SOLOPOS.COM - Widya Ristanti (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Manusia adalah pemain peran. Di panggung kehidupan, seorang manusia harus dapat memerankan sebuah karakter dengan baik. Teori  tentang pemeranan ini disebut dengan dramaturgi.

Erving Goffman dalam buku Presentation of Self in Everyday Life mengemukakan dramaturgi sebagai representasi dua sisi. Sisi pertama disebut dengan front stage, yakni segala bagian yang dimunculkan di panggung depan.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Pada sisi ini segala hal dapat dimanipulasi agar penonton (baca: orang lain) mengetahui karakter dan peran yang ditampilkan. Dengan istilah yang lebih singkat, orang lain “dipaksa” melihat hal yang tampak di depan mata saja.

Pencitraan menjadi hal yang lazim dalam front stage ini. Penyajian terbaik di panggunglah yang disuguhkan. Muka pemain dipoles sedemikian rupa agar tampak rupawan. Gestur, mimik, dan nada suara diatur sedemikian rupa agar karakter yang diperankan dapat dipahami oleh orang lain.

Lain halnya dengan sisi backstage. Sisi ini murni menjadi milik sang pemain peran. Pada bagian ini seorang pemain peran tidak terikat oleh tokoh yang dipentaskan di panggung. Sebagai seorang manusia pada umumnya, ia bebas menjadi dirinya sendiri.

Tentu saja dengan segala sifat dan kebiasaannya. Ia tidak lagi dituntut menjadi seorang ahli peran. Profesi guru juga tidak terlepas dari dramaturgi. Front stage seorang guru ialah ruang kelas. Adapun pementasan yang dilakukan guru berupa proses belajar-mengajar.

Ketika menjalankan peran tersebut, guru harus mampu berperan menjadi pengajar dan pendidik. Ia dituntut mampu mengelola pembelajaran sekaligus membina karakter siswa. Penonton dalam pementasan tersebut ialah siswa.

Interaksi antara pemain peran (guru) dan penonton (siswa) merupakan skenario dalam pementasan. Pementasan tersebut dikatakan sukses ketika guru mampu memainkan peran dengan baik.

Pada saat itu, guru dan siswa berada pada interaksi asosiatif yang di dalamnya terdapat kerja sama, akomodasi, dan asimilasi. Selepas peran guru selesai dijalankan dan tidak ada penonton, guru bebas menjadi dirinya sendiri. Kembali menjadi orang biasa dengan segala sifatnya.

Pada era kiwari segala sesuatu serasa berada di tabung kaca. Semua orang dapat menonton tanpa terhalang apa pun. Tabung kaca ini diidentikkan dengan media sosial. Tak terkecuali pula dengan front stage guru.

Pementasan guru dapat dilihat jika diunggah ke tabung kaca sebagai konten. Konsekuensi logisnya ialah orang lain di luar front stage dapat menyaksikan pementasan di ruang kelas tersebut.

Lazimnya segala hal yang dimunculkan dalam dunia maya merupakan konten yang sudah dipoles sesuai tujuan yang diharapkan. Motivasi tersebutlah yang menjadi penggerak bagi seseorang untuk melakukan sesuatu dalam keadaan sadar.

Jika kita berselancar di dunia maya, konten pendidikan amat mudah ditemukan. Semua berseliweran baik di aneka platform media sosial. Konten dengan latar belakang aktivitas pembelajaran di kelas hingga tutorial edukatif dapat dijumpai dengan hanya menggerakkan jari.

Konten-konten edukatif tersebut dapat dijadikan inspirasi guru untuk mengembangkan proses pembelajaran di kelas. Tak jarang pula kita  jumpai konten guru yang justru kebablasan dengan menayangkan konten backstage menggunakan kostum front stage. 

Sebagai contoh ialah konten guru yang sedang menari. Visualisasi yang muncul dalam konten tersebut ialah seorang atau beberapa perempuan berseragam Korpri, berwarna khaki, atau seragam PGRI yang cukup ketat melilit tubuh mereka.

Mereka menari diiringi potongan lagu yang sedang viral. Secara langsung interpretasi penonton video tersebut akan digiring pada generalisasi bahwa subjek yang sedang menari tersebut merupakan guru.

Pembatasan Kebebasan

Hal tersebut tercermin dari penggunaan seragam dan diperkuat latar belakang video, yakni di lingkungan sekolah. Seni memang erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi. Hal tersebut merupakan hak setiap warga negara dan dilindungi kontitusi.

Pasal 28 E UUD 1945 (hasil amendemen) menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.Rupanya kata “pendapat” dalam konteks tersebut telah mengalami perluasan makna.

Kamus Besar Bahasa Indoensia mengartikan pendapat ialah pikiran atau anggapan. Dalam perkembangan saat ini, pendapat tidak lagi berwujud kata atau ucapan saja,. Pendapat dapat diekspresikan melalui karya seni.

Walaupun kebebasan berekspresi dilindungi undang-undang, benarkah ekspresi seni bebas norma? Prinsip Siracusa yang diputuskan pada kolokium ahli hukum internasional pada 1984 mengizinkan pembatasan terhadap derogable rights.

Derogable rights adalah hak-hak yang tercakup dalam hak sipil dan politik yang tidak bersifat absolut yang boleh dikurangi pemenuhannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa hak bisa ditunda, dibatasi, dan dikurangi, namun bukan dicabut.

Salah satu derogable rights ialah kebebasan berpendapat dan berekspresi. Jadi, dengan adanya prinsip tersebut, ekspresi seni sebagai hak asasi manusia dibatasi oleh hal-hal lain seperti norma dan etika.

Kekhawatiran mengemuka ketika menyaksikan konten video yang dikemas dalam unsur seni tersebut  Pertama, masyarakat akan memahami stigma berkaitan dengan seragam yang digunakan dalam video tersebut.

Pandangan miring berkaitan dengan generalisasi bahwa profesi guru dapat  disamakan dengan profesi lain yang diperbolehkan menggunakan baju ketat, menonjolkan lekuk tubuh, dan mengeksploitasi keseksian.



Kedua, gerak merupakan medium utama dalam seni tari. Gerak tari memiliki variasi yang sangat banyak, mulai dari gemulai hingga rancak yang cenderung lincah atau seksi. Perbedaan tersebut dapat dirasakan ketika kita membandingkan gerak rancak penari jaipong dan penari Melayu.

Imaji yang tercipta di alam bawah sadar penonton jauh berbeda ketika membandingkan ragam gerak kedua tari tersebut. Berkaitan dengan ragam gerak dalam konten video tersebut, imaji penonton akan digiring pada sebuah keseksian seorang guru.

Lenggak-lenggok pinggul sang guru tentu dapat membangkitkan imaji liar penonton. Ketiga, guru merupakan suri teladan bagi siswa. Ada peribahasa berkaitan dengan hal tersebut. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Secuil contoh buruk yang diberikan oleh seorang guru akan diinterpretasi lebih jauh oleh siswa. Peribahasa tersebut mengungkapkan bahwa seorang murid merupakan peniru andal dan jauh melebihi gurunya.

Apabila hal yang ditiru berupa sikap dan nilai positif dari guru, hal tersebut akan menjadi suatu hal inspiratif. Bagaimana jika hal yang ditiru contoh negatif dari guru? Guru merupakan profesi yang mulia.

Janganlah kemuliaan itu ternodai dengan konten-konten yang dapat menurunkan martabat guru. Guru profesional ialah guru yang sadar dan  mampu melaksanakan tanggung jawab pedagogik dan profesional, serta memiliki kompetensi kepribadian serta sosial yang baik.

Salah satu tanggung jawab sosial itu ialah ia harus menjunjung muruah sebagai guru di masyarakat. Kalau seorang guru ingin membuat konten tari yang sedang viral dengan gerak yang seksi, ya silakan saja, namun lepaskanlah kostum frontstage-mu.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 31 Januari 2024. Penulis adalah guru Bahasa Indonesia di SMAN 5 Kota Solo, Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya