SOLOPOS.COM - Mariyana Ricky P.D. (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Perempuan  hampir selalu menjadi korban kekerasan karena budaya dan nilai-nilai masyarakat Indonesia yang dibentuk oleh kekuatan patriarki. Secara kultural laki-laki menjadi penentu kehidupan.

Kekerasan terhadap perempuan pada umumnya terjadi melalui konsep kontrol atas diri perempuan; terhadap pribadi, kelembagaan, simbolis, dan materi. Ketika hubungan antarjenis kelamin dikonstruksikan melalui hubungan dominasi-subordinasi maka perempuan berposisi sebagai pihak yang diatur oleh laki-laki.

Promosi Championship Series, Format Aneh di Liga 1 2023/2024

Bangunan relasi ini bekerja melalui seluruh sistem sosial yang lantas melahirkan identitas gender yang membedakan laki-laki dan perempuan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia sepanjang 2022.

Jumlah tersebut meningkat 15,2% daripada tahun sebelumnya yang sebanyak 21.753 kasus. Menurut usia, 30,3% perempuan yang menjadi korban kekerasan berusia 25 tahun hingga 44 tahun. Sebanyak 30% perempuan yang menjadi korban kekerasan berusia 13 tahun hingga 17 tahun.

Dilihat dari tempat kejadian, 58,1% kekerasan terhadap perempuan terjadi di lingkup rumah tangga. Sebanyak 24,9% kekerasan terhadap perempuan terjadi di tempat lainnya.

Ditinjau dari provinsi, jumlah perempuan korban kekerasan paling banyak di Jawa Timur, yakni 2.136 orang. Kemudian di Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan jumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan berturut-turut 2.111 orang dan 1.819 orang.

Antara memberitakan Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Eni Widiyanti mengatakan masih ada masyarakat yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga wajar terjadi.

Sering kali perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT menganggap perlakuan KDRT yang dia terima adalah hal yang wajar. Seorang istri merasa pantas dipukul oleh suaminya.

Pemikiran seperti itu akhirnya menyebabkan banyak korban KDRT tidak melaporkan kasus ke pihak yang berwenang. Kasus berakhir damai. Pelaku dimaafkan. Alasan mereka berdamai, antara lain, menjaga keharmonisan keluarga, beban anak, hingga stigma KDRT adalah aib keluarga.

Banyak perempuan yang sering tergantung secara finansial dan ekonomi kepada laki-laki pelaku KDRT sehingga membuat mereka bertahan. Menurut Eni, upaya mencegah KDRT  penting untuk menyasar akar masalahnya, yakni budaya patriarki.

Tatanan patriarki inilah yang menyebabkan perempuan menjadi subordinat, termarginalkan, dan mendapatkan ketidakadilan. Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun 1992 Komite CEDAW) menjelaskan kekerasan berbasis gender adalah berbagai bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual, yang terjadi yang berakar pada perbedaan berbasis gender dan jenis kelamin yang sangat kuat di dalam masyarakat.

Bentuk-bentuk kekerasan yang tertuang di Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah kekerasan fisik (Pasal 6), kekerasan psikis (Pasal 7), kekerasan seksual (Pasal 8), dan penelantaran rumah tangga (Pasal 9). Menemukan dan mengenali KDRT adalah langkah krusial pertama sebelum beranjak ke langkah berikutnya.

Apabila seseorang merasa mendapatkan kekerasan jenis apa pun dalam rumah tangga, langkah berikutnya adalah meminta bantuan orang terdekat. Orang itu bisa saja teman, keluarga, tetangga, atau sosok lain yang dipercaya bisa memvalidasi perilaku kekerasan tersebut.

Langkah kedua ini langkah yang butuh keberanian untuk kemudian meminta dukungan ke langkah berikutnya, yakni pelaporan. Pelaporan kasus erat kaitannya dengan kepercayaan di masyarakat bahwa akan ada tindak lanjut pada laporan yang dibuat.

Pelaporan ini juga erat kaitannya dengan ke mana melaporkan, termasuk kehadiran lembaga-lembaga layanan yang terjangkau, selain kemudahan untuk melaporkan kasus tersebut. Sebagian di antara kita bisa saja beruntung tak menjadi korban KDRT, namun di sekitar kita bisa ada korban maupun calon korban.

Empati dibutuhkan agar bisa mencegah munculnya korban baru atau mencegah kekerasan yang kian berlarut. Kita adalah pendamping itu. Validasi perasaan korban KDRT, dampingi mereka, dan ajaklah melapor ke kepolisian atau pengada layanan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 8 September 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya