SOLOPOS.COM - Rudi Hartono (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Perdebatan  mengenai tim nasional sepak bola Indonesia yang diisi para pemain lokal dan tim nasional yang dihuni banyak pemain naturalisasi tak berkesudahan. Topik ini selalu mengemuka setiap tim nasional sepak bola Indonesia menghadapi agenda pertandingan internasional.

Ketika tim nasional yang diisi pemain lokal menang atau bahkan juara (kelompok umur di bawah 20 tahun), pihak yang membanggakan pemain lokal (local pride) menganggap capaian tersebut adalah kemenangan sejati.

Promosi Ayo Mudik, Saatnya Uang Mengalir sampai Jauh

Prestasi itu digapai oleh para pemain murni orang Indonesia. Biasanya naras-narasi tersebut disertai sindiran kepada tim nasional yang diisi pemain naturalisasi (kelompok umur di atas 20 tahun, termasuk tim nasional senior) yang tak kunjung memberikan gelar juara.

Sikap ini pernah ditunjukkan pelatih kiper tim nasional sepak bola Indonesia  U-16 Markus Horison yang mestinya tak mempertajam perdebatan. Markus yang mantan kiper tim nasional senior Indonesia itu mengucapkan local pride beberapa kali di depan kamera saat tim nasional U-16 menjuarai Piala AFF U-16 pada 2022.

Ucapan itu menjadi kontroversi karena dinilai sebagai bentuk sindiran kepada tim nasional senior yang berisi pemain naturalisasi asuhan pelatih Shin Tae-yong yang belum bisa mempersembahkan gelar juara.

Meski pada akhirnya Markus Horison mengatakan ucapan itu bukan untuk menyindir pihak tertentu, tindakannya saat itu telanjur memperuncing perdebatan local pride versus naturalisasi pemain tim nasional sepak bola Indonesia.

Pada sisi lain, apabila tim nasional yang berisi pemain lokal kalah bertanding atau gagal juara, kelompok yang pro terhadap tim nasional dengan pemain naturalisasi langsung melancarkan sindiran atau ejekan-ejekan kepada pihak yang membanggakan pemain lokal.

Perbedaan pandangan mengenai naturalisasi pemain asing mulai ramai ketika pemangku kebijakan melakukan langkah tersebut untuk kepentingan tim nasional pada 2010/2011. Peristiwa yang menonjol ketika Cristian Gonzales yang semula berpaspor Uruguay dinaturalisasi untuk mengisi pos striker.

Perdebatan semacam ini jamak terjadi karena publik sepak bola memang gemar berdebat, bahkan berkonflik. Sebetulnya baik yang bangga dengan pemain lokal maupun naturalisasi tidak ada yang salah. Toh kedua sisi tersebut mengerucut pada satu titik kepentingan tim nasional Indonesia.

Sikap kontra terhadap naturalisasi mungkin karena menganggap naturalisasi sebagai cerminan krisis kepercayaan terhadap pemain lokal. Pendapat itu sah-sah saja karena ini lahir dari idelisme bahwa Indonesia harus berdiri dengan kaki sendiri.

Ada keyakinan kualitas pemain lokal mumpuni dan bisa bersaing di level internasional. Sebaliknya, pemain naturalisasi belum tentu memiliki kualitas mumpuni seperti yang diharapkan. Naturalisasi dianggap mencederai mimpi dan harapan pemain dan generasi muda untuk membela negara mereka.

Ada prasangka pemain luar yang tak memiliki darah Indonesia tetapi getol ingin menjadi warga negara Indonesia (WNI) agar bisa menjadi pemain tim nasional bukan karena cinta bangsa ini.

Pemain tersebut dianggap melakukan hal itu lantaran tidak mendapatkan kesempatan bermain di tim nasional negara asal mereka. Kecurigaan lain, pemain asing mengikuti naturalisasi pada masa lalu bukan hanya agar tetap bisa bermain di Liga Indonesia.

Manajemen klub membantu proses naturalisasi pemain asing dengan alasan untuk kepentingan tim nasional. Itu untuk menyiasati aturan penggunaan pemain asing yakni tiga pemain berkewarganegaraan bebas dan satu pemain Asia (regulasi penggunaan pemain asing sebelum Liga 1 2023/2024).

Mengancam Karier

Dengan begitu klub tetap bisa merekrut pemain asing lantaran pemain hasil naturalisasi sudah menjadi WNI sehingga tak bisa mengisi slot pemain asing. Pada kondisi itu naturalisasi pemain asing dinilai dapat mengancam peluang karier pemain lokal.

Dengan demikian bisa dikatakan pemain naturalisasi pada masa itu menjadi kebutuhan klub, bukan kebutuhan negara. Klub memang diuntungkan ketika pemain asing mereka mendapatkan status WNI sehingga mereka punya “pemain Indonesia” berkualitas pemain asing sekaligus punya slot kosong untuk menambah pemain asing.

Karena itulah klub rela membayar biaya administrasi naturalisasi agar sang pemain bisa segera mendapatkan status WNI. Kecurigaan ini beralasan mengingat banyak pemain naturalisasi tetap “menikmati” kewarganegaraan mereka yang baru meski tak masuk skuad tim nasionak Indonesia.

Mereka tetap bisa bermain di klub Liga Indonesia. Saat ini banyak klub yang bergelimang pemain naturalisasi plus pemain asing, terutama klub-klub Liga 1.

Bercermin pada regulasi penggunaan pemasin asing Liga 1 musim 2023/2024, kuota pemain asing ditambah dari 3+1 menjadi 5+1, yakni lima orang berkewarnegaraan bebas dan satu dari Asia Tenggara/negara ASEAN.

Dengan asumsi kuota itu terpenuhi dan klub memiliki satu atau beberapa pemain naturalisasi, tempat untuk pemain lokal menjadi minim. Naturalisasi pemain asing di Indonesia memang tak sepenuhnya bisa disalahkan lantaran regulasi memberi kesempatan.

Ada dua prosedur warga negara asing (WNA) bisa menjadi WNI yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yakni prosedur normal dan istimewa. Prosedur normal diatur melalui Pasal 9

Pemohon status WNI telah berusia 18 tahun atau pernah menikah, lancar berbahasa Indonesia, sehat jasmani dan rohani, serta tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara satu tahun atau lebih.

Pemohon kewarganegaraan juga harus bertempat tinggal di wilayah Indonesia minimal lima tahun berturut-turut atau 10 tahun berturut-turut pada saat mengajukan permohonan. Prosedur ini seperti ditempuh penyerang asal Uruguay Cristian “el Loco” Gonzales.

Pada prosedur istimewa (Pasal 20), WNA bisa menjadi WNI jika berjasa kepada Indonesia, salah satunya di bidang keolahragaan. Jika memenuhi syarat ini, syarat-syarat prosedur normal tidak perlu dijalani.



FIFA memiliki aturan tersendiri mengenai naturalisasi pemain. Aturan itu seperti pemain lahir di negara bersangkutan, ibu atau ayah kandung lahir di negara terkait, nenek atau kakek kandung lahir di negara terkait, pemain telah tinggal di negara terkait selama lima tahun saat usianya mencapai 18 tahun.

Naturalisasi pemain asing dipandang bisa menjadi solusi mendongkrak performa tim nasional yang mentok di level Asia Tenggara. Solusi itu bisa didapat apabila WNA yang dinaturalisasi benar-benar memiliki kualitas level tinggi.

Dengan begitu pemain naturalisas bisa selalu menjadi andalan di setiap pertandingan internasional yang dijalani tim nasional. Tujuan naturalisasi bakal sulit tercapai apabila kualitas pemain asing yang dinaturalisasi kurang mumpuni.

Tampaknya naturalisasi pemain asing pada masa sekarang (lewat jalur garis keturunan) mulai menunjukkan hasil. Pemain naturalisasi seperti Jordi Amat, Sayne Pattynama, Sandy Walsh, Rafael Struick, dan Ivar Jenner mampu mengangkat tim nasional ke level Asia.

Mereka berkontribusi besar dalam membawa tim nasional senior dan U-23 lolos ke putaran final Piala Asia di Qatar 2024 mendatang. Itu tak terlepas dari kualitas mereka yang mumpuni lantaran berkompetisi di klub-klub Eropa.

Misalnya Jordi Amat. Sebelum menjadi andalan Johor Darul Ta’zim FC saat ini, dia lama berkarier di La Liga atau kompetisi tertinggi Liga Spanyol dengan memperkuat Espanyol, Rayo Vallecano, Betis. Dia juga pernah membela klub Inggris Swansea City.

PSSI di bawah kepemimpinan Erik Thohir mengubah kebijakan agar proyek naturalisasi untuk tim nasional efektif. Naturalisasi dilakukan hanya terhadap pemain asing yang memiliki keturunan Indonesia dan memiliki kualitas tinggi.

Ini supaya performa tim nasional benar-benar bisa terangkat ke level lebih tinggi. Naturalisasi adalah proses legal. Tentu PSSI harus memastikan naturaliasi pemain asing untuk kepentingan tim nasional ini efektif dengan memperhatikan kebutuhan dan tak mengesampingkan pemain lokal.

Potensi pemain lokal harus mendapat perhatian lebih. Jangan sampai kualitas pemain yang dinaturalisasi biasa-biasa saja atau malah di bawah pemain lokal.

Jika itu terjadi, pemain naturalisasi hanya akan dipakai satu atau dua kali pertandingan tim nasional. Setelah itu tersingkir lantaran performa tak sesuai harapan.

(Versi lebih singkat esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 Oktober 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Medis Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya