SOLOPOS.COM - Anton A Setyawan (FOTO/Dok)

Anton A Setyawan (FOTO/Dok)

Kepala PPMB Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Peneliti Model Manajemen
Risiko Bencana Kota Solo
Kerja sama dengan AIFDR
Australian Aid

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Wacana pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Solo yang mengemuka dalam beberapa hari terakhir ini adalah sebuah fenomena menarik. Wacana ini menarik karena substansinya sama dengan hasil temuan riset yang dilakukan Pusat Studi Penelitian Pengembangan Manajemen dan Bisnis (PPMB) Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta (FE UMS) yang bekerja sama dengan Australia-Indonesia Facilities For Disaster Reduction (AIFDR) Australian Aid tentang manajemen risiko bencana di Kota Solo.
Salah satu temuan menarik dalam riset ini adalah fakta bahwa Kota Solo belum mempunyai cetak biru (master plan) manajemen risiko bencana yang mengatur perencanaan bencana dari tahap pencegahan sampai dengan tindakan pascabencana. Fakta ini tentu sangat memprihatinkan mengingat Kota Solo yang sedang berkembang menjadi simpul perekonomian di Jawa Tengah ternyata tidak mempunyai rencana antisipasi untuk mengurangi risiko bencana.
Pertanyaan pertama yang muncul terkait dengan pembentukan BPBD Kota Solo adalah apakah Kota Solo rawan bencana? Dalam dokumen Rencana Nasional Penanggulangan Bencana Alam Nasional 2010-2014 yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kota Solo termasuk kota yang rawan bencana. Jenis bencana yang berpotensi muncul di kota ini adalah kekeringan, kebakaran di kawasan pemukiman dan banjir.
Selain itu, dalam dokumen tersebut juga disebutkan bahwa kota-kota di sekitar Solo seperti Kabupaten Boyolali dan Klaten adalah wilayah dengan kerawanan bencana erupsi gunung berapi dan gempa bumi, sedangkan Kabupaten Karanganyar rawan dengan bencana erosi. Berdasarkan pengalaman erupsi Gunung Merapi, Kota Solo juga rawan dengan risiko bencana yang muncul dari wilayah sekitarnya.
Kita bisa melihat bahwa pada saat erupsi Merapi, Kota Solo menjadi tujuan pengungsi dan pasokan beberapa bahan pokok di kota ini juga tersendat karena kawasan penyangganya (Kabupaten Boyolali dan Klaten) mengalami bencana. Selama ini kita menganggap bencana sebagai sebuah kejadian force majeur yang tidak bisa dihindari. Bencana memang tidak bisa dihindari, terutama yang terkait dengan bencana alam, namun demikian dampak dari bencana tersebut bisa kita kurangi dengan menyusun sebuah manajemen risiko bencana yang baik.

Persepsi Risiko Bencana
Dalam pendalaman temuan riset yang dilakukan PPMB FE UMS dan AIFDR Australian Aid untuk mencari penjelasan mengapa manajemen risiko bencana belum menjadi hal yang dianggap penting, kami menemukan fakta menarik yaitu persepsi risiko bencana dari beberapa pengambil kebijakan di Kota Solo sangat rendah. Survei yang kami lakukan terhadap 315 pelaku usaha menunjukkan 80 persen dari mereka menganggap bencana adalah faktor yang tidak perlu diperhitungkan karena sulit diduga kemunculannya.
Selain itu dalam wawancara dan diskusi dengan pejabat Pemerintah Kota (Pemkot) Solo maupun elite politik lokal ada anggapan bahwa bencana memang perlu diantisipasi tetapi rata-rata persepsi mereka tentang bencana adalah tindakan sesudah bencana terjadi, kecuali pejabat satkorlak bencana yang cukup memahami risiko bencana.
Persepsi risiko bencana yang rendah di kalangan eksekutif, elite politik dan masyarakat ini menjelaskan mengapa BPBD Kota Solo dianggap belum perlu. Risiko bencana adalah sebuah keniscayaan atau kepastian yang tidak bisa dihindari, hanya saja kita tidak tahu kapan munculnya. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mempersiapkan diri menghadapi risiko yang pasti muncul di masa depan.
Sebenarnya jika kita melihat fakta dan data masa lalu, bencana lekat dengan perkembangan Kota Solo. Bencana alam tahunan banjir sudah menjadi tradisi di wilayah kota ini, selain itu kepadatan lingkungan perkotaan dan kawasan industri juga meningkatkan risiko kebakaran, seperti kejadian kebakaran pasar mebel Ngemplak beberapa tahun lalu.

Manajemen Risiko Bencana
Secara konsep Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mempunyai tugas menyusun dan melaksanakan atau mengoordinasikan manajemen bencana di wilayah bersangkutan. Oleh karena itu, BPBD perlu dibekali dengan sebuah cetak biru (master plan) manajemen risiko bencana.
Cetak biru ini berisi tentang konsep dan standar prosedur operasi sampai dengan petunjuk pelaksanaan tentang pengurangan risiko bencana, mulai dari langkah-langkah untuk mengantisipasi bencana (predisaster),  tanggap darurat pada saat terjadi bencana sampai dengan pemulihan kondisi atau sering disebut rehabilitasi pascabencana (postdisaster).
Cetak biru manajemen bencana dan organisasi pelaksananya adalah sebuah kebutuhan bagi kota yang berkembang menjadi simpul ekonomi seperti Kota Solo. Kita bisa becermin dari Jepang yang mempunyai perencanaan dan pelaksanaan manajemen risiko bencana terbaik. Negara itu menyadari bahwa mereka hidup di wilayah rawan bencana sehingga anak-anak sekolah sudah sangat paham dengan jalur evakuasi yang harus mereka tempuh dan mempersiapkan logistik sendiri pada saat bencana.
Hasilnya, pada saat bencana tsunami melanda negara Matahari Terbit itu, korban jiwa bisa diminimalkan dan proses pemulihan bisa dilakukan dengan cepat. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) saat ini sedang mengembangkan sebuah program desa tangguh. Program ini dimaksudkan untuk menyusun sebuah model wilayah tanggap bencana dan desa dipergunakan sebagai model karena jika wilayah desa yang kecil mampu membuat konsep dan melaksanakan manajemen risiko bencana, maka wilayah yang lebih besar seperti perkotaan sudah seharusnya juga mampu menyusun dan melaksanakan manajemen risiko bencana juga.
Dalam program desa tangguh ini disusun sebuah indikator dan kriteria yang diperlukan sebuah desa yang tanggap bencana. Sebagai langkah awal untuk menyusun BPBD, Pemkot Solo bisa mengadopsi program desa tangguh untuk menyusun manajemen risiko bencana. Langkah menyusun manajemen risiko bencana sampai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya sangat diperlukan untuk membekali BPBD.
Saat ini adalah momentum yang tepat untuk menyusun cetak biru manajemen risiko bencana dan membangun BPBD. Prinsipnya lebih baik siap sebelum kita menyesal jika bencana telanjur terjadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya