SOLOPOS.COM - bhekti Suryani (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Presiden Joko Widodo bersemangat saat membeberkan capaian pembangunan infrastruktur selama hampir 10 tahun terakhir ketika menerima penghargaan ketahanan pangan dari International Rice Research Institute (IRRI) beberapa waktu lalu.

Ia menyebut pemerintah membangun bendungan, embung, dan jaringan irigasi. Hingga Agustus 2022 telah diresmikan 29 bendungan besar dan ditargetkan mencapai 38 bendungan hingga akhir tahun. Pemerintah juga menargetkan sampai 2024 kurang lebih 61 bendungan terbangun.

Promosi Tragedi Simon dan Asa Shin Tae-yong di Piala Asia 2023

Pemerintah saat ini memang menggencarkan pembangunan infrastruktur, tidak hanya bendungan dan irigasi. Sebanyak 36 ruas jalan tol baru sepanjang 1.587 kilometer telah diangun dan dioperasikan. Itu mencapai 63,84% dari total panjang jalan tol di Indonesia yang saat ini 2.499 kilometer.

Pemerintah masih menargetkan penambahan panjang jalan tol 538 kilometer pada akhir tahun ini. Masalahnya adalah ambisi besar pembangunan infrastruktur acapkali menimbulkan konflik perebutan lahan dan berujung ketimpangan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hingga memunculkan kemiskinan baru di daerah.

Di Jawa, konflik paling nyata berujung kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM terjadi saat pembangunan Yogyakarta International Airport (YIA) di Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan rencana penambangan batuan andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.

Dalam kasus pembangunan YIA, penolakan dilakukan warga sejak 2012 dengan melayangkan gugatan ke pengadilan. Upaya litigasi juga ditempuh warga Desa Wadas dengan menggugat perpanjangan izin penetapan lokasi pertambangan yang diteken Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, namun tak berhasil.

Advokasi nonlitigasi di tingkat akar rumput bersama masyarakat sipil lainnya juga dilakukan.. Saat ini YIA telah berdiri megah di Kabupaten Kulonprogo. Warga penolak tambang andesit di Desa Wadas juga nyaris ”kalah”.  Jumlah warga yang menolak makin menyusut.

Ratusan warga yang semula menolak penambangan mulai putus asa dan menyatakan menerima ganti rugi lahan. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyebut hingga awal November 2022 sudah 576 bidang lahan atau 92% dari lahan yang dibutuhkan telah dibebaskan setelah warga menerima ganti rugi.

Warga yang menolak pembebasan lahan untuk pertambangan batu andesit tampaknya tak punya pilihan dan kehabisan tenaga untuk melawan. Jika tak tercapai kesepakatan antara pemerintah yang diwakili tim pengadaan tanah (lokasi tambang) dengan pemilik lahan, pemerintah berhak menitipkan uang ganti rugi pembebasan lahan di pengadilan negeri atau konsinyasi.

Kita melihat “kekalahan” warga di mana-mana dalam konflik perebutan lahan oleh negara. Kekalahan dalam konteks ini adalah karena pembangunan tetap berlanjut, meski di sisi lain warga tak selamanya kalah karena nilai-nilai perjuangan dan konsolidasi gerakan mulai terbangun di akar rumput.

Negara Dominan

Mengapa negara begitu dominan dalam banyak konflik perebutan lahan sedangkan warga acapkali harus mengalah? Kekalahan ini sering kali terjadi meski reformasi 1998 telah bergulir selama hampir 25 tahun.

Reformasi telah berimbas pada penataan kelembagaan politik dan demokrasi di berbagai sektor. Ruang kritik telah dibuka, pemilihan langsung telah digelar berkali-kali, namun tetap saja persoalan HAM dan distribusi sumber daya yang adil, yang merupakan bagian integral dari demokrasi substansial (David Beetham: 2007), tidak sepenuhnya terjadi.

Demokrasi pasca-reformasi 1998 semestinya bisa mendorong kontrol populer terhadap isu-isu publik atas dasar kesetaraan politik seperti yang digambarkan David Beetham dalam Democracy and Human Right (1999).

Kontrol populer, meminjam definisi Willy Purna Samadhi dalam The Absence of Popular Control: Disorientasi Perkembangan Kapasitas Politik Kolektif Aktivitas Pro-Demokrasi Indonesia Pasca-1998 (2021), adalah kapasitas kolektif warga untuk memengaruhi perubahan di ranah publik.

Meski perlawanan dilakukan warga, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan mengapa aksi kolektif tak bisa membangun kontrol populer sebagai penyeimbang dominasi negara. Willy Purna Samadhi menyebut sejumlah penyebab lemahnya kapasitas kolektif masyarakat sipil membangun kontrol populer.

Gerakan pro demokrasi masih bersifat eksklusif dan tidak berorientasi pada politik inklusif. Aktivis gerakan pro demokrasi telah membuka partisipasi berbagai pihak untuk terlibat, namun sikap inklusif tidak ditunjukkan dengan pengorganisasian yang bersifat massa.

Para aktor demokrasi cenderung hanya menggunakan penyebaran wacana lewat media massa atau mobilisasi massa dalam aksi demonstrasi. Kecenderungan gerakan pro demokrasi lainnya acapkali hanya mengandalkan jaringan sesama mereka yang tidak berbasis pada masyarakat luas.

Ini kemudian secara tidak sadar membuat gerakan demokrasi cenderung elitis. Kelemahan lainnya adalah kecenderungan merespons isu publik secara reaktif dan hanya bersifat jangka pendek, tidak mengarah pada penyatuan gerakan yang lebih terintegrasi, terorganisasi dan berjangka panjang.

Ada beberapa hal yang diperlukan untuk membangun kontrol populer. Pertama, keaktifan warga negara. Warga yang aktif saja tidak cukup. Dibutuhkan linkage atau jaringan organisasi populer (dalam konteks ini organisasi masyarakat sipil) dengan politik.

Jaringan politik menjadi penting untuk mendesakkan agenda warga melalui saluran politik seperti partai politik, tidak hanya melalui media massa. Kedua, imanjinasi kolektif tentang demokrasi yang menyatukan berbagai agenda.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Desember 2022. Penulis adalah jurnalis dan mahasiswa pascasarjana Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya