SOLOPOS.COM - Abdul Jalil (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Pada pertengahan Maret 2024 aksi dugaan penipuan yang dilakukan seorang komika asal Kota Semarang, Singgih Shahara, dibongkar warganet di media sosial Twitter atau X. Singgih menipu publik dengan modus menggalang donasi di media sosial.

Singgih menggunakan cerita kesedihan dari kondisi ibunya yang mengidap penyakit gagal ginjal dan perlu cuci darah rutin serta kondisi anaknya yang mengalami speech delay. Dua kondisi kesehatan yang menimpa ibu dan anaknya itu dijadikan cerita dan konten yang membuat orang merasa iba.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Singgih mengajukan kisah sedih keluarganya itu ke platform penggalangan dana digital Kitabisa. Setelah diverifikasi, link penggalangan dana dari Kitabisa disebar di ruang digital. Sejak penggalangan dana itu dibuka pada 2021 hingga Maret 2024, donasi yang diterima Singgih mencapai Rp250 juta.

Itu penggalangan donasi hanya dari Kitabisa. Belakangan aksi mengemis dengan menjual kesedihan keluarga kepada warganet melalui direct message (DM) media sosial juga terbongkar. Banyak warganet maupun influencer media sosial yang bersuara dan menunjukkan bukti pernah mendapatkan DM dari Singgih tentang permintaan donasi.

Penggalangan donasi melalui DM ini ternyata cukup ampuh. Banyak warganet mentransfer melalui rekening pribadi Singgih biaya pengobatan ibu dan anaknya. Ada yang mentransfer puluhan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Nilai donasi yang dikumpulkan dari transfer rekening pribadi Singgih disebut-sebut mencapai ratusan juta rupiah.

Aksi kumpul-kumpul uang donasi dengan menjual cerita sedih itu akhirnya dibongkar warganet. Kemudian muncul dugaan uang donasi digunakan untuk kehidupan pribadi, bahkan ada yang menuding uang donasi untuk judi online.

Kecurigaan-kecurigaan itu diungkap dan menjadi perhatian khalayak. Ujungnya ada perwakilan donatur dan Kitabisa yang mendatangi Singgih di rumahnya. Ternyata kecurigaan-kecurigaan itu terkonfirmasi.

Selama ini kebutuhan biaya cuci darah ibunya telah dikaver BPJS Kesehatan. Dari uang ratusan juta rupiah yang terkumpul di platform Kitabisa hanya Rp50 juta yang digunakan sebagaimana mestinya.

Sisanya yang mencapai Rp200 juta digunakan untuk kebutuhan hidup dan foya-foya, seperti untuk membeli iPhone, PlayStation, membayar uang kontrakan, hingga melunasi pinjaman online atau pinjol.

Singgih mengakui tergoda menggunakan uang donasi tersebut untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Banyak uang yang diperoleh dari menjual cerita sedih keluarganya itu. Setelah skandal ini terungkap, publik meminta pertanggungjawaban Singgih.

Kasus Singgih sebenarnya hanya bagian dari rangkaian panjang peristiwa serupa. Menjual kesedihan untuk meraup keuntungan pribadi memang semakin marak pada era media sosial seperti sekarang ini.

Orang mudah menarasikan dan memanipulasi cerita kehidupan kemudian dijadikan komoditas di media sosial untuk meraih simpati dan keuntungan finansial. Sebelum itu ada fenomena ngemis online di platform Tiktok melalui konten mandi lumpur dan menjual kesedihan serta kemiskinan.

Melalui teknologi komunikasi yang mudah diakses seperti sekarang ini, modus-modus penipuan dan ngemis online melalui platform digital pasti akan terus ada dan direproduksi. Setiap platform memiliki potensi yang sama untuk dimanfaatkan meraup keuntungan lewat jalur menjual cerita kemiskinan.

Sifat masyarakat Indonesia yang suka berdonasi kepada orang yang tak dikenal menjadi kesempatan emas bagi pengemis untuk meraup uang. World Giving Index 2023 dari Charities Aid Foundation (CAF) menyebut Indonesia menjadi negara paling dermawan di dunia.

Rekor ini sudah enam tahun beruturut-turut. Tidak ada yang salah dengan bersedekah dan dermawan. Justru ini malah menunjukkan karakter kuat suatu bangsa yang suka tolong-menolong kepada sesama.

Yang perlu diingat, kebaikan yang diperbuat jangan sampai menjadi kesempatan bagi orang untuk berbuat jahat dengan cara melakukan penipuan berkedok cerita sedih hingga mengeksploitasi kesedihan orang yang tak berdaya.

Imam Al-Ghazali dalam kitab Raudhatut Thalibin menjelaskan mengemis merupakan hal berbeda dengan meminta bantuan. Meminta bantuan kepada orang lain diperbolehkan. Sebagai makhluk sosial tentu membutuhkan uluran tangan orang lain ketika mengalami masalah atau kesulitan.

Meminta bantuan ini diperbolehkan dalam arti tidak menjadikan permintaan itu sebagai kebiasaan dan tidak berlebihan. Imam Al-Ghazali juga menyebut bahwa meminta bantuan tanpa kebutuhan mendesak, terutama ketika masih memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, itu seperti merampok individu yang lemah dan miskin.

Setelah skandal yang dilakukan Singgih terbongkar, kekhawatiran yang muncul adalah ketika ada orang yang memang benar-benar membutuhkan pertolongan, tetapi tidak dipercaya oleh publik. Pada era digital, seseorang memang lebih mudah menyalurkan donasi.

Yang penting harus kritis sebelum menyalurkan bantuan. Jangan sampai hanya terbuai oleh konten manipulasi kesedihan di media sosial. Uang yang disalurkan bukan lagi menolong orang kesusahan, tetapi malah membuat orang semakin malas bekerja dan mengandalkan meminta-minta.

Lembaga crowdfunding harus lebih memperketat verifikasi orang yang memanfaatkan platform untuk menggalang donasi. Sebelum memberikan donasi kepada orang yang tidak dikenal, ada baiknya memberikan sedekah atau donasi kepada keluarga, tetangga, atau orang terdekat yang kita tahu kondisinya. Agama memang mengajarkan demikian.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 April 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya