SOLOPOS.COM - Dartim Ibnu Rushd (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Pendidikan bukan hanya tentang seorang pendidik mampu membuat yang dididik paham suatu ilmu. Pendidikan adalah bagaimana seorang pendidik mampu menamamkan rasa cinta terhadap ilmu. Ini akan membawa dampak kepada siswa yang cinta pada dunia keilmuan.

Implikasinya adalah siswa belajar tanpa paksaan, membaca tanpa disuruh, dan apabila mereka berhasil, mereka akan merasa bahagia dengan hasil yang diraih. Mereka akan termotivasi untuk meraih prestasi.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Sayangnya, ada beragam ketimpangan dalam dunia pendidikan. Tajamnya ketimpangan yang terjadi sekarang dalam dunia pendidikan tentu harus segera ditemukan solusinya. Sebagai contoh terjadinya dikotomi antara sesuatu yang materialistis dan transenden dalam pendidikan (dikotomi perspektif).

Berpisahnya antara pemahaman lahir (empiris) dan batin (spiritual). Pendidikan yang kurang mengindahkan tata moral dan nilai. Kepentingan politik terlalu tajam di dalam pendidikan. Kearifan lokal dalam pendidikan terganti oleh budaya kebarat-baratan atau westernisasi.

Itu adalah contoh lain bentuk ketimpangan pendidikan. Sering kita dengar Indonesia kaya dengan berbagai sumber daya, namun seakan-akan hanya sebagai sebutan yang tidak pernah berujung pada penyejahteraan masyarakatnya.

Hal ini mungkin karena selama ini ada yang salah dalam pola atau paradigma pendidikan yang dilaksanakan di negeri ini. Fazlur Rahman menyatakan pendidikan adalah pintu gerbang awal generasi memasuki sebuah peradaban.

Ia juga berpandangan bahwa pendidikan adalah ruang atau tempat penemuan atas berbagai solusi dari berbagai persoalan. Seharusnya pendidikan mampu berperan dengan baik membangun peradaban dan menjadi pusat peradaban sebuah negara.

Apabila kita melihat di negara-negara maju, betapa pendidikan selalu menjadi pusat peradaban dan penemuan solusi di negara itu. Tampaknya di Indonesia perlu ada semacam kerangka pendidikan yang jelas dan visioner atau dalam istilah lain disebut epistemologi pendidikan.

Ini penting dirumuskan dan diterapkan agar terwujud generasi yang mencerdaskan dan solutif bagi berbagai persoalan. Seorang dosen di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Agus Purwanto, dalam buku berjudul Nalar Ayat-ayat Semesta menulis bahwa kerangka keilmuan yang diterapkan dalam dunia pendidikan Indonesia kurang tepat.

Indikasinya adalah lulusan pendidikan di Indonesia hanya bisa menjadi pemakai produk, belum bisa menjadi pembuat produk. Ini yang menyebabkan Indonesia menjadi pangsa pasar yang sangat menggiurkan bagi produk-produk impor dari berbagai negara.

Kebanyakan sumber daya manusia Indonesia baru bisa menjadi pemakai (user) belum bisa menjadi pembuat (creator). Sebagai contoh adalah smartphone, laptop, dan sepeda motor yang kebanyakan didominasi oleh produk-produk luar negeri (impor).

Kita akrab dan sangat dekat dengan barang-barang tersebut, tetapi kita baru bisa menjadi pemakai. Kita belum pernah mengetahui bagaimana cara membuatnya, apalagi sampai mengetahui bagaimana menciptakannya.

Paling jauh kita baru bisa menjadi perakit dan pembelajar, belum bisa menjadi pembuat dan pencipta. Fenomena ini bisa disebut sebagai fenomena pragmatisme dan hedonisme dalam pendidikan.

Menurut hemat saya, fenomena ini adalah persoalan paradigma atau perspektif yang perlu segera diselesaikan. Upaya menyelesaikan harus dimulai dari perubahan paradigma dalam pendidikan.

Pendidikan diarahkan pada kerangka epistemologi untuk bisa membuat, menciptakan, dan menghasilkan temuan baru (new invention). Seperti itulah seharusnya orientasi kurikulum yang diterapkan di dunia pendidikan.

Kurikulum yang menghasilkan lulusan dengan karakter pencipta atau pembuat (creator). Selain itu, untuk mendukung semangat karakter pencipta ini, dunia pendidikan juga harus diorientasikan pada tumbuhnya kesadaran individu tentang pentingnya nilai tambah suatu produk atau nilai guna barang (baca: sumber daya).

Presiden ketiga Indonesia, B.J. Habibie, pernah menyampaikan dalam sebuah seminar bahwa negara kita menjadi pengekspor barang mentah dengan jumlah yang sangat banyak dengan harga murah, tetapi kita membeli barang dari luar negeri (import), meskipun dengan jumlah sedikit, dengan harga yang mahal.

Kenapa terjadi perbedaan jumlah dan harga yang demikian? Jawabannya karena di sana ada pengolahan nilai tambah barang yang berbeda. Nilai tambah itu dibentuk di dalam pendidikan.

Dapat ditarik benang merah bahwa paradigma pendidikan harus menjadi satu bentuk transformasi dunia pendidikan kita hari ini. Pendidikan yang berorientasi pada sikap hidup dengan semangat untuk menjadi pencipta dan pembuat.

Pada saat yang sama, pendidikan mampu menambah nilai guna suatu barang (kemanfaatan) dalam menemukan alternatif solusi dari beragam persoalan kehidupan. Hasil akhirnya akan tercipta lulusan yang berkarakter, beradab, cerdas, serta terampil dalam mengamalkan ilmu tersebut di masyarakat.

Mereka akan mampu menjadi solusi dari berbagai persoalan, termasuk persoalan ekonomi, politik, budaya, agama, kenegaraan atau kebangsaan, teknologi, dan beragam persoalan lain.

Itulah hakikat pendidikan yang berorientasi pada  solusi (kemanfaatan) atau pendidikan yang menggerakkan. Meminjam istilah Paulo Freire, paradigma ini adalah paradigma pendidikan yang membebaskan manusia dari segala bentuk belenggu kebodohan dan penindasan.

Lulusan pendidikan harus mampu keluar dari berbagai belenggu persoalan kehidupan, termasuk beragam persoalan kebangsaan. Paradigma pendidikan demikian sangat tepat diterapkan di tengah-tengah masyarakat atau bangsa majemuk (bineka) seperti Indonesia yang secara sosiologis potensi ancamannya lebih besar dibandingkan bangsa-bangsa lainnya.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 Januari 2024. Penulis dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya