SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Saham Zoom Video Communications Inc. anjlok sekitar 90% apabila dibandingkan dengan kondisi pada puncak pandemi Covid-19 pada Oktober 2020. Penurunan nilai saham tersebut terjadi pascapandemi.

Begitu juga dengan Facebook. Induk perusahaan platform media sosial ini, Meta Platforms Inc., meneraplan pemutusan hubungan kerja terhadap 13% karyawan. Pengumuman itu disampaikan pada 9 November 2022 oleh CEO Meta, Mark Zuckerberg.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Dua perusahaan raksasa plaform digital itu salah memprediksi perkembangan dunia digital setelah Covid-19 meluluhlantakkan tatanan kehidupan manusia modern. Manusia dianggap berada di zona nyaman dan tak lagi mau bertemu dan berkerumun secara langsung.

Digitalisasi menjadi masif dilakukan, kendati Covid-19 sudah jauh mereda. Investasi besar-besaran dilakukan untuk memenuhi hasrat itu. Ternyata prediksi tersebut keliru. Manusia justru merindukan pertemuan, persentuhan tubuh, dan bertatap muka secara langsung. Dunia musik menjadi episentrum paling dapat dibaca.

Musik Kita

Dalam satu kesempatan, Ahmad Dhani (pentolan band Dewa-19) mengutarakan bahwa untuk kali pertama konser musik akan disaksikan oleh lebih dari 70.000 penonton secara langsung.

Hal tersebut justru terjadi setelah pandemi Covid-19. Itu adalah konser Dewa-19 yang rencananya bertempat di Jakarta International Stadium, 12 November 2022. Konser itu ditunda karena kekhawatiran akan terjadi kericuhan bersumber penonton yang jumlahnya fantastis.

Konser Dewa-19 yang sedianya diadakan pada 2 Desember 2022 di Pontianak juga batal karena alasan yang sama. Kekhawatiran akan terjadi kericuhan itu disebabkan peristiwa Festival Berdendang Bergoyang di Istora Senayan Jakarta pada 28, 29, dan 31 Oktober 2022.

Acara itu dibubarkan oleh kepolisian pada hari kedua karena membeludaknya penonton yang hadir, melebihi kapasitas Istora Senayan. Di sisi lain, hampir semua pertunjukan musik juga ramai didatangi penonton.

Penjualan tiket secara online ludes hanya dalam hitungan menit, kendati tiket yang disediakan berjumlah puluhan ribu lembar. Ada pertanyaan yang cukup mendasar, kenapa harus repot-repot menonton pertunjukan musik secara langsung saat panggung musik itu dapat diringkas dalam layar handpone kita?

Bukankah karya musiknya dengan mudah kita unduh, dengarkan, dan nikmati kapan pun kita mau? Pada konteks inilah ada “dialektika” yang tidak dimiliki oleh pertunjukan musik dalam layar digital, yakni ambience atau suasana panggung pertunjukan secara nyata.

Ada semacam gejolak yang meletup, bahwa musik itu tidak hanya bunyi atau suara, namun juga pertemuan tubuh antarpenonton, meruang, dan tentu saja kebersamaan itu menjadi sebentuk komunikasi yang begitu lentur dan cair.

Suasana gemuruh teriakan penonton, suara menggelegar pengeras suara, gemerlap pencahayaan, serta mendendangkan lagu secara kompak bersama-sama adalah ekstase yang tidak mudah dilupakan, apalagi ditinggalkan.

Manusia atau lebih tepatnya penonton musik mampu menjadi diri sendiri di depan panggung musikus atau band idola. Mereka dapat menumpahkan segala perasaan, persoalan, keluh kesah, dan melampiaskannya lewat teriakan yang ternyanyikan.

Wajar kemudian di area panggung musik itu kita jumpai penonton yang tertawa bahagia, memejamkan mata, bahkan tak jarang menangis tersedu-sedu (ingat fenomena Sobat Ambyar).

Gejolak demikian tidak dapat kita jumpai dalam panggung-panggung pertunjukan virtual, ketika intimitas kesunyian dibentuk, dan pribadi soliter sangat ditekankan.

Pandemi Covid-19 seolah-olah memberi pelajaran berharga bahwa kesendirian berbalut kensunyian adalah sebuah peristiwa yang tidak saja menyebalkan, namun juga menakutkan.

Karena itulah, begitu momentum pertemuan antartubuh diperbolehkan kemudian menjadi semacam ledakan katarsis yang tak terbendung. Hal itu dirayakan secara sukacita di mana pun pertunjukan musik digelar.

Penonton Cerdas

Agaknya iklim penonton musik di Indonesia berbeda dengan negara lain (terutama negara-negara maju). Apabila kita menyaksikan sebuah konser musik di Eropa, misalnya, penonton yang datang dapat berjumlah ratusan ribu orang, di sebuah tempat terbuka (biasanya lapangan sepa kbola), namun hanya dijumpai tidak lebih dari 10 orang petugas keamanan.

Bandingkan dengan penonton pada pertandingan sepak bola, polisi yang dikerahkan cukup banyak. Hal itu terjadi karena menyaksikan pertunjukan musik berada dalam satu tujuan dan nuansa yang sama: menikmati.

Mereka mencoba mendapatkan asupan estetika dan rasa kebersamaan dalam satu forum. Sementara dalam sepak bola sebaliknya, ada dua kesebelasan yang beradu untuk meraih kemenangan, sifatnya pertandingan.

Sisi emosional lebih besar sehingga cukup riskan terjadi gesekan antarpenonton dari dua klub tersebut. Sebab itulah petugas keamanan cukup banyak yang dihadirkan. Jadi, apabila ada pertikaian dalam pergelaran musik, sebenarnya mereka tidak mengerti esensi dari pertunjukan itu.

Apa yang mereka ributkan? Siapa yang bertanding? Siapa mengalahkan siapa? Tidak ada. Dengan demikian, kecerdasan penonton menjadi mutlak diperlukan untuk dapat memisahkan esensi satu kerumunan dengan kerumunan lainnya.

Ahmad Dhani dalam sebuah acara podcast bersama Desta dan Vincent (12 November 2022) menyatakan bahwa tidak pernah ada kerusuhan penonton saat Dewa 19 manggung. Itu terjadi karena penontonnya adalah para manusia yang cerdas.

Penonton yang cerdas dibentuk dari karya musik yang cerdas (meminjam istilah Ahmad Dhani: musik intelektual). Dengan kata lain, karya musik membentuk karakter dan perilaku penontonnya.



Pernyataan itu cukup masuk akal. Coba lihat musik Dewa 19 karya Ahmad Dhani, hampir semuanya tidak picisan. Karya demikian diciptakan lewat pergulatan proses serius sehingga lirik dan bangunan harmoninya juga kompleks, namun bermutu dan enak didengarkan.

Karya musik tersebut mampu bertahan melintas waktu sehingga enak didengarkan oleh generasi paling teranyar sekalipun. Sementara banyak karya musik lain hanya hadir tanpa daya intelektual di dalamnya. Terkenal pada zamannya, namun dilupakan setelahnya.

Apalagi bila karya tersebut dibuat semata-mata untuk ekstase sesaat, dengan lirik kacangan, dan pola musikal yang asal bunyi. Penonton berjingkrak-jingkat, senggolan sedikit, langsung baku hantam.

Mereka adalah golongan penonton yang tak tercerahkan, lemah kadar intelektualitasnya, menikmati pertunjukan musik disamakan dengan melihat pertandingan sepakbola.

Oleh karena itu, pekerjaan rumah yang cukup besar, salah satunya (bagi musisi) adalah membuat karya-karya musik berkualitas, agar pribadi dan karakter penonton juga ikut berkualitas.

Hadir dalam konser musik adalah laku yang seharusnya penuh kebahagiaan, sebuah kerinduan yang ditunggu, sehingga pulang dengan hati senang dan gembira, bukan dengan wajah yang bengap babak belur.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 Desember 2022. Penulis adalah etnomusikolog dan pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya