SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Lima tahun lalu saya pernah menulis di halaman opini Solopos berjudul Mengisi Celah yang Kosong, yaitu pada edisi 23 Mei 2019. Saya berharap waktu itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang terpilih untuk kali kedua kembali pada karakter aslinya dalam berpolitik, yaitu maverick.

Presiden yang mampu menerobos kebuntuan-kebuntuan dalam mengambil kebijakan. Jalan maverick yang ditempuh pasti penuh penerobosan norma-norma tradisi untuk penemuan kebaruan.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Harapan saya waktu itu tidak hanya terbatas pada pembangunan infrastruktur, tetapi juga masalah penuntasan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu dan pemberantasan korupsi. Dua hal yang makin hilang pada periode kedua pemerintahannya.

Sekarang Presiden Joko Widodo menempuh jalan maverick lainnya dalam ziarah politik. Dimulai dengan keinginan menjabat tiga periode dan memperpanjang masa jabatan sampai menunda pemilihan umum (pemilu), ia terus menjatuhkan kartu-kartu politik untuk memberi jalan bagi dirinya mencapai tujuan.

Ketika jalan-jalan itu tidak bisa dilewati, ia mampu menyembunyikan nafsu purba untuk terus berkuasa dengan mengajukan putranya menjadi calon wakil presiden yang berkontestasi dalam Pemilu 2024 berpasangan dengan calon presiden Prabowo Subianto.

Sebagaimana kita ketahui bersama, Presiden Jokowi menerobos jalan yang tertutup karena usia putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, belum mencukupi menjadi calon wakil presiden dengan proses uji materi Undang-undang Pemilu di Mahkamah Konstitusi yang diketuai adik iparnya sekaligus paman Gibran. Hasilnya: jalan yang tertutup tadi bisa terbuka.

Perjalanan politik Jokowi memang demikian. Dimulai dari tidak ada jalan. Jokowi sebagaimana dikenal orang hanya pengusaha mebel. Jokowi meniti karier politik sampai pada puncak sebagai presiden dengan jalan berulang-ulang sehingga terciptalah jalan. Saya analogikan jalan yang berulang-ulang itu pemilu.

Jokowi ingin mencoba jalan yang tidak ada tadi, kemudian dia lewati sendiri sehingga terbentuklah jalan untuk dilalui anak sulungnya. Hasilnya: sukses besar. Hitung cepat menunjukkan pasangan Prabowo-Gibran menang mutlak hanya dalam satu putaran. Walakin, kita tahu bahwa kemenangan itu penuh dengan cacat secara etika.

Mengapa Presiden Jokowi menempuh jalan maverick pada akhir masa jabatannya? Pertama, ia  ingin pembangunan dilanjutkan, artinya presiden penggantinya tidak mulai dari nol untuk merengkuh cita-cita Indonesia Emas 2045.

Hal inilah yang menyebabkan Jokowi cawe-cawe dan tidak netral dalam Pemilu 2024. Meskipun ketidaknetralan berulang kali dia bantah, Presiden Jokowi tetap menggunakan kekuatan sebagai petahana untuk cawe-cawe.

Dengan kedudukan sebagai presiden, Jokowi mencairkan bantuan sosial senilai hampir Rp500 triliun, menaikkan gaji aparatur sipil negara, polisi, dan tentara, serta merapel kenaikan gaji untuk para pensiunan selama tiga bulan.

Efeknya memang luar biasa. Cawe-cawe berhasil membuka jalan yang mustahil dilakukan para politikus di negeri ini: putra sulungnya menjadi calon wakil presiden (terpilih).

Kedua, Presiden Jokowi ingin seperti politikus lainnya yang merintis jalan politik dinasti bagi keturunannya. Setelah sembilan tahun berkuasa, saya masih berpikir Presiden Jokowi akan memilih akhir softlanding saat lengser dari jabatan presiden.

Ia akan disambut masyarakat Kota Solo di Jl. Slamet Riyadi saat dia menyelesaikan jabatan sebagai presiden. Setelah penetapan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90—tentang perubahan batas minimal usia calon presiden/calon wakil presiden—pikiran saya berubah.

Jokowi yang dahulu pemimpin populis, pada masa akhir jabatan sebagai presiden berubah menjadi pemimpin yang pikirannya hanya berkuasa secara terus-menerus, tidak tergantikan, demi mencapai tujuan Indonesia Emas 2045.

Salah satu cita-citanya sudah tercapai: Gibran Rakabuming Raka melesat dengan cepat melewati karier politikus seangkatannya menjadi calon wakil presiden (terpilih). Ada cita-cita yang saat ini belum jelas kesampaian atau tidak. Jargon PSI Menang Pasti Menang belum menemukan jalan terang. Masih gelap.

Perolehan suara Partasi Solidaritas Indonesia (PSI) secara nasional hanya 2,54%. Tentu ini sedikit menunda rencana untuk anak bungsunya Kaesang Pangarep yang saat ini merintis karier sebagai ketua umum partai politik itu.

Saya membayangkan PSI masuk parlemen—lolos parliamentary threshold Pemilu 2024—dan berkinerja baik. Posisi gubernur DKI Jakarta pasti akan dia incar. Tampaknya Kaesang kali ini harus berjibaku membuka jalan politiknya sendiri.

Ketiga, untuk melanggengkan politik dinasti, Presiden Jokowi tidak memiliki kendaraan politik. Meskipun Jokowi merupakan politikus yang dicintai rakyat, jalan dia mencapai kedudukan presiden tergantung pada partai politik, pendukung utamanya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Jokowi bukan ketua umum partai politik. Dalam perspektif saya, Jokowi hanyalah bagian klik politik yang harus selalu mencari peluang dan pegangan agar karier politiknya tidak mandek.

Saya menduga oleh karena terlalu sering diremehkan sebagai petugas partai politik, Jokowi kemudian memainkan kartu klik politiknya. Jokowi tahu benar dia hanya bisa memainkan kartu klik politik ini dengan baik hanya pada saat menjabat sebagai presiden.

Dalam jabatan presiden dia bisa menggerakkan aparat negara, bahkan menggunakan anggaran negara demi mencapai tujuan elektoral dan mengubah opini publik. Usaha Jokowi memiliki kendaraan politik sendiri dimulai sejak tahun 2021 ketika ada kisruh Partai Demokrat antara Agus Harimurti Yudhoyono dan Moeldoko.

Dua orang ini sekarang niscaya akan sering bertemu dalam sidang kabinet. Saya menduga–dengan sangat kuat—Presiden Jokowi ada di belakang Moeldoko dalam strategi mengakuisisi Partai Demokrat tersebut.

Usaha lainnya adalah mencoba melengserkan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya (Golkar) melalui Agung Laksono (anggota Dewan Pertimbangan Presiden) dan Luhut Binsar Pandjaitan (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi). Dua usaha ini akhirnya gagal.



Perlu diingat juga usaha Jokowi menguasai partai politik setelah kemenangan Prabowo-Gibran bisa terus berjalan, terutama pada Partai Golkar, karena Gibran sebagai calon wakil presiden terpilih sudah menjadi kader partai beringin itu meskipun belum terang-terangan.

Pemilu 2024 telah dimenangi Jokowi, namun sampai hari ini belum kita melihat sejumput optimisme mencapai Indonesia Emas 2045. Rakyat malah disuguhi harga beras dan kebutuhan pokok lainnya makin mahal, meskipun bisa diberi rasionalitas dekat Ramadan dan Lebaran atau menyalahkan krisis iklim.

Demokrasi yang diperjuangkan sejak 1998 terus mengalami korosi karena perilaku orang-orang yang terpilih melalui pesta demokrasi. Sebagai seorang maverick, Jokowi benar-benar korea murni, korea 100%.

Ia tahu segala tindakannya itu salah dan menjengkelkan banyak pihak. Dengan semangat korea yang tidak pernah padam, Jokowi sadar dirinya adalah mahakuasa karena tahu orang jengkel tersebut tidak akan pernah mampu mengendalikan dirinya.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 Maret 2024. Penulis adalah editor buku yang tinggal di Kota Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya