif.

Regulasi tersebut mencakup upaya menggiring kegiatan riset agar lebih berorientasi pada penyediaan solusi teknologi atas permasalahan nasional. Kebijakan  atau regulasi perlu dirancang secara cermat dan tepat untuk memperbesar peluang peningkatan kapasitas dan kompetensi peneliti dan akademikus.

Pertama, mengubah mindset para akademikus, peneliti,  dan pelaku riset agar lebih sungguh-sungguh memfokuskan orientasi kegiatan pada pemenuhan kebutuhan atau solusi persoalan nyata yang dihadapi masyarakat dan negara. Mindset selama ini yang  hanya mengejar output sudah saatnya beralih mengejar outcome;

Kedua, mendorong agar para pelaku bisnis  tertarik dan  berkiprah pada segmen industri hilir untuk mengolah sumber daya lokal/nasional menjadi produk barang atau jasa sesuai permintaan pasar domestik sehingga menumbuhkan kebutuhan teknologi. Dengan kata lain, memperbesar kapasitas serapan teknologi oleh para aktor pengguna.

Ketiga, memberikan kesempatan dan dorongan agar lembaga intermediasi berfungsi secara optimal, tidak hanya memasarkan teknologi (seperti peran yang dominan terlihat selama ini), tetapi juga meningkatkan peran merekam kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi para pengguna/stakeholders.

Keterbatasan fasilitas pemerintah dan perguruan tinggi dapat berpengaruh pada ketidaksesuaian kebutuhan masyarakat dengan teknologi yang dihasilkan pengembang. Penelitian yang selama ini dilakukan pemerintah dan perguruan tinggi sulit dikembangkan dan tidak mungkin dilakukan penelitian berseri atau berkelanjutan karena keterbatasan dana.

Ketidakterbukaan dari swasta (industri)  terhadap kebutuhan teknologi yang dibutuhkan merupakan hal lainnya. Belum ditambah dengan peneliti dan akademikus tidak memiliki kesempatan memamerkan hasil penelitian di pusat maupun daerah.

Selain itu, hasil penelitian tidak didukung oleh kalangan swasta (industri). Dengan kata lain,  ketiadaan sponsor dari swasta jelas menyulitkan para peneliti dan akademikus mengembangkan hasil penelitian.

Dana penelitian selama ini tidak memungkinkan melakukan penelitian dari tahap dasar/awal hingga pengemasan (packaging) yang kemudian dipamerkan atau didiseminasikan kepada kalangan industri dan masyarakat luas.

Dalam legislasi untuk penguatan sumber daya peneliti dan akademikus hendaknya regulasi yang dikeluarkan mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan di industri-industri  dalam negeri yang potensial. Ini memerlukan  penguatan program kemitraan antara industri dengan peneliti dan akademikus.

Untuk meningkatkan produktivitas peneliti dan akademikus, pemerintah hendaknya membuat aturan mengenai seeds capital  dan venture capital untuk mempercepat komersialisasi hasil-hasil penelitian dengan skema riset dan standar penelitian yang sesuai kebutuhan industri atau pengguna teknologi.

Sangat diperlukan penguatan lembaga-lembaga intermediasi yang menghubungkan peneliti dan akademikus dengan dunia industri serta sebagai sarana alih teknologi. Pemerintah juga harus memainkan peran sebagai komunikator bagi para peneliti dan akademikus dengan dunia industri.

Hal lainnya adalah  perlu dukungan regulasi yang mendorong pemanfaatan hasil riset dalam negeri. Pemerintah perlu memberi penghargaan yang nyata terhadap hasil riset aplikatif  dari para peneliti dan akademikus yang memenuhi kaidah-kaidah ilmiah.

Hambatan birokrasi untuk meningkatkan kapabilitas dan kompetensi para peneliti dan akademikus harus harus mulai dihilangkan. Pendaftaran paten di luar negeri lebih secured dibandingkan di Indonesia. Proses pendaftaran lebih cepat dibandingkan di Indonesia.

Reward yang diterima peneliti dan akademikus di luar negeri lebih besar. Pengawasan penggunaan hasil paten juga lebih ketat. Tidak ada salahnya menyederhanakan prosedur paten sehingga peneliti dan akademikus yang berminat tidak kesulitan.

Tuntutan yang tinggi terhadap peneliti, serta khususnya dalam menghadapi kemajuan riset dari  negara-negara  lain, seharusnya mendorong BRIN memfasilitasi peneliti dan akademikus untuk mengimplementasikan kolaborasi yang semakin nyata yang sedang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia secara tepat.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 September 2023. Penulis adalah peneliti pada Pusat Riset Kesejahteraan Sosial Desa dan Konektivitas Badan Riset dan Inovasi Nasional)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya