SOLOPOS.COM - Widya Ristanti (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemuda berarti orang yang masih muda. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengklasifikasikan usia muda adalah 15 tahun hingga 24 tahun.

Rentang usia di atasnya, yakni 25 tahun hingga 34 tahun, diklasifikasikan sebagai usia pekerja awal. Batasan tersebut selaras dengan klasifikasi usia produktif menurut Badan Pusat Statistik (BPS), yakni 15 tahun hingga 64 tahun.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Indonesia akan memasuki bonus demografi pada 2030. Bonus demografi menjadikan Indonesia berkelimpahan warga usia produktif. Berdasarkan data BPS 2020, penduduk berusia produktif sejumlah 140 juta jiwa atau lebih dari 50% penduduk Indonesia.

Angka tersebut tentu meningkat tajam pada 2030, bahkan pada saat itu jumlah penduduk usia produktif diperkirakan 68% dari jumlah penduduk Indonesia.

Penduduk usia produktif adalah penduduk angkatan kerja. Pada usia tersebut setiap warga diharapkan memberikan kontribusi terbaik membangun Indonesia.

Usia 15 tahun hingga 18 tahun relevan dengan usia siswa sekolah menengah atas.  Pada usia tersebut mereka masih mencari ilmu di sekolah. Kemampuan intelektual mereka diasah di jalur pendidikan. Demikian juga aspek spiritual, sosial, emosional, dan karakter.

Data Dinas Pendidikan Kota Solo menunjukkan terdapat 251 anak putus sekolah (APS) dan anak tidak sekolah (ATS) di Kota Solo (Solopos, 9 Juni 2023). Setiap kecamatan di Kota Solo menyumbang APS dan ATS berusia delapan tahun hingga 18 tahun.

Sebanyak 60% APS dan ATS tersebut tidak mau bersekolah dengan berbagai alasan. Inti alasan tersebut ialah rendahnya motivasi bersekolah. Motivasi adalah kondisi yang menggerakkan manusia ke arah suatu tujuan tertentu.

Dengan motivasi seseorang mau berbuat dan menghasilkan sesuatu karena mereka memiliki tujuan dan harapan tertentu. Bisa dikatakan APS dan ATS tidak memiliki harapan terhadap masa depan, alias pasrah dengan kondisi mereka saat ini.

APS dan ATS berkontribusi pada peningkatan kemiskinan. Penelitian Aisy dan Nailufar (2022) menemukan fakta tingkat kemiskinan berpengaruh signifikan terhadap pekerja anak.  Keduanya memiliki hubungan kausalitas.

Artinya tingkat kemiskinan dan pekerja anak berbanding lurus. Bertambahnya pekerja anak ditandai dengan peningkatan kemiskinan. Begitu pula sebaliknya.  Saat ini ada lingkaran setan yang perlu diputus, yakni warisan kemiskinan.

Kemiskinan hasil pewarisan ini pada umumnya melibatkan subjek hasil putus/tidak sekolah. Selain kemiskinan, ada lagi lingkaran setan berupa pengangguran dan kriminalitas. Penelitian Rahmi dan Adry (2018) menunjukkan secara parsial tingkat putus sekolah berpengaruh positif dan signifikan terhadap angka kriminalitas.

Kompleksitas  tersebut tidak hanya berdampak secara individual, tetapi dalam lingkup yang lebih luas akan memberikan dampak pada gambaran sosial ekonomi negara. Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka berkomitmen pada 2024 angka APS dan ATS di Kota Solo menjadi nol.

Pendidikan sangat relevan untuk menekan angka kemiskinan. Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen mengatakan pendidikan adalah indikator utama dalam menekan angka pengangguran dan kemiskinan.

Tanpa peran pendidikan, kemiskinan niscaya menjadi warisan karena kemampuan intelektual seorang individu sangat kurang untuk bersaing dengan orang lain. Standar berpikir mereka tidak berkembang.

Penumbuhan motivasi menjadi pekerjaan bersama. Keluarga punya peran besar untuk menumbuhkan hal tersebut. Hal tersebut disimpulkan dari kuesioner yang dibagikan oleh Dinas Pendidikan Kota Solo, bahwa faktor ekonomi tidak selalu menjadi penyebab  ATS dan APS di Kota Solo (Solopos, 9 Juni 2023).

Penyebab awal anak putus sekolah ialah mereka tidak diberi ruang dan perhatian oleh orang tua. Perhatian keluarga kunci meningkatkan motivasi anak bersekolah. Pemberian ruang dan waktu bagi anak untuk berbicara, bercerita, dan berbagi pengalaman mendekatkan hubungan orang tua dan anak.

Dengan demikian, orientasi anak terhadap masa depan mereka akan tercipta dan motivasi untuk mewujudkan dapat tumbuh. Sekolah juga berperan menumbuhkan motivasi bersekolah. Lebih baik seorang anak menghabiskan waktu di lingkungan sekolah daripada berada di luar sekolah.

Sekolah harus dapat menjadi tempat yang nyaman sebab di situlah siswa menghabiskan 8,5 jam waktu mereka setiap hari. Implementasi program sekolah ramah anak (SRA) yang meminimalkan perundungan, kekerasan, dan penciptaan budaya sekolah yang mendukung tumbuh kembang anak perlu dimaksimalkan.

Program pemerintah meminimalkan ATS dan APS perlu didukung semua pihak. Mari kita renungkan bersama, toh, para pendiri Indonesia juga bersekolah. Pada masa sulit tersebut,  mereka bersusah payah bersekolah hingga ke Belanda.

Jika para founding fathers negara kita tidak bersekolah, tidak kuliah, akankah Indonesia bisa merdeka dan dapat setara dengan negara-negara lain di dunia?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 September 2023. Penulis adalah guru di SMAN 5 Kota Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya