SOLOPOS.COM - Fathorrahman Hasbul, Peneliti pada Media Literacy Circle (MLC) Prodi Ilmu Komunikasi, UIN Yogyakarta

Fathorrahman Hasbul, Peneliti pada Media Literacy Circle (MLC) Prodi Ilmu Komunikasi, UIN Yogyakarta

Salah satu penyakit yang diderita bangsa ini adalah tidak adanya keluwesan untuk sama-sama menerima perbaikan atas negara secara utuh. Kasus gedung KPK merupakan kasus yang bisa dikategorisasikan dalam masalah ini. Tidak adanya ruang kesadaran secara penuh terhadap cita-cita pemberantasan korupsi, sebenarnya merupakan bagian dari modus pengkultusan terhadap negara yang terus mengakar. Kini, di tengah sempitnya ruang gedung KPK dan di tengah besarnya apresiasi publik terhadap KPK, justru Komisi III DPR RI memberikan tanda bintang, yang pesan verbalnya dapat diterjemahkan sebagai simbol tidak sepakat terhadap pembangunan gedung senilai 65 miliar tersebut.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Fenomena ini cukup jelas dipahami sebagai sebagai paradoks birokrasi. Pertanyaan dasar yang bisa diajukan adalah, benarkah Komisi III yang membidangi politik dan hukum benar-benar total mewujudkan hukum dan politik yang bermartabat? Entitas politik dan hukum di negeri ini sudah memasuki titik nadir. Suhu korupsi di semua jajaran birokrasi telah menjadi ”gaya hidup” yang sulit ditepis. Ia hadir, berkembang, dan kemudian bertahan dalam spektrum yang kuat. Artinya ikhtiar publik untuk bisa lepas dari kungkungan korupsi menjadi mimpi yang sukar diwujudkan.

Dalam pola praksisnya, jika bukan KPK yang memberangus penyakit tersebut, siapa lagi lembaga yang dinilai kuat melakukan penuntasan? Pada titik ini cara pandang DPR yang melakukan justifikasi KPK sebagai lembaga ad hoc dan tidak layak memiliki gedung sendiri merupakan logika penafsiran yang instrumental. Penafsiran parsial yang memiliki proyeksi politik daripada perbaikan berkelanjutan. Logika pragmatis adalah salah satu frame yang kini terus bergemuruh dalam memori anggota dewan. Mentalitas ini melambangkan satu tradisi elite yang masih kentara dengan kepentingan-kepentingan di luar logika umum.

Kepentingan ini antara lain, pertama, fenomena penilaian itu ibarat politik balas pantun. Selama ini KPK gencar melakukan terobosan pemberantasan korupsi di lingkungan DPR. Ini menjadi salah satu arus buruk bagi DPR yang sering kali melakukan tindak pidana korupsi. Sehingga kesuksesan KPK dalam proses pemberantasan korupsi, merupakan malapetaka bagi DPR yang dinilai kurang memiliki integritas dan nurani kejujuran. Atau dengan bahasa sederhana, nyaman bagi KPK sulit bagi DPR.

Kedua, pengingkaran terhadap politik balas budi. Jamak diketahui semua komisioner di KPK dipilih berdasarakan fit and proper test di DPR. Sehingga DPR memiliki proyeksi dan ”kebanggaan” tersendiri karena dirinya yang telah memilih semua komisioner di KPK. Sehingga ketika KPK getol melakukan pemberantasan korupsi tanpa melihat politik balas budi, niscaya ekspresi geram dan sejenisnya akan tumbuh subur di batang tubuh DPR khususnya Komisi III. Artinya kekecewaan atas dasar politik akan berimplikasi pada satu keputusan yang memiliki naluri politik juga.

Ketiga, adanya indikasi pelemahan terhadap proses kinerja KPK ke depan. Sebagai sebuah lembaga negara independen fasilitas kerja menjadi keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Gedung adalah sarana paling absah untuk menopang kinerja KPK secara komprehensif. Kuantitas pegawai yang kini mulai sesak sejatinya harus dipahami dengan logika yang wajar. Itu artinya tidak ada alasan signifikan bagi DPR untuk menolak gedung baru tersebut selama memang DPR memiliki misi menghapus korupsi di republik ini. Logika paradigmatik seperti yang dicetuskan DPR karena terikat oleh lembaga ad hoc sesungguhnya tidak bisa dipertemukan dengan logika praksis seperti pembuatan sarana gedung dan sejenisnya. Sebab keduanya memiliki satu narasi yang sama-sama luas. Antara bahasa yuridis dan kebutuhan. Sehingga pada titik tertentu jika DPR tetap ngotot memberikan tanda bintang, indikasi adanya proses pelemahan akan semakin tampak.

 

Moral politik

 

Soedjatmoko (1986) pernah menegaskan, salah satu titik vital pembangunan sebuah negara berdaulat dan berbudaya terletak pada adanya sikap elite yang berpretensi pada penalaran moral (moral reasoning). Penalaran moral tercermin dari semangat untuk membangun bangsa dan negara dalam laju dan gerak yang jujur, saling mendukung, dan memahami kegelisahan masyarakat arus bawah.

Ketika pembangunan gedung baru tersebut tidak segera terealisasi dan kemudian pada saat yang sama gerakan perbaikan justru didukung oleh masyarakat secara langsung, maka kondisi bangsa benar-benar terpuruk. Terpuruk bukan karena sikap masyarakat yang sporadis dan radikal, melainkan sikap elite yang ”berhasil” menelurkan ketidak mampuannya dalam memberikan keputusan yang  sejalan dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat.

Koin untuk KPK, seyogianya tidak hanya dipahami sebagai gerakan baru yang bemuara otokritik kepada DPR, tetapi lebih dari pada itu, ternyata suara masyarakat dalam proses menghilangkan penyakit korupsi di republik ini masih kuat. Optimisme ini hadir dengan pola gerakan yang luar biasa.

Gerakan koin semacam ini adalah gerakan demokrasi rakyat ketika demokrasi elite benar-benar tidak mencerminkan keadilan secara holistik. Ada ruang pemisah yang lebar ketika DPR tidak menjadi suara paling depan dalam proses pemberantasan korupsi di negeri ini. Keterwakilan suara rakyat melalui DPR ternyata lenyap. Sebab kepentingan rakyat selalu berdikari di atas kepentingan  segalanya.

Idealnya koin KPK adalah pola praksis dari opini publik yang selama ini berkembang. Seakan-akan elite DPR memiliki nalar nir etis dalam berpolitik. Sentrum politik sesungguhnya terletak pada logika rakyat, sehingga ketika DPR tak lagi memiliki nurani dalam menerima suara rakyat, lambang kekuasaan tidak tercermin sebagai kekuasaan yang akomodatif, melainkan bisa dimasukkan ke dalam kekuasaan disonansif. Sehingga suara rakyat yang dilambangkan dengan proses diversitas menuju kekuasaan yang memberdayakan, akhirnya menjadi kekuasaan yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. segelintir orang yang berada di Komisi III DPR RI. Sungguh ironis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya