SOLOPOS.COM - Henrico Fajar Kristiarji Wibowo (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Pada  November 2019 saya diminta oleh salah seorang kader kesehatan di salah satu desa di lereng Gunung Merapi wilayah Kabupaten Boyolali untuk menyampaikan penyuluhan tentang pendidikan seksualitas kepada remaja.

Acara bertempat di salah satu rumah warga dan diikuti 30 remaja perempuan dan laki-laki. Pertemuan berlangsung dengan lancar. Tak berselang lama, saya terkejut saat melihat hampir semua remaja laki-laki yang hadir dalam pertemuan itu merokok.

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Seketika ruangan dengan ukuran empat meter kali enam meter itu dipenuhi asap rokok yang mengepul hingga membuat tidak nyaman saat menghirup napas. Data Global Adult Tobacco Survey atau GATS (2021) menunjukkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan prevalensi merokok tertinggi di dunia.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 juga menunjukkan prevalensi merokok pada usia 10 tahun hingga 18 tahun sebesar 9,1%. Angka tersebut masih jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebesar 8,7% pada 2024.

Tren penggunaan rokok elektronik berdasarkan data GATS (2021) juga meningkat signifikan sebesar 10 kali lipat, dari 0,3% (480.000) pada 2011 menjadi 3,0% (6,6 juta) pada 2021. Perusahaan rokok sengaja menyasar anak dan remaja sebagai target konsumen pemula untuk melanggengkan bisnis mereka.

Industri rokok sangat masif berpromosi sedemikian rupa dengan memasang iklan di berbagai media, baik media cetak, media dalam dan luar ruang, serta media digital. Terdapat studi yang menemukan bahwa iklan, promosi, dan sponsor rokok menjadi faktor pendorong anak yang mencoba berhenti merokok berperilaku merokok kembali.

Hal ini disebabkan iklan dan promosi rokok dikemas kreatif dengan memasukkan konten dan tema yang memberikan citra keren, seperti petualangan, nasionalisme, keindahan alam, hingga gaya hidup kekinian yang disesuaikan dengan jiwa anak muda.

Hal tersebut menarik perhatian dan rasa penasaran, terlebih di kalangan remaja yang sedang berada pada fase ingin mengetahui banyak hal. Masifnya iklan rokok mengakibatkan perilaku merokok dianggap wajar, bahkan dibiarkan.

Rokok termasuk barang legal, namun rokok bukanlah barang normal. Saat ini sedang tren rokok elektronik yang diklaim tidak lebih berbahaya daripada rokok konvensional dengan varian rasa yang beragam yang banyak menarik konsumen muda, termasuk kalangan perempuan.

Rokok konvensional dan elektronik memiliki bahaya yang sama. Begitulah industri rokok melancarkan aksi meracuni generasi muda kita sehingga mereka mendapatkan keuntungan penjualan yang berlipat-lipat.

Rokok menjadi ancaman yang serius bagi generasi muda Indonesia. Rokok tidak hanya berbahaya bagi konsumennya (perokok aktif), tetapi juga bagi orang lain di sekitarnya yang terpapar (perokok pasif), termasuk anak-anak.

Rokok mengakibatkan konsekuensi negatif secara multidimensi, dari sisi kesehatan termasuk stunting, kemiskinan keluarga, kesejahteraan, lingkungan, dan menjadi beban negara secara nasional. Indonesia memerlukan momentum perubahan untuk mengendalikan salah satu racun bagi generasi muda ini.

Tahun ini Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN) ke-39 dengan tema Anak Terlindungi, Indonesia Maju. Hari Anak Nasional diperingati setiap 23 Juli. Peringatan ini seharusnya menjadi pengingat untuk kita semua agar lebih menghormati, melindungi, dan memenuhi hak anak sebagai generasi penerus bangsa.

Upaya yang dapat dilakukan, salah satunya, dengan mewujudkan lingkungan yang aman untuk anak, termasuk lingkungan yang terbebas dari rokok. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memiliki program kabupaten/kota layak anak (KLA) dan menargetkan Indonesia layak anak (Idola) pada 2030.

Salah satu indikator KLA adalah tersedianya kawasan tanpa rokok (KTR). Idealnya sebuah KLA tidak hanya memiliki aturan tentang KTR, melainkan harus mengimplementasikan dengan optimal.

KTR adalah ruangan atau area yang terlarang untuk merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Jika aturan tersebut dilaksanakan dengan baik, diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang aman dan sehat tanpa rokok bagi anak, mencegah anak merokok, serta semakin mencegah dampak buruk yang ditimbulkan oleh rokok.

Implementasi KTR memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Pemerintah daerah yang telah memiliki peraturan tertulis tentang KTR perlu meningkatkan upaya inspeksi mendadak dan memberikan sanksi apabila terjadi pelanggaran.

Pemilik atau pengawas area KTR diharapkan secara tegas memberikan teguran kepada masyarakat yang melanggar. Seluruh masyarakat juga diharapkan ikut serta memantau KTR dan melaporkan apabila terjadi pelanggaran.

Negara-negara maju telah menerapkan KTR untuk melindungi generasi muda. Harapan Indonesia memiliki generasi emas pada 2045 dengan sumber daya yang sehat, cerdas, berkarakter, dan berkualitas dapat terwujud jika seluruh pihak, mulai dari tingkat pemerintah pusat hingga keluarga, bekerja sama dan berkomitmen memaksimalkan setiap momentum membuat perubahan yang berarti demi melindungi generasi penerus bangsa ini.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 Juli 2023. Penulis aktif di Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia atau Spek-HAM)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya