SOLOPOS.COM - Hernawan Bagaskoro Abid (JIBI/SOLOPOS/Ist)

De javu mungkin istilah yang cocok untuk menggambarkan kerusuhan di London dari sudut pandang orang Indonesia. Berbagai gambar yang muncul di koran dan televisi mengenai London riot hari-hari ini seolah-olah bagaikan film yang sudah pernah ditayangkan di Indonesia, 13 tahun yang lalu, pada saat kerusuhan 1998.

Hernawan Bagaskoro Abid (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Kerusuhan disertai kebakaran, anarkisme hingga penjarahan sangat identik dengan apa yang terjadi di Jakarta, Solo dan beberapa kota lainnya pada 1998. Kita boleh memperdebatkan sebab dan skala yang berbeda antara yang terjadi di Indonesia di masa lalu dengan yang terjadi di Inggris saat ini, akan tetapi tentu kita setuju kedua peristiwa tersebut akan menjadi hal kelam yang terus terpatri dalam ingatan publik.

Menyebut kata “London” tentu semua orang setuju bahwa kota tersebut termasuk salah satu kota terbesar di dunia. Sebuah simbol modernisasi abad XXI yang melambangkan kesejahteraan, ketertiban dan kepatuhan publik. Lantas, apa sebenarnya yang terjadi di London? Mengapa kerusuhan cepat menjalar sampai ke kota-kota lain di Inggris seperti Birmingham, Nottingham hingga Liverpool?

Media massa boleh saja menyebut peristiwa tewasnya Mark Duggan adalah pemicu aksi vandalisme massa di Tottenham, London Utara. Tapi, kabar yang beredar melalui media-media sosial seperti Twitter–yang bisa jadi dirilis oleh para pelaku kerusuhan sendiri–menyebut kesenjangan sosial ekonomi dan sikap brutal oknum polisi yang sering terjadi menjadi sumbu kerusuhan tersebut.

Duggan hanyalah sehelai ”jerami terakhir” yang ditumpuk di punggung seekor unta yang lelah memikul beban jutaan helai jerami lain hingga ambruk karena kelebihan beban. Kekerasan sebenarnya memang ada di dalam darah orang Inggris. Misalnya, suporter sepak bola asal Inggris atau yang biasa disebut hooligan dikenal sebagai kelompok suporter yang paling brutal dan anarkistis di dunia sepak bola.

Hanya saja selama ini kerusuhan yang dilakukan para hooligan selalu dalam konteks sepak bola, jarang sekali merambat ke hal-hal yang lain. Watak keras cenderung kasar ini bukan hanya dimiliki orang Inggris, tapi juga warga kawasan Britania Raya lain seperti Irlandia, Scotlandia atau Wales. Selain dari akar kekerasan yang memang sudah ada sejak dulu, kerusuhan di London memiliki sedikit banyak persamaan dengan kerusuhan di Paris pada 2005. Prancis termasuk negara yang memiliki banyak penduduk imigran yang berasal dari negara-negara non Eropa dan memiliki kultur yang berbeda dengan kultur setempat. Kerusuhan di Paris berasal dari daerah suburban Clichy-sous-Bois, sedangkan kerusuhan London juga berawal dari Tottenham, sebuah daerah suburban yang memiliki tingkat pengangguran tertinggi di London.

Imigran di Clichy-sous-Bois berasal dari Aljazair, Maroko, hingga Senegal. Sedangkan Tottenham memiliki minoritas Afro-Karibia, Pakistan hingga Turki. Perbedaan watak dan kultur dari ras yang berbeda memang tak mudah untuk diabaikan. Tak salah jika kita menunjuk bahwa multikulturalisme–tepatnya multikulturalisme yang tak berjalan dengan baik–sebagai bahaya laten yang siap meletup bila disulut oleh kondisi sosial ekonomi dan diskriminasi. Penetrasi kaum imigran sebenarnya bukan hanya terjadi di Inggris dan Prancis, tetapi juga di negara-negara Eropa lain seperti Italia, Belanda hingga Jerman.

Sentimen rasis
Multikulturalisme yang tak berjalan dengan mulus ini diperparah dengan sentimen-sentimen rasis dan penuh permusuhan dari tokoh-tokoh politik di Eropa. Di Belanda kita mengenal Geert Wilders dan Partai Kebebasan yang terang-terangan menuduh imigran muslim sebagai ancaman nasional Belanda. Wilders menyulut emosi kaum muslim di seluruh dunia dengan membuat film Fitna yang kontroversial.

Eropa pun mengenal nama Jean-Marie Le Pen, kandidat Presiden Prancis pada Pemilu 2002 dari Partai Front Nasional. Le Pen dikenal sebagai seorang xenofobia, benci pada kaum imigran dan berencana mengusir para imigran apabila menjadi Presiden Prancis. Ia kalah telak dari Jacques Chirac. Bila ia menang pada 2002, bukan tidak mungkin Anda dan saya tak akan pernah menyaksikan aksi Karim Benzema, Thiery Henry hingga Patrick Viera bermain untuk Timnas sepak bola Prancis. Pun begitu dengan tokoh ultra kanan Jerman, Thilo Sarrazin, yang terang-terangan menyatakan ingin ”membebaskan” Jerman dari etnis lain di luar Jerman.

Lucunya, disadari atau tidak, sebenarnya Inggris sendirilah yang “mengimpor” kerusuhan yang pernah diidentikkan dengan Indonesia ke dalam negeri mereka. Mengapa begitu? Anda tahu kata amok atau run amok dalam Bahasa Inggris? Konon, itulah satu-satunya kata dalam Bahasa Inggris yang berupa kata serapan dari Bahasa Indonesia (Melayu) yang berarti sama dengan ”amuk” atau ”mengamuk”, dikonotasikan dengan kerusuhan yang (dianggap) sering terjadi di Indonesia.

Dulu, kata amok jarang digunakan untuk menggambarkan situasi di dalam negeri Inggris yang memang relatif aman, tapi sering digunakan untuk menggambarkan huru-hara yang sering terjadi di kawasan Asia, termasuk Indonesia. Kini, media seperti SkyNews Inggris menggunakan kata tersebut sebagai headline berita untuk menggambarkan situasi di London dalam London Burns As Rioters And Looters Run Amok. Ironis bukan?

Hernawan Bagaskoro Abid, pengkaji politik internasional, Master Ilmu Politik dari Universitas Diponegoro

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya