SOLOPOS.COM - Rini Yustiningsih (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Bangunan seluas 750 meter persegi itu berlokasi di Pajang, Laweyan Solo. Tampak depan bangunan bercat biru itu sekilas seperti perkantoran. Dengan pintu-pintu kaca dan area parkir yang hanya bisa menampung empat unit kendaraan roda empat.

Hanya dipisahkan oleh jalanan sempit, persis di seberang bangunan terdapat bangunan yang lebih mirip gudang. Di bagian depan dipenuhi tumpukan dus dan wadah-wadah plastik. Dua bangunan itu masih satu kesatuan.

Promosi Uniknya Piala Asia 1964: Israel Juara lalu Didepak Keluar dari AFC

Bangunan bercat biru tak hanya dioperasikan sebagai kantor namun juga rumah produksi kosmetik. Skalanya masih usaha kecil menengah (UKM), kapasitas produksi baru ribuan saja sehari belum sampai belasan ribu atau puluhan ribu.

Awal pekan lalu ketika saya bertandang ke sana. Enam pekerjanya tengah sibuk mengemas ribuan wadah berupa bodylotion yang sangat viral di LiveShopping dan marketplace. Harganya sekitar Rp90.000-Rp120.000 per wadah.

Saya tidak bisa memberi tahu kepada pembaca merek produk losion berlabel pink itu. Bagi perusahaan jasa maklon (Kamus Besar Bahasa Indonesia menulisnya “maklun”), tidak diperkenankan menyebut merek produk tanpa izin dari pemegang merek. Ini adalah bagian dari etika bisnis. Dan saya menghormati itu.

Ratusan kardus pagi itu akan dikirim ke Makassar. Itu belum seberapa. Di bagian depan, tiga orang apoteker sibuk meracik “adonan”. Di bagian belakang, karyawan yang lain tengah sibuk mengemas botol-botol serum kecantikan dimasukkan dalam box. Lagi-lagi itu juga merupakan serum wajah viral yang kerap bersliweran di media sosial.

UKM kosmetik tersebut merupakan perusahaan jasa maklon kosmetik. Mereka sudah memproduksi skincare puluhan merek ngehits di medsos. Harga produk bikinannya di marketplace bervariasi mulai Rp30.000 sampai Rp130.000an.

Orang yang menggunakan jasanya sebagian besar dari Sulawesi, Sumatra dan Jawa. Di Soloraya, perusahaan kosmetik ada sekitar 18, yang didominasi kelas UKM maklon kosmetik. Mereka banyak melayani merek-merek yang laris di sosial media.

Sekarang ini memang eranya punya merek enggak harus punya pabrik. Maklon dinilai sebagai salah satu cara untuk menyiasati modal cekak. Secara etimologi maklon berasal dari bahasa Belanda  maakloon yang berarti biaya produksi, manufacturing fee.

Maakloon diserap ke bahasa Indonesia (KBBI) yang berarti upah membuat pakaian, perhiasan dan lainnya. Pelaku bisnis menyebutkan maklon bukan maklun. Dalam dunia bisnis maklon ini merupakan aktivitas mengubah bahan mentah menjadi barang jadi.

Baca Juga: Anak Muda Demen Pakai Pinjol

Pabrik memproduksi barang atas permintaan pihak tertentu. Dalam dunia kosmetik, maklun kosmetik bisa pula diartikan sebagai contract manufacturing yakni memproduksi kosmetik oleh perusahaan untuk perusahaan lain. Kosmetik yang diproduksi dijual dengan merek/brand pemesan.

Maklun ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1900-an. Di Prancis praktik ini disebut juga maitre d’oeuvre (manajer proyek). Produsen kosmetik pada era itu memutar otak untuk memangkas biaya produksi. Praktik ini juga berkembang luas di Eropa dan Amerika seiring dengan meningkatnya kebutuhan kosmetik.

Maklun tidak hanya dikenal dalam bisnis kosmetik, termasuk juga fesyen. Ada tiga hal yang bisa dimaklunkan di industri garmen, yakni CMT alias cut (memotong kain), make (menjahit baju) dan trim (memangkas sisa benang yang masih menempel di baju).

Proses desain maupun pembuatan pola bisa dilakukan oleh maklun CMT bisa juga pemegang merek. Termasuk juga di industri perhiasan dan lainnya. Teman saya yang maklon konveksi juga sering terima orderan dari para artis ternama yang punya brand fesyen. Dan di Soloraya pun, katanya, UKM konveksi banyak menerima CMT dari merek-merek fesyen viral.

Secara aturan kehadian maklun ini diatur dalam UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Pajak Penghasilan (PPh), Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32/PMK.010/2019, dan PMK Nomor 141/PMK.03/2015.

Mengacu pada Pasal 2 Ayat (4) PMK 141/PMK.03/2015, jasa maklon yakni, Pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.

Miliaran Rupiah

Pendek kata, maklun ini sah secara hukum. Bagi pemegang merek kehadiran jasa maklun bisa lebih untuk penghematan mulai bahan baku, biaya sumber daya manusia (SDM), proses produksi, pengurusan perizinan layak edar/ izin Badan Pengawasan Obat Makanan (BPOM), hingga pengemasan. Pemegang merek juga dapat mengontrol kualitas produk.

Di atas kertas keuntungan yang didapat pemegang merek lebih tinggi, Di kosmetik misalnya, dari maklun harga bodylotion Rp25.000, pemegang merek menjual dengan harga Rp100.000-Rp125.000.

Direktur PT Natural Cosmetics Indo­nesia, Hasto Widiharto, bercerita salah satu kliennya (pemegang merek) yang bisa beli mobil mewah seharga Rp1 miliar-an dalam waktu kurang dari enam bulan.

Ini cerita berbeda dari teman saya yang punya merek untuk produk lulur dan produk waxing. Dalam sehari di marketplace dia bisa menjual 1.000 pieces produk waxing itu. Harga produknya Rp40.000 per biji. Ongkos produksi gak sampai setengahnya.

Baca Juga: Nasib Anak Muda dan Paylater

Mungkin ini bisa jadi salah satu alasan, banyak pula artis-artis atau tokoh-tokoh ternama berbondong-bondong bikin merek dan punya produk. Dengan ketenaran nama mereka, sekali liveshopping bisa diikuti ribuan penggemarnya. Dan ini efektif untuk mencetak penjualan tinggi.



Misalnya, Sabtu (19/8/2023) lalu, dr Richard Lee, dokter kecantikan yang punya brand kosmetik sekaligus content creator  kecantikan mencatatkan omset Rp41 miliar dari hasil jualan di liveshopping selama 24 jam. Media sosial pada akhirnya mempunyai andil besar dalam mencetak crazy rich baru di berbagai pelosok Indonesia.

Masalah justru menghadang para manufaktur maklun atas serbuan produk-produk impor yang harganya sangat murah di bawah harga produksi mereka. Serbuan produk impor tidak hanya di kosmetik termasuk juga garmen.

Mereka menyebutnya harga yang sudah sangat tidak wajar dan dinular nalar. “Kami berpikir keras kenapa harga kosmetik impor dari China dan Korea bisa semurah itu. Sudah tidak nalar dan masuk akal.  Dan itu makin digemari masyakat,” ujar Hasto.

Mereka berharap ada sikap tegas dari pemerintah untuk melarang produk impor yang belum tentu legal. Sehingga produsen lokal terproteksi. Kosmetik dan garmen Indonesia pada akhirnya bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya