SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com. SOLO – Memasuki  malam-malam 10 hari terakhir Ramadan, umat Islam lazim beriktikaf di masjid atau musala untuk menyambut lailatulqadar. Sembari berkhalwat, para muktakif mengharapkan berkah, pahala, dan ampunan Allah  pada malam istimewa yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan itu.

Lailatulqadar adalah malam ketika Allah SWT kali pertama menurunkan wahyu (ayat-ayat awal) Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW. Kaum muslim meyakini lailatulqadar selalu datang tiap pengujung Ramadan betapa pun hari H-nya tetap misterius.

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Beberapa hadis menyebut ciri-cirinya, misalnya langit cerah, angin berembus lembut, matahari tampak seperti bulan, suhu udara siang hari tak panas dan tak dingin. Mengapa rahasia lailatulqadar selalu dikaitkan dengan tanda-tanda alam?

Mungkinkah lantaran malam seribu bulan itu memuat pesan atau kode ilahiah terkait realitas kosmos? Dengan rendah hati, saya menyetujui anggapan tersebut. Bahwa kemuliaan manusia di depan Sang Pencipa mengandaikan kualitas relasi dengan alam semesta.

Realitas kosmos, meminjam Sayyed Hossein Nasr (1989),  adalah wahyu primordial yang memiliki neksus batin dan pengetahuan  suci  yang bersumber dari Realitas Tertinggi. Karena itu, rasanya relevan bila kaum muslim memanfaatkan momentum iktikaf untuk menyegarkan kembali kesadaran tentang kosmos.

Kesadaran kosmos dalam relasi manusia—alam semesta—Tuhan pada konteks modern tidak lain adalah sains. Sains yang tidak bebas nilai. Seperti semua mafhum, tatanan global saat ini dibangun di atas sains Barat yang bebas nilai.

Di satu sisi sains memiliki andil sangat besar dan positif dalam membangun peradaban manusia. Di sisi lain, sains bebas nilai juga merupakan biang dari krisis etika-moral, ekologis, dan kemanusiaan dalam tatanan global saat ini.

Wahyu Primordial

Kesadaran kosmos adalah pengetahuan tentang realitas dan hakikat penciptaan alam semesta. Bahwa tidak satu peristiwa penciptaan pun di jagat raya ini terjadi dengan sendirinya melainkan memiliki tujuan jelas serta berlangsung dalam sistem yang sangat sempurna sebagai wujud kehendak entitas tunggal: Allah.

Studi kosmologi mengonfirmasi bahwa mekanisme kosmos bekerja dalam suatu sistem super kompleks dengan ketelitian sangat tinggi terutama karena didukung banyak tetapan yang saling berkelindan sedemikian rupa sehingga, seperti pernah disimulasikan sejumlah ilmuwan, dengan mengubah sedikit tetapan gravitasi pada realitas kosmos, umpamanya, alam semesta hanya akan berusia 100.00 tahun (dihitung sejak big bang).

Rentang waktu tersebut, seperti pernah diungkapkan Karlina Supelli di Teater Salihara, 18 Juni 2016,  mustahil bagi mekanisme kosmos untuk melahirkan alam semesta sesempurna sekarang. Sistem kosmoslah yang memungkinkan bumi (berusia 4,5 miliar tahun) kini ada.

Planet biru ini telah melahirkan kehidupan paling fenomenal di jagat raya: peradaban manusia! Manusia pertama, Adam, diperkirakan hidup pada 70.000 tahun silam. Konon, kehadiran tiba-tiba manusia ini bikin gemas Nicolaus Copernicus dengan berseloroh: Siapa sih manusia? Tidak ada di pusat kosmos!

Meskipun paling junior dalam sistem kosmos, manusia memiliki keunggulan ”primordial”. Dalam pandangan Islam, manusia pertama diciptakan dari tanah. Sementara secara sains, tanah (bumi) memiliki hampir semua unsur yang ada di jagat raya, seperti oksigen, silikon, aluminium, besi, kalsium, natrium, magnesium, air, kalium dan seterusnya.

Manusia diyakini sebagai mikrokosmos dari jagat raya. Peradaban-peradaban besar memiliki pandangan yang kurang lebih sama. Dalam budaya Jawa, misalnya, konsep mikrokosmos dikenal dengan istilah hamemayu hayuning bawana.

Al-Qur’an menjelaskan keberadaan manusia melalui beberapa fragmen, antara lain, Adam diciptakan dari saripati tanah (QS Al Mu’minun: 12); manusia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk  (QS Al Mu’minun: 14; At Tin: 4); bumi tempat menetap manusia (QS Ghaafir: 64). Atribusi manusia sebagai  mikrokosmos tersirat pada penunjukan Adam sebagai khalifah di muka bumi (QS Al Baqarah: 30).

Kutipan wahyu itu seolah-olah mengonfirmasi agenda paripurna sistem kosmos adalah ”melahirkan” manusia, bahkan makhluk ini digadang-gadang Tuhan untuk dapat menjelaskan identitas diri-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi Allah berfirman,”Aku pada mulanya adalah aset tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun mengenali-Ku?”

Adam terbukti menjadi juru bicara Allah karena tidak ada makhluk bumi yang melampaui kemampuan linguistik dan berpikir logis sebaik manusia. Adam selayaknya dibaca sebagai entitas biologis yang  sejak awal hidup di bumi alias merupakan bagian tak terpisahkan dari mekanisme kosmos—wujud kehendak Ilahi.

Dalam konteks itu, pandangan Yuval Noah Harari (2017) tentang Homo sapiens,  satu-satunya spesies di bumi yang berhasil melampaui revolusi kognitif pada 70.000 tahun silam, yang memungkinkan mereka dapat berbahasa dengan baik, dapat dipinjam sebagai kacamata analisis untuk memahami skenario Tuhan dalam menghadirkan manusia pada tatanan kosmos ini.

Dalam logika sederhana, pertanyaannya: di mana signifikansi (kepentingan Allah) untuk menghadirkan Adam dari surga ke bumi sementara mekanisme kosmos adalah sistem ilahiah yang sangat sempurna—teratur, pasti, tanpa cacat sedikit pun dan berkelanjutan?

Problemnya tidak sesederhana itu. Mayoritas kaum muslim, seperti juga agama-agama monoteistik, meyakini Adam diciptakan di surga. Pandangan semacam itu umumnya lahir dari pembacaan literal-tekstualistik kitab suci.

Apa pun pandangan iman kita rasanya tidak elok bila meremehkan kesempurnaan sistem kosmologi yang, untuk sementara, kita sebut sebagai sunatullah itu. Bolehkah manusia beriman menolak sunnatullah–walau sebagian?

Ini bukan semata-mata tentang Adam didatangkan dari surga atau produk kosmos di bumi, tetapi berkaitan dengan tugas para intelektual untuk membangun epistemologi komprehensif yang mampu melahirkan sains yang sekaligus dapat diterima nalar iman.

Sains Berbasis Wahyu

Sains Barat selama ini memang tidak sempurna. Masalahnya, dunia Islam tidak menawarkan argumen alternatif secara memadai terhadap teori-teori sains mapan. Dunia Islam tak mengenal dikotomi ilmu dan keyakinan/tauhid. Sains dalam Islam tidak bebas nilai.

Untuk suatu ihktiar panjang menghadirkan sains yang tidak bebas nilai itu, pada era modern, Kuntowijoyo tak dapat dipandang remeh. Ia manawarkan metode integrasi sains dan wahyu (Al-Qur’an).

Gagasan yang sekaligus mengoreksi ide islamisasi sains Ismail Al Faruqi itu mampu merangsang banyak sarjana untuk mengembangkan model-model teoretis dan metodologis yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman ke dalam ilmu pengetahuan modern (ilmu sosial, sains alam, dan teknologi), paling tidak dalam beberapa dekade lalu.



Belakangan, gagasan senada dikembangkan Agus Purwanto—guru besar bidang fisika teori Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya— melalui ide sains berbasis wahyu. Melalui dua bukunya, Ayat-ayat Semesta (2008) dan Nalar Ayat-ayat Semesta (2015), ia menawarkan pendekatan analisis teks (wahyu) terkait ayat-ayat semesta dalam Al-Qur’an yang dalam catatannya berjumlah 800 ayat/konteks.

Pendekatan ini lalu diperkuat dengan observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena alam. Tak diragukan, Al-Qur’an memuat sangat banyak ayat tentang fenomena kosmos, selain perintah kepada manusia untuk menggunakan akalnya. Allah bahkan kerap bersumpah atas nama makhluk-makhluk ciptaan-Nya seperti matahari, bulan, waktu, gunung, dan seterusnya.

Al-Qur’an, dengan demikian,  memiliki sistem gagasan tentang kesadaran kosmos yang sangat kaya. Inilah saatnya bagi dunia Islam menawarkan sains berbasis wahyu demi tata kelola dunia yang selaras dengan khazanah kosmos. Bukankah Islam adalah agama rahmatan lil”alamin?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 April 2023. Penulis adalah peminat kajian Islam dan sains, kader Muhammadiyah, dan tinggal di Lasem, Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya