SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo (Istimewa)

Kolom kali ini, Senin (30/5/2016), ditulis wartawan Solopos Mulyanto Utomo.

Solopos.com, SOLO — Tiga pengamen cilik, Minggu sore kemarin, mbarang di depan warung hik News Café di kampung saya. Kami yang biasa ngenggar-enggar penggalih sambil ngobrol ngalor-ngidul di warung itu sesaat menyimak aksi tiga bocah dengan tembang Koes Plus Kolam Susu yang dipelesetkan.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Bukan lautan hanya kolam susu // Edi Tansil kabur belum ketemu // Bapak jaksa bilang tidak tahu // Pak polisi juga bilang tidak tahu //

Orang bilang tanah kita tanah surga // Kok kolusi dan korupsi membudaya // Orang bilang negeri ini reformasi // Tapi kok makin banyak tikus berdasi//

Ini salah siapa, ini dosa siapa// Anda tak bisa jawab kami pun geleng kepala//

Tentu saja kami tertawa, tergelak-gelak, dengan nyanyian bocah yang sekolah dasar pun pasti belum lulus itu. Lagu Koes Plus yang aslinya adalah pujian atas betapa kayanya negeri kita ini diubah liriknya menjadi sebuah ironi… negeri yang belum juga beranjak dari keterpurukan di berbagai sisi.

Negeri kita, Indonesia, ini jelas serba kaya seperti lirik lagu Kolam Susu-nya Koes Plus. Kata Uztaz K.H. Kholil Bisri, kita kaya dengan budaya, etnis, agama, adat istiadat, bahasa (daerah), keindahan panorama, sumber daya alam, dan sebagainya.

Malah, beberapa tahun setelah reformasi, menurut Mbah Kholil, ”kekayaan” Indonesia bertambah-tambah dengan munculnya para pengamat (ekonomi, politik, hukum, gender, dan lain-lain), ”kaya” akan perbedaan pendapat, ”kaya” akan orang-orang yang saling memaki, dan orang-orang yang saling membenci.

Nah, persoalan inilah yang kemudian menjadi topik hangat perbicangan kami di News Café, warung kelas hik, tempat kami biasa ngudarasa beragam persoalan sambil nyruput wedang jahe kencur jeruk.

”Betul juga kata bocah-bocah itu tadi ya, Mas. Negeri ini masih banyak ironi… Kenapa sih bangsa ini tak kunjung tenteram, damai, dan sejahtera? Ada saja yang jadi perbedaan pandangan. Kalau sekadar berbeda pendapat terus bisa saling menerima sih nggak masalah. Celakanya, mereka ini kemudian saling menghujat dan mencela,” kata Raden Mas Suloyo.

Saya sepakat dengan pernyataan kawan saya Denmas Suloyo itu. Realitas yang terjadi, hiruk-pikuk bangsa ini atas segala persoalan yang berkaitan dengan pertentangan dan pebedaan pendapat antara satu dengan yang lain memang masih berlangsung.

Masalah pembangunan, masalah perekonomian, hingga persoalan ”kebangkitan” Partai Komunis Indonesia (PKI), atau ”kebangkitan” Orde Baru, sampai persoalan gelar pahlawan bagi Presiden kedua Indonesia, Soeharto, tetap sengit diperdebatkan.

Masing-masing pihak terkadang mempertahankan pendapat berdasar kebencian dan dendam kesumat. Dunia maya riuh dengan perang kata-kata, bahkan tidak sedikit yang sampai pada tingkat menghujat dan mencaci memaki.

Makian itu ada pula yang menjurus kepada makian kasar, tidak etis, karena menghujat kekurangan lawan dengan cara menyinggung anggota tubuh hingga kinerjanya, bukan kepada substansi yang diperdebatkan.

Jika hal seperti itu terus berlangsung, sejatinya bangsa ini akan terus terpuruk di perdebatan kosong, kontraproduktif, dan tidak menghasilkan keuntungan apa pun bagi kemajuan negeri ini.

Alrmarhum Mbah Kholil Bisri pernah menulis bahwa kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki bangsa ini adalah karunia Allah SWT, kecuali kekayaan cara mencaci dan memaki.

”Itu adalah bisikan setan. Makian, di mana saja dan kapan saja, pasti menyakitkan, meski–mungkin—ada rasa puas saat orang memaki orang lain,” papar Mbah Kholil. [Baca selanjutnya: Disharmoni]Disharmoni

Makian meluncur karena desakan emosi kemarahan atau bahkan buah dari kebencian yang diperoleh dari hubungan tanpa adanya harmonisasi. Ketika disharmoni terjadi maka hubungan antara satu dengan yang lain pasti tidak produktif.

Jika disharmoni itu terjadi di dalam sebuah bangsa maka negeri itu yang akan rugi karena yang terjadi adalah perselisihan, perbedaan pendapat, tanpa bisa dicapai kata sepakat dan musyawarah dan akhirnya bangsa ini tidak akan maju.

Karena itu, alangkah eloknya jika kita belajar kepada para sesepuh kita semacam A.M. Fatwa yang tampil arif  dan penuh kerendahan hati pada diskusi di Indonesia Lawyer  Club (ILC) TV One pekan lalu saat mengangkat tema Pro Kontra Soeharto Pahlawan Nasional.

A.M. Fatwa yang kita ketahui pernah ditahan pada masa pemerintahan Orde Lama maupun pada saat pemerintahan Orde Baru menyebut masa lalu adalah sebuah catatan sejarah yang memang tidak bisa serta-merta dilupakan, namun sesungguhnya yang lebih penting adalah bertindak secara arif dan bijaksana demi kebaikan masa depan bangsa dan negara ini.

”Masa lalu saya mengalami penderitaan, pernah ditahan berbulan-bulan semasa Orde Lama, apalagi pada masa Orde Baru, tapi semua itu biarlah menjadi catatan saya. Saya tidak dendam, tidak sakit hati. Saya ingin mengajak bangsa ini untuk berdamai dengan sejarah. Mari berdamai dengan masa lalu demi masa depan bangsa kita yang lebih baik,” kata A.M. Fatwa.

Begitulah negarawan. Seharusnya banyak di antara elite bangsa ini yang mau mengajak seluruh komponen bangsa untuk bertindak dengan penuh kearifan dan berpikir dengan kemuliaan hati.

Benar, sejarah tidak bisa dilupakan, namun jika terpaku dengan berbagai konflik yang terjadi masa lalu, kapan bangsa ini bisa berjalan dengan nyaman pada masa mendatang?



Pemimpin Afrika Selatan Nelson Mandela, seperti dikutip Karni Ilyas dalam acara ILC itu, berkata,”Ketika saya meninggalkan gerbang penjara, kalau saya tidak meninggalkan kebencian di dalam penjara itu, maka saya akan masih berada di penjara itu…”

Begitulah. Kearifan dan kemuliaan hati menjadi hal yang sangat penting tertanam pada setiap insan yang hidup di negeri ini. A.M. Fatwa mengutip perkataan sahabatnya Mr. Syafruddin Prawiranegara yang juga salah seorang pejuang kemerdekaan bahwa menjadi arif, bijaksana, dan berhati mulia itu penting.

”Pesan Mr. Syafruddin yang senantiasa saya ingat dan terus menjadi perenungan saya adalah jangan berasumsi bahwa apa yang telah dilakukan lawan politik kita itu sepenuhnya salah, demikian juga kita jangan berkeyakinan bahwa apa yang kita lakukan itu sepenuhnya benar,” kata A.M. Fatwa.

Terakhir, nasihat K.H. Kholil Bisri ini kiranya bisa kian membuka pikiran dan hati kita semua bahwa sebaiknya kita tidak larut dalam ”menyukai” atau ”tidak menyukai” sesuatu atau ”membenci” sesuatu atau ”mencintai” sesuatu secara berlebihan.

Ingat, kita ini adalah insan, manusia. Kecuali dituntut untuk menciptakan harmoni, kita ini juga merupakan mahluk lumrah yang tidak dapat menyandang sifat-sifat secara mutlak dan permanen. Manusia itu mempunyai hati, qolbu, yang maknanya berubah dan beralih dari sikap yang satu ke sikap yang lain…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya