SOLOPOS.COM - Suwarmin, Wartawan SOLOPOS

Suwarmin, Wartawan SOLOPOS

Bagi negeri ini, korupsi adalah isu yang eksotis dan gerakan anti korupsi adalah retorika yang manis. Karena eksotis, hampir semua orang mudah berkomentar jika sudah menyangkut korupsi. Ada yang nyinyir, ada yang muak. Tetapi ada pula yang sudah tidak ambil peduli, bahkan sebagian lagi mulai pandai memaklumi.

Promosi Enjoy the Game, Garuda! Australia Bisa Dilewati

Karena retorika, dia selalu disampaikan dengan manis, penuh janji dan sesekali lantang berkumandang, gegap gempita. Mereka yang berambisi menjadi pejabat negara seperti bupati, walikota, gubernur atau presiden sekalipun, janji-janji akan menjauhi korupsi jika terpilih nanti, adalah janji wajib saat kampanye. Para calon anggota DPR atau DPRD, calon wakil rakyat, pun melakukan hal yang sama.

Gerakan anti korupsi menjadi lagu wajib yang mulai klise, membosankan. Namun sebagai bagian dari tata pergaulan masyarakat yang beradab, toh semua janji manis itu harus diucapkan.

Seorang anggota DPR yang puluhan tahun bertugas sebagai wakil rakyat, berkeluh kesah kepada saya. ”Jangan harap korupsi akan hilang di negeri ini. Korupsi justru akan semakin tumbuh subur, makin berkembang,” katanya.

”Kenapa?” tanya saya.

”Karena mau menjadi bupati, walikota atau gubernur itu mahal, sangat mahal. Puluhan miliar. Mau menjadi anggota DPR juga mahal, sangat mahal. Apa mungkin dengan gaji selama lima tahun pengeluaran saat kampanye akan tertutupi. Tidak mungkin itu,” katanya berapi-api.

Sebagian masyarakat kita juga mempunyai andil untuk melestarikan tradisi itu. Sering kali calon pejabat dimintai macam-macam saat bertandang ke wilayah atau ke kelompok mereka. Calon kepala desa dimintai semen atau pasir, calon bupati dimintai bendungan, calon walikota dimintai dana sepakbola, calon gubernur dimintai konsesi penanganan aset daerah, calon presiden dimintai proyek trans-nasional dan sebagainya. Lalu calon wakil rakyat disiapkan proposal aneka proyek. Tak cukup dengan janji, banyak calon pejabat yang diminta memberi panjer tanda jadi kontrak dukungan. Semuanya itu adalah bagian dari transaksi dukungan politik, mulai dari mobilisasi massa hingga dana kampanye.

Bahkan janji sebuah jabatan atau kedudukan pun jadi. Maka tak heran setelah seseorang menjadi bupati dan sejenisnya, satu persatu para pembantu politiknya akan mengenyam manisnya perjuangan.

”Omong kosong soal pejabat profesional. Isinya cuma jual beli politik, kalau yang didukung kalah atau tidak terlibat dalam proses mendukung calon yang memenangkan Pilkada, ya siap-siap dimutasi,” kata teman saya itu.

”Lalu siapa yang salah kalau sudah begini?” tanya saya lagi.

Dia hanya menggeleng. Mungkin bukan karena tidak tahu. Tetapi sepertinya dia lebih memilih untuk diam. Kadang-kadang, orang yang berpengalaman agak susah menentukan jawaban.

 

Korupsi Kitab Suci

 

Mungkin pola pengkaderan partai yang keliru, katanya. Mungkin pula proses demokrasi kita baru sampai di level ini. Serba nanggung, serba mentah.

”Tak ada lagi loyalitas partai, tak ada lagi perjuangan partai, tak ada lagi ideologi. Yang ada adalah pembeli suara. Seorang juragan tiba-tiba masuk partai tertentu, dengan bekal modal besar yang entah berasal dari mana, maka kemungkinan untuk menang pun semakin besar. Seorang pengurus partai bisa-bisa hanya memilih menjadi broker kursi karena merasa bekal yang dimilikinya kurang memadai,” jelasnya.

Ah, tentu ada pengecualian, kata saya. Saya menduga, teman saya itu agak frustrasi karena partainya yang relatif sudah uzur, sudah kesulitan mempertahankan basis massa. “Toh ada juga walikota yang dianggap bersih, bupati yang dicintai rakyatnya. Ada juga wakil rakyat yang dianggap mencintai pekerjaannya sebagai pejuang aspirasi rakyat.”

Tetapi dia menggeleng.

“Berapa banyak orang-orang ajaib seperti itu?” dia bertanya. “Kebanyakan mereka yang terpilih setelah Pemilu, akan mulai berfikir tentang biaya pengganti korupsi, untuk menutup utang yang tidak sedikit, mengembalikan pinjaman bersyarat yang tidak kecil atau membayar bantuan lain-lain. Tidak bisa tidak. Dia akan selalu dikejar-kejar itu.”

Dia juga tidak kaget jika ada anggota DPR yang diduga nekat melakukan korupsi pengadaan kitab suci Alqur’an.

Saya jadi ingat komentar bapak saya di kampung soal dugaan korupsi pengadaan kitab suci ini. ”Wong pembelian kitab suci kok dikorupsi. Apa ndak keblinger itu. Apa ndak sudah minger keblate itu. Biyuh…. biyuh…..

Saat menghadiri acara shalawatan dan pengajian bersama Emha Ainun Najib atau Cak Nun, di markas Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan Kartasura, Jumat (29/6), beberapa kali Cak Nun berceloteh tentang korupsi.

“Di Indonesia, setan itu sudah bingung. Lha wong ada manusianya yang lebih jahat daripada setan. Sampai-sampai kitab suci pun dikorupsi,” kata Cak Nun.



Ketika menyaksikan pembukaan pentas campursari 66 jam nonstop untuk memecahkan rekor MURI di halaman Mapolres Surakarta, kata-kata anti-korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) juga lantang diucapkan pembawa acara. Intinya, Polri sebagai Bhayangkara negara bertekad menjauhi tindak korupsi, dalam bentuk apa pun. Selalu, gerakan anti korupsi menjadi retorika yang manis.

Semua pihak mungkin ikut andil, menjadikan korupsi sebagai bagian dari eksotisme performa politik. Lalu gerakan antikorupsi sebagai retorika dengan bahasa yang mendayu-dayu, sembari membangun jaring-jaring untuk menjerat dan memaksakan perilaku korup. Atau memang dari sono-nya kebanyakan dari kita yang berbakat korupsi. Entahlah…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya