SOLOPOS.COM - Penutupan lokasi tambang tanah uruk di Sambi, Boyolali, sesuai kesepakatan Pemerintah Desa Demangan dan Pemerintah Desa Kepoh dengan pengusaha tambang, Selasa (17/10/2023). (Istimewa)

Konflik mengemuka antara warga dengan penambang tanah uruk di wilayah Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali. Setahun terakhir riak-riak konflik itu mengemuka beberapa kali yang bersumber dari dampak buruk pertambangan tanah uruk pada lingkungan.

Dampak buruk itu tentu saja berpangkal pada praktik pertambangan tanah uruk tersebut yang mencakup eksploitasi dan pengangkutan. Pertambangan tanah uruk itu untuk memenuhi kebutuhan proyek strategis nasional (PSN) pembangunan jalan tol Solo—Jogja.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Warga yang memprotes pertambangan tanah uruk di Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali itu sama-sama mengeluhkan dampak buruk pertambangan tanah uruk, yaitu kerusakan jalan, kerusakan saluran air, kerusakan talut jalan, dan kerusakan lingkungan lainnya.

Secara umum pertambangan tanah uruk, pasir, dan batu di mana pun berdampak pada komponen abiotik dan biotik. Dampak pada komponen abiotik adalah hilangnya lapisan tanah subur, berkurangnya ketersediaan air tanah, terjadinya tanah longsor, dan polusi udara.

Dampak pada komponen biotik adalah luas hutan atau kawasan hijau dan pertanian berkurang serta hilangnya hewan dan tumbuhan asli. Pertambangan tanah uruk juga berdampak pada sektor kultural.

Dampak pada sektor kultural itu adalah meningkatnya perekonomian masyarakat yang terkait langsung dengan pertambangan itu, menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat, dan kerusakan sarana dan prasarana jalan.

Penambang tanah uruk, pasir, dan batu sebenarnya menanggung kewajiban reklamasi. Reklamasi sebaiknya dilakukan dengan segera selama aktivitas penambangan masih berlangsung untuk mengurangi potensi terjadinya kerusakan lingkungan lebih lanjut.

Persoalannya, kewajiban menjalankan reklamasi ini jamak hanya menjadi dokumen di kertas, tapi nihil realisasi. Tahapan reklamasi seharusnya mencakup konservasi top soil, penataan lahan, pengelolaan sedimen dan pengendalian erosi, dan penanaman cover crop.

Di Kabupaten Klaten pemerintah daerah mendukung protes warga, memfasilitasi dialog antara warga dan penambang tanah uruk, dan memfasilitasi identifikasi kerusakan lingkungan yang kemudian menjadi kewajiban penambang untuk memperbaiki atau mengoreksinya.

Konflik pertambangan seperti itu semestinya tak menjadi konflik yang terus-menerus terjadi apabila konsep dan praksis penambangan belajar dari kasus-kasus penuh konflik yang terjadi sebelumnya.

Yang lebih penting lagi konsep dan praksis penambangan harus memasukkan strategi reklamasi dan perbaikan lingkungan sebagai bagian penting dari aktivitas penambangan tanah uruk, pasir, dan batu.

Proyek strategis nasional semestinya berpijak pada analisis mengenai dampak lingkungan yang disusun dengan kaidah ilmiah dan berpresisi tinggi. Analisis ini tentu saja harus mencakup aktivitas sampingan, seperti penambangan tanah uruk di Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali itu.

Keterlibatan pemerintah daerah memfasilitasi penyelesaian kerusakan lingkungan dengan mewajibkan penambang membenahi kerusakan yang terjadi harus diapresiasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya