SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Pemilihan  umum atau pemilu yang tidak bersifat personal—tidak berfokus pada figur saja—sesungguhnyalah yang terbaik bagi negeri ini. Pemilu dengan berbagai partai politik yang beraneka aliran dan ideologi.

Pemilu yang diikuti partai politik beraliran sekuler, agama, konservatif, liberal, dan sayap kiri yang lebih terlembagakan. Ini akan memicu perdebatan kebijakan yang nyata, apalagi berjalan paralel dengan budaya intelektual.

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Budaya intelektual yang ditanamkan olah akademikus dan aktivis gerakan atau organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Ini prasyarat yang penting untuk membangun demokrasi di Indonesia menuju demokrasi substantif.

Bukan hanya demokrasi prosedural. Seolah-olah berdemokrasi karena prosedur dan perangkat-perangkatnya ada, tetapi substansi berdemokrasinya tiada. Perangkat-perangkat demokrasi hanya digunakan untuk memanipulasi demokrasi itu.

Prosedur demokrasi dijalankan—pemilu dan pemilihan kepala daerah atau pilkada, tetapi pada hakikatnya tak mencapai substansi demokrasi. Keadilan tidak tegak. Hukum dimanipulasi di sana sini. Kesejahteraan rakyat hanya jadi ”komoditas” saat kampanye.

Partai politik asyik dan nyaman di bawah koalisi ”peng-peng”, koalisi penguasa dan pengusaha. Politikus—anggota DPR dan DPRD—nyaman, tidur nyenyak, makan enak selama manut pada kehendak personal penentu dan kunci di partai politik, meskipun harus mengkhianati aspirasi dan kehendak rakyat.

Publikasi tentang pemilu, bahkan juga secara umum tentang politik, sejarah, ekonomi, dan budaya di Indonesia belakangan ini sangat mengecewakan.

Peneliti senior German Institute for Global and Area Studies (GIGA) dan pengajar ilmu politik di Universitas Hamburg, Jerman, Andreas Ufen, menyebut pulikasi topik-topik itu—terutama pemilu—di Indonesia pada 1997/1998 jauh lebih menarik.

Kini publikasi politik, sejarah, ekonomi, dan budaya—yang teringkas dalam prosedur demokrasi pemilu—ditandai personalisasi yang kuat dan polarisasi yang dalam yang kemudian memunculkan debat yang didominasi cara pandang yang sederhana atau sengaja menyederhanakan.

Kondisi demikian menyebabkan demokrasi Indonesia mundur. Kualitas demokrasi Indonesia tidak akan membaik dalam waktu dekat, bahkan akan stagnan. Catatan publikasi menunjukkan demokrasi Indonesia maju pesat pada masa Presiden B.J. Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid.

Kemajuan pesat terhenti, menjadi stagnan, pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presidan Susilo Bambang Yudhoyono. Sembilan tahun terakhir, demokrasi Indonesia—menurut sejumlah sarjana dan pakar ilmu politik dalam negeri maupun dari luar negeri—malah mundur.

Regresi (kemunduran) demokrasi Indonesia itu setidaknya bisa ditinjau dari tiga aspek utama. Pertama, penyusutan ruang publik masyarakat sipil dengan mempersempit ruang kritik. Kedua, pelemahan terhadap oposisi yang menyebabkan hilangnya oposisi politik yang berkualitas.

Ketiga, pelemahan proses pemilu yang berintegritas. Pemilu dikemas sedemikian rupa sehingga hanya menjadi cara untuk mempertahankan puncak kekuasaan, bukan lagi menjadi mekanisme berdemokrasi untuk mewujudkan keadilan sosial dan penegakan hukum.

Mengamati gejala-gejala politik termutakhir menuju Pemilu 2024, saya berkesimpulan pendapat Andreas Ufen ihwal politik dan demokrasi di Indonesia yang mengecewakan memang benar adanya.

Politik dan Pemilu 2024 makin terpersonalisasi, menguatkan polarisasi, dan partai politik makin kehilangan peran substantif. Kerja-kerja partai politik menuju Pemilu 2024 tampak dominan hanya mengurusi koalisi yang bersimpul pada personal.

Publikasi tentang Pemilu 2024 dominan dengan wacana tentang elektabilitas kandidat presidan dan kandidat wakil presiden, koalisi partai politik pendukung kandidat presiden, dan sangat miskin wacana dan program yang layak diperdebatkan secara intelektual.

Ruang intelektual untuk adu program yang disediakan masyarakat akademis tak kuasa membangun narasi dominan. Langsung tenggelam oleh narasi-narasi praksis politik jangka pendek begitu acara selesai.

Politik kita hari-hari ini—juga Pemilu 2024—berjalan dengan dominasi kuasa logika waktu pendek. Segala sesuatu dihitung atau dimaknai dalam kepentingan sesaat, keperluan sesaat.

Politik yang seharusnya adalah kerja jangka panjang dan berkelanjutan, untuk membangun demokrasi sustantif: mewujudkan keadilan sosial dan penegakan hukum, dimaknai sebatas memenangi pemilu (dan pilkada).

Dorongan berpolitik hanya untuk bersaing dan task oriented, memenangi pemilu sebaga tujuan paling utama sehingga harus diraih dengan ”segala cara”, ini memunculkan tiga defisit struktural.

Pertama, loyalitas pada lembaga rendah, bahkan sangat rendah. Lembaga dalam konteks yang saya bicarakan ini bisa dimaknai sebagai negara dan bangsa dan dalam skala praksis verdemokrasi adalah partai politik.

Politikus selalu bernarasi tentang kepentingan bangsa dan negara, tentang keadilan sosial, tentang penegakan hukum, tetapi hanya mewujud pada populisme, bukan program yang substansif dan layak diperdebatkan secara intelektual.

Langkah-langkah praksis politikus dan partai politik tak berada di peta jalan yang jelas. Semua hanya demi kekuasaan, demi posisi yang memungkinkan mengakses sumber daya dengan leluasa.

Muncul kemudian fenomena yang beroposisi pada lain hari menjadi kawan koalisi. Hari lalu kawan koalisi, hari ini menjadi oposisi. Ideologi berpartai politik tiada. Partai politik tampak seragam: hanya berburu kuasa dan akses ke sumber daya, dengan segala cara.



Kedua, kepercayaan informal di antara politikus, penyelenggara negara, dan rakyat rendah. Ketiga, pengetahuan atau keterampilan institusional melemah. Proses dianggap tidak penting, bahkan tidak dipedulikan. Semua dipicu untuk persaingan.

Inilah yang memunculkan narasi-narasi populis di jagat politik kita. Narasi populis yang melenakan—bagi yang tak mampu mengkaji dan menelaah secara mendalam, narasi-narasi populis yang berorientasi jangka pendek, hanya demi menghimpun suara pemilih—yang telah terlenakan.

Partai politik—baru dan lama—tidak mengedepankan platform dan program orisinal serta inovatif demi meraih simpati rakyat yang akan berbuah dukungan suara saat hari pemungutan suara. Pengelola partai politik kini juga berlogika waktu pendek secara kafah.

Demi meraih suara signifikan untuk lolos parliamentary threshold bagi partai baru dan menambah suara bagi partai lama yang dikedepankan adalah personal, sosok populer, yang tentu didukung sumber daya cukup—banyak uang dan punya akses ke kekuasaan dan sumber daya yang dikuasai penguasa untuk menambah uang itu.

Proses berkeringat, bahkan berdarah-darah, merumuskan platform, visi dan misi, serta cita-cita besar untuk bangsa dan negara yang pasti akan menghimpun dukungan suara rakyat sama sekali tidak penting.

Kredo berpolitik dengan proses yang panjang dan berkeringat hingga basah kuyup ala kaum muda pendiri bangsa, seperti Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Aidit, Muso, Soetomo, Soedirman, Ciptomangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, dan lain-lain tidak menjadi teladan berpolitik.

Proses yang mereka jalani, yang mematangkan diri, yang menjadi dikenal rakyat, yang mengakar kuat di tengah rakyat, kalah dengan logika waktu pendek: cara instan dan praktis meraih kuasa secepat-cepatnya.

Basisnya popularitas yang diukur dengan angka elektabilitas. Kerangka kerjanya populisme. Rekam jejak, etika politik, kepatutan diabaikan.

Demi kekuasaan, dengan logika waku pendek, hukum bukan ditegakkan, tetapi dimanipulasi agar melapangkan jalan menuju kursi kekuasaan. Kemajuan negeri ini jelas tidak akan terwujud dengan logika waktu pendek.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 Oktober 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya