SOLOPOS.COM - Suwarmin (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (10/8/2015), ditulis wartawan Solopos Suwarmin.

Solopos.com, SOLO — Apa pun yang terjadi, pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan dilaksanakan pada Rabu Pahing, 9 Desember 2015. Meski sekarang hanya tersedia satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di sejumlah daerah penyelenggara pilkada, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap memutuskan pilkada serentak dilaksanakan sesuai jadwal.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Ada sejumlah alternatif untuk daerah yang hanya mempunyai satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, seperti di Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat; Kota Surabaya, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Pacitan di Jawa Timur; Kota Mataram di Nusa Tenggara Barat; Kota Samarinda di Kalimantan Timur; dan Kabupaten Timor Tengah Utara di Provinsi Nusa tenggara Timur.

Di antara alternatif itu adalah pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diadu melawan kotak kosong. Hampir pasti alternatif ini akan ditolak mentah-mentah oleh sebagian besar pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah itu.

Jika tidak benar-benar dicintai rakyat, melawan kotak kosong harus siap menanggung malu berhadapan dengan apatisme rakyat pemilih yang semakin tidak peduli dengan urusan politik. Alternatif lain adalah dengan menggelar referendum, yakni pemilih disodori pertanyaan setujukah pasangan calon tunggal tersebut menjadi bupati atau wali kota dan wakil bupati atau wakil wali kota di daerah tersebut?

Jika setuju, pasangan itu bisa diangkat menjadi kepala dan wakil kepala daerah definitif. Jika tidak setuju, pasangan tersebut gugur atau boleh mendaftar kembali pada pilkada yang diundur pelaksanannya.

Dua alternatif di atas pada intinya sama: memperhadapkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan dengan pihak-pihak yang tidak setuju dengan mereka atau pihak-pihak yang tidak peduli dengan pilkada.

Jika kalah melawan kotak kosong atau kalah dalam referendum, pilkada terpaksa diundur. Inilah yang tidak dikehendaki pemerintah karena jika pilkada batal digelar akan terjadi kekosongan kekuasaan. Pemerintahan tidak akan berjalan dengan optimal.

Tidak mengherankan jika muncul pula alternatif praktis, yakni putuskan saja calon tunggal sebagai pemenang pilkada. Selesai. Akhirnya kita menyadari, suka atau tidak suka, pilkada hanyalah mekanisme suksesi kepemimpinan, politic as usual.

Apa pun dan bagaimanapun kualitas calon bupati, calon wali kota, atau calon gubernur, dan wakilnya, harus kita terima. Meski pasangan calon kepala daerah yang muncul tak satu pun yang benar-benar kita kehendaki, itu tidak menjadi masalah bagi negara.

Pilkada harus berlangsung, pemerintahan harus dilanjutkan, tak peduli rakyat senang atau tidak. Demokrasi kita memang sesekali menghasilkan pemimpin gaya baru yang mendobrak mainstream pemimpin daerah.

Sebut saja mantan Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi) yang kini menjadi Presiden Republik Indonesia atau Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. [Baca: Rutinitas Demokrasi]

 

Rutinitas Demokrasi
Sebagian pilkada hanya menghasilkan pemenang ala kadarnya. Lebih konyol lagi, sebagian pemenang pilkada adalah para oportunis politik yang cerdik memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan kroni-kroninya.

Mengapa pilkada jarang sekali benar-benar menerbitkan harapan untuk kemajuan daerah? Mengapa pilkada lebih sering dinikmati sebagai rutinitas demokrasi yang tanpa kesan? Jawabannya pasti tidak sederhana, tidak cukup hanya diisi dengan lembar-lembar multiple choice ala ujian anak-anak sekolah.

Dalam situasi sekarang ini, saat terjadi kelesuan ekonomi, orang kembali mempunyai alasan baru untuk tidak peduli dengan politik atau pilkada. Mereka beranggapan para calon kepala daerah hanya hebat di mimbar-mimbar kampanye.

Mereka, para pemilih, hanya diperhatikan sebelum memasuki bilik pencoblosan dan setelah itu segera dilupakan. Sebagian mengikuti pilkada begitu saja, sambil lalu, tanpa emosi, tanpa kesan. Mereka menganggap siapa saja yang menang hasilnya akan sama saja.

Mereka beranggapan mereka yang yang menang hanya akan mementingkan orang-orang yang mendukung mereka saat pencalonan, bukan rakyat secara keseluruhan. Mereka yang menang hanya akan mengejar ”balik modal” atas semua kapital yang telah dikeluarkan selama proses pencalonan.

Sebagian orang yang melek politik semakin menyadari, semakin ke sini, demokrasi kita tidak semakin jernih, namun hanya jalan di tempat, jika tidak mau disebut tanpa kemajuan.

Proses mendapatkan rekomendasi dari partai politik, misalnya, tidak pernah bisa dibuka secara terang benderang ke hadapan publik yang notabene perlu tahu untuk menakar seberapa jauh kualitas dan integritas calon pemimpin mereka.

Dalam situasi seperti ini, elite dewan pimpinan pusat partai politik bertriwikrama dari manusia biasa menjadi dewa dengan tongkat nasib di tangan mereka. Para elite begitu besar memegang kekuasaan. Mereka dilindungi tembok tebal hegemoni politik yang mendarah daging, mereka nikmati bertahun-tahun.

Dalam situasi demikian,  para new comer di dunia politik, para pendatang baru yang mencoba-coba peruntungan di bidang politik, siap-siap kecewa seperti kanak-kanak yang kalah berebut balon.

Dalam situasi serbatertutup dan tidak jelas seperti ini, wajar masyarakat menduga-duga perihal mahar politik. Ada yang menduga pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mendapat rekomendasi harus menyetor sekian miliar rupiah, bahkan lebih dari Rp10 miliar.

Apa yang bisa kita harapkan dari demokrasi yang serba gelap seperti ini? Selain mahar politik yang sangat mahal, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah masih harus berhadapan dengan persaingan berebut simpati pemilih di tengah masyarakat.



Meski saat ini kampanye ditangani Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan berarti para calon kepala daerah akan terbebas dari segala pengeluaran logistik pilkada. Baiklah, apa pun yang terjadi, pilkada serentak akan dilaksanakan.

Kita berharap akan terlahir pemenang pilkada yang paling bermanfaat untuk rakyat mereka. Semoga yang menang bukan pemimpin yang tidak diinginkan oleh sebagian besar rakyat.

Semoga dalam waktu yang tersisa, para calon kepala daerah dan wakil kepala daetah mampu mengubah pandangan masyarakat bahwa pilkada itu penting dan keberadaan mereka adalah jawaban terbaik untuk masalah di daerah mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya