SOLOPOS.COM - Moh Rofqil Bazikh (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Tatkala  warta banyak pelajar minta dispensasi nikah di Pengadilan Agama Ponorogo, Jawa Timur, mengemuka beberapa waktu lalu, saya menolak kaget. Argumen saya sederhana. Menurut saya, itu bukan sesuatu yang baru.

Di kampung halaman saya, nikah dini adalah hal yang biasa. Lumrah saja. Tidak banyak yang menyangsikan. Paling banter hanya kalangan terpelajar yang menggebu-gebu menilai itu langkah tidak produktif bagi remaja. Juga para tenaga pendidik yang kerap kehilangan siswa ketika sebagian menikah.

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Setiap reuni, senantiasa saya temukan banyak pemakluman. Beberapa teman enggan hadir ke acara perkumpulan tahunan tersebut. Alasannya ringkas dan tidak bertele-tele, tidak mendapat izin dari suami.

Saya tidak akan membahas fenomena tersebut dan kaitannya dengan perampasan kebebasan perempuan. Saya hanya bisa melihat dari sisi pemakluman. Bagaimana fenomena tersebut mendapat pemakluman? Mereka yang tidak hadir di reuni alumni sebagian adalah orang yang berhenti sekolah karena menikah.

Kalau tidak begitu, maka orang yang baru lulus sekolah menengah pertama dan langsung disambut kursi pelaminan. Dari itulah mengapa perihal tidak hadir reuni dapat dimaklumi. Selanjutnya rutenya bisa dipetakan menjadi dua jalur.

Pertama, mereka yang berhenti sekolah karena pernikahan. Kedua, mereka yang lulus sekolah dan berlanjut ke jenjang pernikahan. Anda boleh bertanya mengapa pemangku kebijakan seolah tidak terlihat batang hidungnya?

Dalam konteks pernikahan dini, tentu yang paling berwenang adalah kepala desa dan jajarannya. Jangan salah, kepala desa dan jajarannya bukan orang awam terakit pernikahan dini. Mereka tahu dan terus menyosialisasikan kepada masyarakat ihwal batasan minimum usia menikah.

Mereka memang tidak secara sistematis mengumandangkan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, tetapi secara terang benderang menyampaikan batas minimal usia menikah yang absah menurut negara.

Masyarakat tidak kehabisan akal. Pada titik tersebut menikah secara islami menjadi alternatif. Maksud menikah secara islami yakni tidak dicatat negara dan tidak mendapat surat nikah. Mereka melakukan akad yang menurut Islam sah. Naifnya, pemerintahan desa mempunyai andil di situ.

Kendati dianggap tidak resmi, kenyataannya kepala desa memberi fasilitas melalui perangkatnya. Seminim-minimnya kepala desa tahu. Sampai poin ini bisa diambil kesimpulan bahwa nikah dini tidak lain dampak dari ego orang tua. Pada kasus yang dijabarkan di atas, memang benar bahwa terdapat andil dari kehendak orang tua.

Bahasa awamnya adalah menikah karena dipaksa oleh kemauan orang tua. Tidak semata-mata kehendak si anak sendiri, tetapi ini tidak bisa dijadikan sebagai hujah untuk mutlak menyalahkan orang tua. Mereka seperti itu bukan karena tidak ada tekanan eksternal, sangat kompleks. Lebih-lebih keluarga dengan anak perempuan.

Di masyarakat desa, perempuan yang sudah cukup umur namun tak kunjung menikah adalah aib apalagi pascalulus sekolah belum juga kelihatan batang hidung jodohnya. Kemudian, orang tua merasa waswas dan takut anaknya—mohon maaf—tidak laku.

Kalau seperti ini kenyataannya, maka runyam ”dunia persilatan”. Puncaknya ketika ada lamaran masuk, relatif mudah untuk disetujui. Bahkan, anak tidak bisa memberikan suara. Hanya pada kasus-kasus tertentu anak dimintai persetujuan dan didenger aspirasinya.

Dari sudut pandang orang tua, posisi demikian adalah jalan bercabang, ambigu. Satu sisi ada dorongan eksternal yang terus menghantui. Ketakutan-ketakutan kelak anaknya tidak kunjung menemukan pasangan. Ditambah kegamangan terbawa pergaluan bebas yang pada puncaknya berakibat pada hamil di luar nikah.

Banyak yang motifnya agar orang tua segera terlepas dari tanggungan menafkahi anak. Kalau bisa giliran anak yang menghidupi orang tuanya. Di sisi lain, banyak juga yang menginginkan anak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Jamak keinginan tersebut pelan-pelan dikubur ketika tekanan eksternal lebih mendominasi. Kita pasti mengerti betapa keputusan dan tindakan-tindakan kerap tidak bisa dilepaskan dari konteks sosio-kultural yang melingkupinya. Simpelnya, lingkungan selalu membentuk pandangan dan keputusan.

Konklusinya, membicarakan persoalan nikah dini tidak bisa kita direduksi dan disederhanakan. Kita harus jujur terdapat banyak komplikasi di dalamnya. Mulai dari dorongan eksternal hingga hasrat internal seperti kemauan lepas tanggungan itu tadi. Mengapa hal terakhir ini bisa terjadi?

Jawabannya adalah persoalan ekonomi. Tidak ada jawaban lain. Ketika kita sampai pada persoalan ekonomi, apakah selesai begitu saja? Sayangnya, tidak. Lebih kompleks lagi ketika hendak dirunut hingga akarnya. Sampai pada persoalan ekonomi ini saja kepala kita sudah pasti pening.

Akhirnya, kita cukupkan bahwa persoalan nikah dini tidak sesederhana pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 16 tahun 2019, apalagi hanya berkutat pada persoalan belum cukup matang secara psikologis. Itu satu hal. tapi jangan lupa hal lain. Bangunan struktur yang lebih luas, soal kultur dan tradisi. Sekarang bisa dipahami kalau sudah menyangkut dua hal yang terakhir ini, kan?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 14 Maret 2023. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya